
Oleh: Riki Ridwan Margana
Dosen
Universitas Widyatama
Dalam era Industri 4.0, transformasi digital telah menjadi kebutuhan utama bagi organisasi yang ingin tetap kompetitif. Perusahaan di berbagai sektor berupaya mengadopsi teknologi digital untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan daya saing. Salah satu area yang mengalami transformasi paling signifikan adalah Supply Chain Management (SCM), proses kompleks yang mengatur aliran barang, informasi, dan keuangan dari hulu ke hilir.
Teknologi seperti Enterprise Resource Planning (ERP), Internet of Things (IoT), Artificial Intelligence (AI), dan blockchain telah mengubah cara perusahaan memantau, mengelola, dan mengoptimalkan rantai pasoknya. Permasalahan yang terjadi yaitu meskipun transformasi digital menawarkan berbagai keunggulan strategis bagi perusahaan, penerapannya sering kali tidak berjalan sesuai harapan.
Hambatan terbesar justru muncul bukan dari teknologi itu sendiri, melainkan dari aspek budaya organisasi yang belum siap menerima perubahan. Sering kali proyek digitalisasi menghadapi hambatan yang tidak bersifat teknis, melainkan kultural. Banyak inisiatif digital gagal karena tidak didukung oleh budaya organisasi yang sesuai. Karyawan menolak menggunakan sistem baru, manajer masih mengandalkan metode lama, dan kolaborasi lintas fungsi terhambat oleh silo organisasi.
Di sinilah peran budaya organisasi menjadi sangat penting. Transformasi digital bukan hanya soal perangkat lunak dan perangkat keras, melainkan soal mindset, nilai, dan perilaku kolektif yang mendorong keberhasilan atau kegagalan transformasi tersebut.
Transformasi Digital dalam SCM: Peluang dan Kompleksitas
Transformasi digital menawarkan banyak peluang dalam SCM:
- Pemantauan real time atas pergerakan barang dan material,
- Perencanaan permintaan berbasis AI untuk meminimalkan overstock atau stockout,
- Analisis prediktif untuk manajemen risiko dan keputusan strategis,
- Kolaborasi digital yang mempersingkat waktu siklus dan meningkatkan akurasi informasi.
Namun, tantangan muncul saat teknologi baru diperkenalkan ke lingkungan organisasi yang belum siap secara budaya. Perubahan sistem kerja, keharusan untuk berbagi data, dan adopsi proses otomatis membutuhkan perubahan perilaku yang signifikan.
Dalam praktiknya, transformasi digital akan berjalan lambat atau gagal apabila organisasi memiliki budaya:
- Terlalu hierarkis dan birokratis,
- Menolak perubahan dan inovasi,
- Kurang transparan dalam komunikasi,
- Tidak terbiasa berbagi tanggung jawab dan data lintas departemen.
Budaya Organisasi sebagai Enabler Transformasi
Transformasi digital dalam SCM dapat berhasil jika perusahaan membangun dan memperkuat budaya organisasi yang mendukung perubahan. Ada empat dimensi budaya yang paling relevan:
- Budaya Inovasi dan Pembelajaran
Organisasi yang mendorong pembelajaran berkelanjutan dan inovasi akan lebih siap mengadopsi teknologi baru. Budaya ini memotivasi karyawan untuk aktif belajar, mencoba, dan mengevaluasi sistem digital yang diimplementasikan. Pelatihan digital, ruang eksperimen, dan toleransi terhadap kegagalan menjadi kunci dalam membangun budaya ini. - Budaya Kolaborasi dan Keterbukaan
Transformasi digital dalam SCM mengandalkan pertukaran informasi lintas fungsi dan lintas level organisasi. Budaya kolaboratif akan mendorong kerja sama yang sinergis antara bagian produksi, logistik, pemasaran, dan keuangan. Komunikasi yang terbuka dan struktur organisasi yang cair membantu mempercepat proses pengambilan keputusan. - Budaya Kepemimpinan Transformasional
Pemimpin yang visioner dan inklusif sangat penting dalam masa transisi digital. Budaya organisasi harus menempatkan pemimpin sebagai fasilitator perubahan, bukan pengontrol. Kepemimpinan yang mendukung inovasi, memberi ruang untuk kreativitas, dan terbuka terhadap feedback akan memperkuat proses transformasi. - Budaya Berbasis Data
Salah satu tantangan utama digitalisasi adalah mengganti intuisi dan kebiasaan lama dengan keputusan berbasis data. Budaya organisasi yang menghargai data dan analisis akan lebih mudah menyelaraskan proses kerja dengan sistem digital. Karyawan akan lebih percaya dan bergantung pada sistem berbasis data dibanding hanya pengalaman pribadi.
Studi Kasus: Perubahan Budaya dalam Transformasi Digital SCM
Sebuah perusahaan manufaktur nasional, PT XYZ, mencoba mengimplementasikan sistem ERP untuk integrasi data produksi, inventori, dan pengiriman. Sistem ini bertujuan mempersingkat waktu pemesanan, menurunkan biaya penyimpanan, dan meningkatkan akurasi peramalan.
Namun, enam bulan pertama setelah implementasi menunjukkan hasil yang mengecewakan. Beberapa masalah yang muncul:
- Karyawan lapangan enggan menginput data karena dianggap memperlambat pekerjaan,
- Manajer masih menggunakan spreadsheet terpisah,
- Koordinasi antar divisi minim karena tidak terbiasa berbagi data.
Audit internal mengungkap bahwa hambatan utamanya adalah budaya organisasi yang tidak mendukung digitalisasi. Budaya kerja lama cenderung tertutup, tidak terbiasa berbagi informasi, dan kaku terhadap perubahan.
Sebagai tindak lanjut, perusahaan meluncurkan program cultural transformation dengan pendekatan:
- Training lintas divisi berbasis digital mindset,
- Reward dan pengakuan bagi divisi yang paling aktif mengadopsi sistem digital,
- Penerapan digital champion di setiap unit untuk memfasilitasi transisi.
Dalam waktu satu tahun, tingkat adopsi ERP meningkat menjadi 87%, dan lead time pengiriman produk turun 21%. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa transformasi budaya organisasi berjalan seiring dengan keberhasilan transformasi digital.
Strategi Integrasi Budaya dan Teknologi
Berikut adalah langkah strategis yang dapat dilakukan perusahaan agar budaya organisasi mendukung transformasi digital dalam SCM:
- Assessment budaya awal: Lakukan pengukuran terhadap nilai, perilaku, dan kebiasaan kerja yang ada saat ini.
- Sosialisasi visi digital: Seluruh lini organisasi harus memahami arah dan tujuan digitalisasi SCM.
- Pelatihan berjenjang: Kembangkan keterampilan digital dan kepemimpinan adaptif di semua level.
- Komunikasi dua arah: Bangun budaya feedback terbuka, terutama selama masa transisi.
- Monitoring dan evaluasi kultural: Selain mengevaluasi kinerja sistem, evaluasi juga adopsi nilai-nilai baru di tempat kerja.
Kesimpulan
Transformasi digital dalam SCM menjanjikan efisiensi, kecepatan, dan daya saing yang lebih tinggi. Namun, teknologi saja tidak cukup. Tanpa budaya organisasi yang mendukung inovasi, kolaborasi, keterbukaan, dan kepemimpinan adaptif, proses transformasi akan berjalan lambat, bahkan gagal.
Membangun budaya organisasi yang selaras dengan nilai-nilai digital adalah langkah strategis yang tidak boleh diabaikan. Dalam konteks SCM yang semakin kompleks dan dinamis, budaya organisasi adalah katalis utama yang menentukan keberhasilan atau kegagalan transformasi digital.
Referensi
Cameron, K. S., & Quinn, R. E. (2011). Diagnosing and changing organizational culture: Based on the competing values framework (3rd ed.). Jossey-Bass.
Christopher, M. (2016). Logistics & supply chain management (5th ed.). Pearson Education.
Gunasekaran, A., Yusuf, Y. Y., Adeleye, E. O., & Papadopoulos, T. (2018). Agile manufacturing practices: The role of big data and business analytics with multiple case studies. International Journal of Production Research, 56(1–2), 385–397. https://doi.org/10.1080/00207543.2017.1395488
Ivanov, D., Tsipoulanidis, A., & Schönberger, J. (2019). Global supply chain and operations management (2nd ed.). Springer.
Kane, G. C., Palmer, D., Phillips, A. N., Kiron, D., & Buckley, N. (2015). Strategy, not technology, drives digital transformation. MIT Sloan Management Review and Deloitte University Press. Retrieved from https://sloanreview.mit.edu/projects/strategy-drives-digital-transformation/
McKinsey & Company. (2020). How COVID-19 has pushed companies over the technology tipping point—and transformed business forever. Retrieved from https://www.mckinsey.com/business-functions/mckinsey-digital/our-insights
Prajogo, D., & Olhager, J. (2012). Supply chain integration and performance: The effects of long-term relationships, information technology and sharing, and logistics integration. International Journal of Production Economics, 135(1), 514–522. https://doi.org/10.1016/j.ijpe.2011.09.001
Schein, E. H. (2010). Organizational culture and leadership (4th ed.). Jossey-Bass.
Wamba, S. F., Gunasekaran, A., Akter, S., Ren, S. J., Dubey, R., & Childe, S. J. (2017). Big data analytics and firm performance: Effects of dynamic capabilities. Journal of Business Research, 70, 356–365. https://doi.org/10.1016/j.jbusres.2016.08.009
*****
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.
Download artikel ini:
SCI - Artikel Budaya Organisasi sebagai Katalis Transformasi Digital dalam Supply Chai Management (246.7 KiB, 12 hits)
You must be logged in to post a comment.