
Oleh: Melati Salma
Junior Consultant & Researcher
Supply Chain Indonesia
Beberapa tahun terakhir, dunia bisnis menghadapi tekanan yang semakin besar untuk menjalankan operasional yang tidak hanya menguntungkan secara finansial, tetapi juga bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan. Kesadaran global terhadap isu-isu seperti perubahan iklim, eksploitasi tenaga kerja, dan kesenjangan sosial mendorong munculnya standar baru dalam etika bisnis. Perusahaan tidak lagi bisa memisahkan urusan profit dari dampak lingkungan dan sosial yang ditimbulkan oleh aktivitas mereka. Hal ini menuntut pendekatan holistik dalam mengelola rantai pasok, termasuk dalam proses pengadaan barang dan jasa.

Di sisi lain, konsumen modern kini lebih kritis dan sadar akan asal-usul produk yang mereka gunakan. Mereka cenderung memilih merek yang terbuka, transparan, dan bertanggung jawab terhadap pemasok dan proses produksinya. Investor pun kini mengutamakan perusahaan yang memiliki performa ESG (Environmental, Social, and Governance) yang baik, karena dianggap lebih tahan terhadap risiko jangka panjang.
Regulator di berbagai negara mulai memperkenalkan kebijakan yang mewajibkan uji tuntas terhadap rantai pasok dan pelaporan keberlanjutan secara berkala. Dalam konteks ini, tim pengadaan memainkan peran strategis sebagai penjaga gerbang (gatekeeper) yang menentukan siapa yang boleh masuk ke dalam rantai pasok perusahaan. Tidak hanya harus memilih pemasok yang efisien dan andal, tetapi juga yang mematuhi standar etika dan keberlanjutan global.
Tekanan yang Semakin Besar terhadap Tim Pengadaan
Seiring meningkatnya kesadaran global terhadap isu-isu seperti perubahan iklim, hak asasi manusia, dan tanggung jawab sosial perusahaan, para pemangku kepentingan (termasuk konsumen, investor, dan regulator) menuntut transparansi yang lebih besar dalam rantai pasok perusahaan. Konsumen kini lebih cenderung memilih produk dari perusahaan yang menunjukkan komitmen terhadap praktik bisnis yang berkelanjutan dan etis. Sebuah survei oleh PwC (2024) mengungkap bahwa konsumen bersedia membayar rata-rata 9,7% lebih mahal untuk produk yang diproduksi atau diperoleh secara berkelanjutan, meskipun di tengah kekhawatiran akan kenaikan biaya hidup dan inflasi.
Di sisi regulasi, Uni Eropa telah mengadopsi Corporate Sustainability Due Diligence Directive (CSDDD) yang mewajibkan perusahaan untuk melakukan uji tuntas terkait hak asasi manusia dan dampak lingkungan dalam operasi mereka, termasuk dalam rantai pasok. Tujuan dari CSDDD adalah memastikan bahwa perusahaan-perusahaan di Uni Eropa dan perusahaan non-Uni Eropa yang beroperasi di Uni Eropa berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan dan transisi menuju ekonomi yang lebih berkelanjutan (Connellan dkk., 2024).
EU Corporate Sustainability Due Diligence Directive (CSDDD) mewajibkan perusahaan untuk secara aktif memantau, mengelola, dan mengurangi dampak negatif dari aktivitas bisnis mereka, termasuk yang berasal dari rantai pasok. Di sisi lain, standar pelaporan ESG juga menuntut transparansi dan akuntabilitas yang lebih besar dari perusahaan. Perusahaan yang gagal memenuhi standar ini berisiko kehilangan kepercayaan pasar, terkena sanksi hukum, hingga terdepak dari portofolio investasi berkelanjutan (EIU, 2023).
Di tingkat konsumen, terjadi pergeseran perilaku yang cukup signifikan. Konsumen masa kini, terutama generasi muda, semakin sadar akan isu-isu sosial dan lingkungan. Mereka cenderung memilih produk dari perusahaan yang bertanggung jawab dan tidak segan untuk memboikot merek yang terlibat dalam praktik bisnis tidak etis, seperti pelanggaran HAM atau pencemaran lingkungan. Tren ini menandakan bahwa keberlanjutan bukan lagi sekadar nilai tambah, melainkan menjadi faktor utama dalam preferensi dan loyalitas konsumen. Oleh karena itu, jika perusahaan ingin tetap relevan dan kompetitif di pasar, penerapan prinsip keberlanjutan dan etika dalam proses pengadaan bukan lagi sebuah pilihan, melainkan sebuah keharusan.
Apa Itu Pengadaan Etis dan Berkelanjutan?
Dalam praktik bisnis modern, pengadaan tidak lagi hanya berfokus pada memperoleh harga terendah atau memenuhi permintaan pasokan dengan cepat. Pengadaan etis menekankan pentingnya memilih pemasok yang menerapkan praktik kerja yang adil, aman, dan manusiawi. Hal ini mencakup memastikan bahwa pemasok menyediakan kondisi kerja yang layak, upah yang adil, serta menghormati hak-hak pekerja. Dengan menerapkan pengadaan etis, perusahaan berkontribusi dalam menegakkan hak asasi manusia dan meningkatkan kualitas hidup para pekerja dalam rantai pasok mereka (Groves & Company, 2023).

Sementara itu, pengadaan berkelanjutan berfokus pada meminimalkan dampak lingkungan dan mendukung prinsip ekonomi sirkular. Ini melibatkan pengurangan limbah, peningkatan efisiensi sumber daya, dan pengurangan emisi karbon dalam proses produksi maupun distribusi. Praktik ekonomi sirkular memungkinkan perusahaan untuk mengurangi konsumsi sumber daya alam sekaligus menciptakan nilai lebih dari limbah yang ada (Ivalua, 2023). Dalam konteks ini, pengadaan berkelanjutan tidak hanya menjadi strategi pelestarian lingkungan, tetapi juga kunci menuju efisiensi dan inovasi jangka panjang.
Oleh karena itu, penting bagi perusahaan untuk memilih pemasok yang memenuhi kedua aspek yaitu etika dan keberlanjutan, bukan hanya berdasarkan harga terendah. Memilih mitra kerja yang patuh pada standar sosial dan lingkungan terbukti dapat meningkatkan reputasi merek, mengurangi risiko hukum dan operasional, serta mendorong pertumbuhan yang bertanggung jawab (GEP, 2023). Dalam jangka panjang, pendekatan ini menciptakan rantai pasok yang lebih tangguh dan mampu bertahan menghadapi krisis global maupun tekanan pasar yang dinamis.
Tantangan Implementasi
Implementasi pengadaan etis dan berkelanjutan bukanlah tugas yang mudah. Meskipun prinsip-prinsipnya semakin diakui penting dalam strategi bisnis, penerapannya di lapangan masih menghadapi berbagai hambatan. Mulai dari keterbatasan informasi rantai pasok hingga tekanan efisiensi biaya, perusahaan sering kali dihadapkan pada dilema antara idealisme dan realitas operasional. Berikut merupakan beberapa tantangan dari implementasi pengadaan etis dan berkelanjutan.
- Kurangnya Transparansi Pemasok
Menelusuri praktik pemasok secara menyeluruh, terutama hingga ke tingkat subkontraktor (Tier 2 dan Tier 3), merupakan tantangan besar bagi banyak perusahaan. Pemasok pada tingkat ini sering beroperasi di wilayah dengan regulasi yang lebih longgar dan sistem pemantauan yang lemah, sehingga mempersulit perusahaan dalam mengidentifikasi potensi pelanggaran seperti praktik kerja tidak manusiawi atau dampak lingkungan yang tidak terkendali. Ketiadaan transparansi ini memperbesar risiko reputasi dan hukum yang bisa merugikan perusahaan dalam jangka panjang (Persefoni, 2023). - Risiko Greenwashing dan Klaim ESG yang Tidak Dapat Diverifikasi
Seiring tekanan terhadap penerapan prinsip keberlanjutan terus meningkat, beberapa perusahaan atau pemasok cenderung melakukan greenwashing, yaitu memberikan klaim palsu atau berlebihan tentang praktik ramah lingkungan mereka. Tanpa adanya mekanisme verifikasi yang ketat, sulit bagi pemangku kepentingan untuk membedakan mana yang benar-benar berkelanjutan dan mana yang hanya sekadar pencitraan. Ini tidak hanya menurunkan kepercayaan pasar, tetapi juga membuka risiko tuntutan hukum (IRIS CARBON, 2023). - Biaya Implementasi yang Lebih Tinggi
Penerapan pengadaan berkelanjutan sering kali membutuhkan investasi tambahan, baik dalam bentuk bahan baku ramah lingkungan, sertifikasi, hingga teknologi pemantauan. Bagi banyak perusahaan, terutama UMKM atau bisnis dengan anggaran terbatas, biaya tambahan ini menjadi kendala utama. Meskipun demikian, pendekatan jangka panjang yang memperhitungkan efisiensi energi, umur produk yang lebih panjang, dan pengurangan limbah sering kali dapat memberikan penghematan dan nilai tambah di masa depan (Masao, 2023). - Jaringan Pemasok yang Kompleks
Rantai pasok global kini semakin kompleks, melibatkan ratusan bahkan ribuan pemasok lintas negara. Koordinasi dan komunikasi dalam jaringan ini menjadi tantangan tersendiri, apalagi jika sistem pengadaan yang digunakan masih konvensional dan tidak memungkinkan visibilitas real-time terhadap kinerja dan kepatuhan pemasok. Akibatnya, perusahaan kesulitan dalam memastikan seluruh mitra bisnisnya benar-benar mengikuti standar keberlanjutan (Ivalua, 2023). - Keterbatasan Data dan Alat Pemantauan
Pengambilan keputusan berbasis data sangat penting dalam mengukur dan meningkatkan performa keberlanjutan. Namun, masih banyak perusahaan yang menghadapi kesenjangan data akibat keterbatasan sistem pelaporan, kurangnya standar data, serta minimnya transparansi dari pemasok. Data yang tidak konsisten atau tidak lengkap menghambat efektivitas inisiatif keberlanjutan. Investasi dalam sistem manajemen data dan perangkat lunak pelacakan rantai pasok menjadi kebutuhan utama untuk mengatasi masalah ini (Searoutes, 2024).

Strategi untuk Meningkatkan Pengadaan Etis dan Berkelanjutan
Implementasi pengadaan yang etis dan berkelanjutan memerlukan pendekatan strategis yang komprehensif. Salah satu langkah awal yang penting adalah melakukan audit dan penilaian terhadap pemasok. Audit ini membantu perusahaan untuk menilai sejauh mana pemasok mematuhi standar sosial, lingkungan, dan etika yang telah ditetapkan. Melalui audit rutin dan proses due diligence, perusahaan dapat mengidentifikasi potensi risiko dalam rantai pasok dan menerapkan tindakan korektif yang sesuai (IBCSB, 2020).
Selain itu, memberikan insentif kepada pemasok yang menerapkan praktik berkelanjutan merupakan strategi efektif untuk mendorong perubahan positif. Insentif dapat berupa kontrak jangka panjang, akses ke pelatihan, atau peluang bisnis eksklusif yang mendorong pemasok untuk berinvestasi dalam praktik yang lebih bertanggung jawab (IBCSB, 2020). Strategi ini tidak hanya meningkatkan kinerja keberlanjutan tetapi juga memperkuat hubungan antara perusahaan dan mitra pemasok.
Strategi lain yang tak kalah penting adalah penguatan kapasitas dan kolaborasi dengan pemasok. Dengan memberikan pelatihan atau mengembangkan program bersama, perusahaan membantu mitra pemasok untuk memahami standar keberlanjutan serta menerapkannya secara praktis (IBCSB, 2020). Di sisi lain, pengadaan yang berkelanjutan juga menuntut integrasi prinsip ESG ke dalam strategi pengadaan secara menyeluruh. Artinya, kriteria ESG harus dimasukkan dalam proses seleksi dan evaluasi pemasok agar keberlanjutan menjadi bagian inti dari pengambilan keputusan bisnis (Tarumingkeng, 2024).
Referensi
- Connellan, C., Forwood, G., Nordin, S., De Catelle, W., & Moutia-Bloom, J. (2024, July 5). Time to get to know your supply chain: EU adopts Corporate Sustainability Due Diligence Directive. White & Case LLP. https://www.whitecase.com/insight-alert/time-get-know-your-supply-chain-eu-adopts-corporate-sustainability-due-diligence
- EIU. (2023). Sustainability disclosure requirements are tightening. https://www.eiu.com/n/sustainability-disclosure-requirements-are-tightening/
- GEP. (2023). How to partner with sustainable suppliers. Retrieved from https://www.gep.com/blog/strategy/how-to-partner-with-sustainable-suppliers/
- Groves & Company. (2023). Ethical procurement: Beyond compliance to drive corporate value. Retrieved from https://grovesandcompany.com/ethical-procurement-beyond-compliance-to-drive-corporate-value/
- IBCSHD. (2020). Panduan Pengadaan Berkelanjutan. https://www.ibcsd.or.id/wp-content/uploads/2020/05/Sustainable-Sourcing-Guideline-IND.pdf
- IRIS CARBON. (2023). Addressing Greenwashing: Best Practices for ESG Transparency in the USA. Retrieved from https://www.iriscarbon.com/addressing-greenwashing-best-practices-for-esg-transparency-in-the-usa
- Ivalua. (2023). Creating a circular economy: Solutions for a sustainable supply chain. Retrieved from https://www.ivalua.com/blog/creating-a-circular-economy-solutions-for-a-sustainable-supply-chain/
- Ivalua. (2023). Supplier Networks: Managing Complexity in the Supply Chain. Retrieved from https://www.ivalua.com/blog/supplier-networks
- Masao, N.. (2023). Overcoming the Cost Barrier to Sustainable Procurement. Retrieved from https://medium.com/@nickmasao/on-overcoming-the-cost-barrier-to-sustainable-procurement-f857841b4612
- Persefoni. (2023). Supplier Tiers Explained: Tier 1, Tier 2, Tier 3. Retrieved from https://www.persefoni.com/blog/supplier-tiers
- PWC. (2024). Consumers willing to pay 9.7% sustainability premium, even as cost-of-living and inflationary concerns weigh: PwC 2024 Voice of the Consumer Survey. PwC. https://www.pwc.com/gx/en/news-room/press-releases/2024/pwc-2024-voice-of-consumer-survey.html
- Searoutes. (2024). The Role of Supply Chain Data Analytics in Sustainable Procurement. Retrieved from https://searoutes.com/2024/03/27/the-role-of-supply-chain-data-analytics-in-sustainable-procurement
- Tarumingkeng, R. C. (2024). Sustainable Finance and ESG Integration. https://rudyct.com/ab/Sustainable.Finance.and.ESG.Integration.pdf
*****
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.
Download artikel ini:
SCI - Artikel Menyeimbangkan Keuntungan dan Prinsip, Tantangan dalam Pengadaan Berkelanjutan yang Beretika (359.8 KiB, 16 hits)
You must be logged in to post a comment.