Oleh: Rudy Sangian | Senior Consultant at Supply Chain Indonesia
Kegiatan bongkar muat barang berbahaya melibatkan freight forwarder sebagai pemilik barang yang dikuasakan dan government agencies, oleh Karena itu sudah waktunya bagi Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk menjadikan ke-otoritas-an pelabuhan itu berdaulat penuh agar keselamatan kapal dan keselamatan bongkar muat dapat diprioritaskan.
Barang berbahaya seperti bahan bakar minyak (BBM), bahan kimia dan sejenisnya yang akan dikirimkan oleh kapal laut akan sangat membahayakan keselamatan kapal dan keselamatan kegiatan bongkar muat apabila barang berbahaya itu terkena panas dari sinar matahari yang terlalu lama, hal ini akan memicu barang berbahaya tersebut untuk meledak, oleh karena itu barang berbahaya itu tidak boleh terkena dwelling time.
Beberapa peraturan yang harus diperbaiki dalam lingkungan pelabuhan untuk meningkatkan keamanan dan kualitas pelabuhan, adalah sebagai berikut:
DUALISME LAYANAN SATU ATAP
Untuk mempersingkat waktu dwelling time dipelabuhan pada barang berbahaya tersebut Ketika barang berbahaya itu akan masuk pelabuhan yang dituju dan akan dimuat kedalam kapal, maka sebaiknya ada layanan satu atap yang dipusatkan Kantor Otoritas Pelabuhan berdasarkan UU 17/ 2008 Tentang Pelayaran.
Namun hingga saat ini, layanan satu atap tersebut belum tersedia Kantor Otoritas Pelabuhan melainkan dilakukan di BUP BUMN Operator Pelabuhan setempat.
Bayangkanlah jika barang berbahaya itu mencemari daerah perairan sekitarnya atau bahkan meledak karena terkena panas dari sinar matahari yang mengakibatkan banyak korban di perairan tersebut, maka yang akan terkena dampaknya adalah Kementerian Perhubungan bukan BUP BUMN Operator Pelabuhan setempat.
OTORITAS PENGOLAHAN GERAK KAPAL
Dikarenakan Kantor Syahbandar Pelabuhan setempat telah menerbitkan surat olah gerak persetujuan kapal untuk masuk ke titik tambatan, maka ketika kapal tersebut akan memasuki daerah pelabuhan dalam kurun waktu 2 x 24 jam olah gerak kapal tersebut mulai dari titik labuh sampai ke titik tambat tidak boleh dihambat oleh siapapun.
Tetapi pada kenyataannya, durasi waktu kapal mulai dari titik labuh sampai pada titik tambatan kapal itu memerlukan waktu 5 s.d. 10 hari sedangkan surat olah gerak hanya berlaku 2 x 24 jam. Hal ini disebabkan sebagai berikut:
KENDALA BUSINESS PROCESS
Berikut gambar urutan layanan kapal di ranah pelabuhan pada saat ini.
Beberapa permasalahan yang menyebabkan pelayanan kapal dari titik labuh sampai ke titik tambat (ikat tali) menjadi sangat lama,adalah:
- Lambatnya ketersediaan tempat tambatan. Bisa terlihat pada piramida no 3 diatas, layanan satu atap untuk manajemen ketersediaan dermaga seharusnya dilakukan di kantor otoritas pelabuhan bukan dilakukan di kantor BUP BUMN, hal ini dilakukan untuk menghindari adanya praktek jualbeli tambatan kapal.
- Kapal belum bisa berlayar dikarenakan adanya aturan yang masih tumpang tindih antara Kantor Otoritas Pelabuhan/Syahbandar yang menerbitkan Surat Perintah Olah Gerak dan BUP BUMN Operator Pelabuhan yang menerbitkan SPK Pandu/Tunda.
- Peraturan untuk agen kapal dalam mengajukan layanan kapal, sampai ditetapkan permohonan kapal & barang juga BUP Pelindo yang menerbitkan SPK Pandu/Tunda, sebaiknya disesuaikan kembali dengan perangkat peraturan UU 17/2008 tentang Pelayaran
Gambar dibawah ini adalah salah satu kendala mengapa layanan pelabuhan-pelabuhan di Indonesia masih memiliki biaya logistik yang tinggi
PENGAWASAN BARANG BERBAHAYA DAN KEGIATAN BONGKAR MUATNYA
Dalam proses dan pengawasan kegiatan bongkar atau muat barang berbahaya dari dan ke atas kapal, sangat diperlukan suatu Badan sertifikasi yang ditunjang oleh perangkat berteknologi tinggi dengan standar internasional.
Verifikasi keabsahan dokumen sangat diperlukan apabila terjadi kecelakaan di ranah pelabuhan, verifikasi keabsahan dokumen tersebut, akan menjelaskan siapa saja yang harus bertanggung jawab atas kecelakaan tersebut, dan apakah proses bongkar muat barang sudah sesuai dengan prosedur, hal-hal yang berkaitan dengan pembuatan dokumen tersebut adalah sebagai berikut:
- Harus ditentukan terlebih dahulu instansi mana yang bisa melakukan persetujuan atas dokumen serta fisik kapal tersebut? Instansi yang ditunjuk harus sudah mempunyai sertifikat berstandar internasional sehingga dapat meminimasi terjadinya kecelakaan? Instansi yang ditunjuk juga harus sudah memiliki perangkat berteknologi tinggi dan mengerti mengenai semua terminologi yang tertera pada dokumen kapal?
- Siapa yang boleh menyetujui setelah verifikasi tersebut lalu melakukan olah gerak, apakah Kantor Otoritas Pelabuhan/Kesyahbandaran atau BUP BUMN Operator Pelabuhan (Pelindo) atau masih ada instansi lain yang berwenang ?
Permasalahan di atas ini memang frekuensi kegiatannya dalam satu tahun tidak sama dengan kegiatan bongkar muat kargo/kontainer, tetapi jika terjadi accidentmaka yang akan dipersalahkan adalah Kementerian Perhubungan.
SLOT TIME UDARA vs BERTHING AREA LAUT
PM 13 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Alokasi Ketersediaan Waktu Terbang (slot time) Bandar Udara. Bahwa dengan meningkatnya pertumbuhan industri angkutan udara, menuntut adanya pengaturan slot time dan penggunaan fasilitas, kapasitas dan infrastruktur bandar udara secara efektif dan efisien; bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud maka perlu ditetapkan peraturan tentang Penyelenggaraan Alokasi Ketersediaan Waktu Terbang (slot time) di Bandar Udara.
Apabila di Bandar Udara mempunyai slot time kenapa di ranah laut tidak diberlakukan hal yang sama mengenai adanya ketersediaan dermaga tambatan kapal ?
Berapa banyak sekarang para pengguna jasa pelabuhan laut dalam hal ini Agen Kapal dan atau Agen Pelayaran yang merasa tidak pernah mendapatkan kepastian mengenai tambatan kapal.
Apakah penyebabnya adalah kapal udara tidak bisa berlama-lama di udara maka Slot Time dianggap lebih kritis ketimbang berthing area di laut?
Kita bisa menyaksikan dari pantauan pesawat udara mengenai berapa banyak kapal laut yang berada pada posisi labuh menanti penetapan dermaga?
Fenomena ini sudah kita ketahui bersama dan sudah saatnya sekarang kita harus melakukan pembenahan agar kapal-kapal laut ini dilayani dengan baik melalui penerapan kedaulatan Kantor Otoritas Pelabuhan/Kesyahbandar dan untuk itu PPSA (Pusat Pelayanan Satu Atap) itu sebaiknya dilakukan di Kantor Otoritas Pelabuhan/Kesyahbandar sesuai dengan UU 17/ 2008 dan diusulkan untuk dibuatkan kebijakan PM yang baru yang kesetaraannya sama dengan PM 13/2015 dimaksud di atas.
WHY NEED IPBM ?
Indonesian Port Berthing Management (IPBM) adalah sebuah entitas penyelenggara yang bersifat transparan yang memonitor dan mengawasi mekanisme kegiatan dan kinerja Pengelola Dermaga. Adanya IPBM ini akan menjadikan layanan di pelabuhan menjadi adil dan merata, antara Agen Kapal/Agen Pelayaran besar, kecil, menengah, semua akan dilayani secara adil, cepat, tepat dan akurat karena diawasi oleh Kantor Otoritas Pelabuhan/Kesyahbandar yang berdaulat penuh.
* OP : Otoritas Pelabuhan
* BUP : Badan Usaha Pelabuhan
* UPT : Unit Pelaksana Teknis Kementerian Perhubungan
* IPBM : Indonesian Port Berthing Management
Yuriprudensi mengenai hal ini adalah PM 13/2015 Pasal 3 dan 4. Bahkan, perlu ditambahkan beberapa klausal agar terjadi keharmonisan manajerial antara Feeder Vessel Indonesia dengan Mother Vessel-nya yang bertambat di PSA (Port Singapore Authority).
Hal ini sangat penting sehubungan dengan penetapan closing time PSA yang sangat mempengaruhi pada kesiapan semua lapisan pelaku usaha logistik Indonesia dan adanya kepadatan di pelabuhan pada setiap akhir minggu sehubungan dengan closing time PSA dimaksud.
Apabila IPBM ini sudah dibentuk, IPBM dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penurunan biaya logistik di Indonesia, yang saat ini yang berada di urutan nomor 2 termahal di Asean sesudah Vietnam.
IPBM tidak hanya meliput rute kapal domestik tetapi rute kapal internasional dan dapat saling bertukar data menggunakan format UN/EDIFACT yang sudah baku sesuai dengan standard international.
Download Artikel ini:
Pengawasan Barang Berbahaya dan Kegiatan Bongkar Muatnya di Pelabuhan (755.3 KiB, 3,171 hits)