
Oleh: Heru Setyo Basuki
Customs & Excise Manager
SF Consulting
Dokumen Surat Keterangan Asal (SKA) atau Certificate of Origin (COO) memegang peran sentral dalam skema perdagangan internasional yang berbasis perjanjian perdagangan bebas atau Free Trade Agreement (FTA). Dokumen tersebut merupakan bukti formal bahwa suatu barang berasal dari negara pengekspor yang menjadi anggota FTA dan oleh karenanya berhak mendapatkan perlakuan tarif preferensi di negara tujuan ekspor. Di Indonesia, ketentuan mengenai penyerahan SKA sebagai dasar pemberian fasilitas tarif preferensial diatur dalam beberapa regulasi pelaksana, salah satunya melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Salah satu regulasi yang menjadi sorotan adalah PMK-45/PMK.04/2020. PMK ini terbit pada saat masa Covid-19 yang mewajibkan importir untuk menyerahkan lembar asli SKA dalam jangka waktu paling cepat 90 hari sejak tanggal dokumen impor sampai dengan 1 tahun sejak tanggal penerbitan SKA (selanjutnya disebut PMK-45/2020). Setelah masa Covid-19 berlalu maka terbitlah PMK 35 Tahun 2023 yang berlaku mulai 28 April 2023 (selanjutnya disebut PMK 35/2023).
Namun, praktik di lapangan menunjukkan bahwa penerapan ketentuan ini sering kali menimbulkan ketidakpastian hukum, terutama terjadi pada masa peralihan kedua PMK tersebut. Importir yang berniat memenuhi ketentuan PMK-45/2020 yaitu dengan menyerahkan lembar asli SKA tetapi ditolak oleh Petugas Penerimaan Dokumen Bea Cukai dengan alasan bahwa pemenuhan penyerahan sudah berubah sejak berlakunya PMK 35 Tahun 2023 yaitu yang hanya mengirimkan softcopy berupa dokumen elektronik (hasil pindai berwarna atau hasil unduhan) dari SKA.
Permasalahan yang terjadi yaitu penolakan secara verbal yang pada akhirnya menimbulkan sengketa baru yaitu penetapan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) atas Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang tidak menyerahkan lembar asli SKA berdasarkan ketentuan PMK-45/2020 sehingga importir harus membayar bea masuk dengan tarif normal (most favoured nation).
Penetapan DJBC terbit berupa Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) yaitu penetapan yang digunakan terkait dengan tarif dan nilai pabean yang diterbitkan oleh DJBC maksimal 2 tahun sejak tanggal PIB (Pasal 17 UU Kepabeanan). Dengan penetapan tersebut importir dapat mengajukan banding ke Pengadilan Pajak maksimal 60 hari sejak diterimanya penetapan SPKTNP tersebut.
Perubahan regulasi ini mencerminkan adanya pergeseran pendekatan hukum administratif dalam tubuh DJBC, dari yang sebelumnya berorientasi pada prosedural formalistik, menuju pendekatan yang lebih menghargai substansi dan perkembangan digitalisasi dokumen perdagangan. Namun demikian, perubahan ini juga membuka ruang kritik karena ketentuan sebelumnya telah menimbulkan dampak hukum nyata terhadap importir, termasuk dalam bentuk penolakan fasilitas tarif preferensi yang kemudian menjadi objek sengketa di Pengadilan Pajak.
Artikel ini bertujuan untuk memberikan kajian kritis terhadap perubahan kebijakan dari PMK-45/2020 ke PMK-35/2023, menganalisis implikasi hukumnya terhadap pelaku usaha (importir), serta merefleksikan praktik lapangan yang menjadi sumber sengketa administratif, dengan mengambil studi kasus nyata yang sedang berlangsung di Pengadilan Pajak. Diharapkan tulisan ini dapat menjadi kontribusi bagi penguatan prinsip kepastian hukum dan keadilan substantif dalam tata kelola layanan kepabeanan ke depan.
Skema Hukum Penyerahan SKA
Dalam konteks pemberian tarif preferensial berdasarkan perjanjian perdagangan internasional, pemenuhan Surat Keterangan Asal atau Certificate of Origin (SKA/COO) menjadi syarat mutlak. Kewajiban ini diturunkan ke dalam regulasi nasional melalui peraturan teknis yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan, dalam hal ini melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Namun, ketentuan teknis mengenai bentuk dan waktu penyerahan SKA oleh importir mengalami evolusi yang cukup signifikan, terutama bila dibandingkan antara PMK-45/PMK.04/2020 (PMK-45/2020) dengan PMK 35 Tahun 2023 (PMK-35/2023).

- PMK-45/2020: Penyerahan Lembar Asli SKA dengan Batas Waktu
Selama masa Covid-19 pemerintah menerbitkan PMK-45/2020 dengan tujuan relaksasi penyerahan lembar asli SKA dimana sebelumnya 1 hari sampai dengan 5 hari menjadi paling cepat 90 hari sejak tanggal dokumen impor dan paling lambat 1 tahun sejak tanggal penerbitan SKA. Dengan tetap mewajibkan penyerahan lembar asli SKA maka ketentuan ini tidak memberikan ruang eksplisit bagi bentuk lain dari SKA seperti dokumen hasil pindai (softcopy) atau SKA digital (e-form). - PMK 35/2023: Pengakuan Bentuk Digital dan Fleksibilitas Baru
Situasi tersebut kemudian diperbaiki melalui terbitnya PMK 35 Tahun 2023 yang menggantikan PMK-45. Regulasi baru ini membawa pembaruan penting, khususnya dalam Pasal 4, yang menyebut bahwa SKA yang diserahkan dapat berupa:
1. Lembar asli SKA (hardcopy);
2. Hasil pindaian berwarna dari lembar asli SKA (softcopy); atau
3. Hasil unduhan SKA dari situs resmi instansi penerbit (e.g., e-Form D).
Perubahan ini secara eksplisit mengakui bahwa bentuk elektronik/digital dari SKA kini sah dijadikan dasar pemberian tarif preferensi. Langkah ini menandai pergeseran paradigma ke arah digitalisasi pelayanan kepabeanan, sekaligus merupakan pengakuan implisit bahwa pendekatan sebelumnya yang hanya mengakui lembar asli (hardcopy) terlalu sempit, tidak adaptif terhadap praktik dagang internasional, dan berisiko mencederai kepastian hukum pelaku usaha.
Ketidakkonsistenan Regulasi dan Praktik di Lapangan
Meskipun peraturan perundang-undangan memiliki tujuan untuk memberikan kepastian hukum, dalam praktiknya perbedaan penafsiran dan pelaksanaan teknis di lapangan justru dapat menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan. Hal inilah yang terjadi dalam konteks implementasi ketentuan penyerahan Certificate of Origin (SKA) sebelum diberlakukannya PMK-35/2023.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, PMK-45/2020 mengatur bahwa penyerahan lembar asli SKA dilakukan dalam jangka waktu paling cepat 90 hari sejak tanggal dokumen impor sampai dengan 1 tahun sejak tanggal penerbitan SKA. Namun, ketentuan tersebut tidak secara eksplisit melarang penyerahan sebelum hari ke-90 maupun mengatur secara detail tata cara penyerahannya.
Akibatnya, dalam praktik ditemukan kasus di mana petugas Bea Cukai menolak dokumen lembar asli SKA yang diserahkan lebih awal dari 90 hari, dengan dalih belum memenuhi ketentuan waktu. Sementara itu, dalam kasus lain, terdapat pula penolakan penyerahan terhadap dokumen lembar asli SKA yang diserahkan setelah 90 hari sejak tanggal dokumen impor dan belum sampai 1 tahun sejak terbitnya SKA dengan alasan sudah berlaku peraturan terbaru yaitu PMK-35/2023. Memang sengketa ini terjadi pada PIB-PIB pada masa satu tahun sebelum terbitnya PMK-35/2023 sebagaimana lini masa berikut:

Kondisi ini menunjukkan adanya perbedaan penafsiran (interpretasi) dan pelaksanaan dari kedua PMK tersebut oleh petugas Bea Cukai yang bertugas sebagai penerimaan dokumen. Dapat dikatakan bahwa perbedaan ini terjadi antara regulasi dengan praktik administratif di lapangan. Hal ini sangat merugikan importir yang beritikad baik dan telah memenuhi substansi kewajiban (menyerahkan softcopy SKA sesuai ketentuan berdasarkan ketentuan PMK-45/2020), namun tetap dikenakan sanksi yaitu berupa kehilangan hak atas tarif preferensi hanya karena masalah formalitas prosedur.
Ironisnya, praktik penolakan tersebut terjadi ketika tren internasional dan kebijakan nasional justru mengarah pada digitalisasi dokumen perdagangan. Dalam beberapa kasus, dokumen SKA yang disampaikan secara digital telah memiliki elemen verifikasi seperti kode QR, tanda tangan elektronik, atau tautan ke situs resmi instansi penerbit, sehingga keasliannya dapat diuji dan diverifikasi secara objektif. Namun, pendekatan yang terlalu formalistik oleh sebagian otoritas justru menimbulkan paradoks hukum, di mana substansi kebenaran diabaikan hanya dikarenakan pemenuhan administratif belaka.
Dengan diberlakukannya PMK-35/2023, dapat dikatakan DJBC secara resmi mengakui validitas hasil pindai SKA dan SKA digital, yang berarti juga merupakan “pengakuan diam-diam” bahwa pendekatan lama telah menimbulkan persoalan implementatif. Perubahan ini adalah bentuk koreksi kebijakan tetapi tidak bisa menghapus fakta bahwa sebelum peraturan baru berlaku, telah terjadi praktik yang tidak seragam dan berisiko menimbulkan sengketa hukum. Hal inilah yang kemudian menjadi objek banding di Pengadilan Pajak dan membuka ruang refleksi untuk perbaikan ke depan.
Studi Kasus Sengketa di Pengadilan Pajak
Penulis mengambil contoh sengketa keterlambatan penyerahan lembar asli SKA berdasarkan perjanjian FTA Indonesia-Jepang (IJEPA) dimana PIB sengketa ini tertanggal 13 Maret 2023 (atau 15 hari sebelum PMK-35/2023 diterbitkan). Secara kewajiban penyerahan lembar asli SKA harus mengikuti PMK-45/2020 tetapi waktu penyerahan masuk setelah PMK 35/2023 berlaku. Sengketa ini bermula ketika importir (dalam hal ini PPJK-nya) telah menyerahkan sesuai ketentuan PMK-45/2020 tetapi Petugas Penerima Dokumen menolak dengan alasan, tidak perlu menyerahkan lembar asli SKA karena sudah berlaku ketentuan PMK-35/2023.
Sengketa ini salah satu contoh konkret dari ketidakkonsistenan pelaksanaan regulasi kedua PMK di atas dan praktik penyerahan SKA adalah kasus sengketa yang saat ini tengah diperiksa di Pengadilan Pajak, di mana importir mengajukan banding terhadap penolakan tarif preferensial oleh Bea Cukai atas dasar terlambatnya penyerahan lembar asli SKA (banyak importir yang pada saat menyerahkan lembar asli SKA ditolak oleh petugas Bea dan Cukai dengan alasan tidak perlu lagi karena cukup menyerahkan hasil pindai saja sesuai ketentuan PMK-35/2023, akhirnya menyerahkan lembar asli yang melebihi 1 tahun dari tanggal penerbitan SKA sehingga tidak memenuhi ketentuan PMK-45/2020.
Jika dilihat secara pemenuhan penyerahan dokumen SKA dalam bentuk digital maka telah disampaikan oleh importir dalam rentang waktu yang sah, dan SKA tersebut masih berlaku serta diterbitkan oleh instansi resmi negara asal, dalam hal ini Jepang.
Dengan keterlambatan penyerahan lembar asli SKA, DJBC menolak pemberian fasilitas tarif preferensi dengan alasan bahwa lembar asli SKA baru diserahkan setelah batas waktu yang ditentukan dalam PMK-45/2020. DJBC tidak mempertimbangkan fakta bahwa:
- Dokumen SKA telah disampaikan dalam bentuk softcopy (hasil pindai berwarna) melalui sistem atau komunikasi resmi;
- Dokumen softcopy tersebut masih dalam masa berlaku 12 bulan sejak diterbitkan;
- SKA berasal dari otoritas resmi Jepang dan dapat diverifikasi secara elektronik.
Akibatnya, importir dikenakan bea masuk penuh tanpa tarif preferensi, yang menimbulkan beban finansial signifikan serta berdampak pada aspek likuiditas dan daya saing usaha.
Bagi perusahaan yang mempunyai sengketa yang sama maka dapat menggunakan dasar hukum berikut dalam surat bandingnya:
- Pasal 6 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang menyatakan bahwa dokumen elektronik sah sebagai pengganti dokumen tertulis, sepanjang dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan;
- Pasal 41 (6) Perjanjian Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA), yang menyatakan bahwa SKA dapat diterbitkan dan diserahkan secara retroaktif dalam jangka waktu maksimal 12 bulan, dan penyerahan kepada otoritas negara tujuan tunduk pada hukum nasional;
- Pasal 45 Perjanjian IJEPA, yang secara tegas menyebut bahwa penolakan tarif preferensial hanya dapat dilakukan jika barang tidak memenuhi origin, atau jika dokumen dinyatakan tidak sah oleh negara penerbit dan tidak menyebut bentuk fisik dokumen sebagai alasan penolakan;
- Prinsip “substance over form” dan asas kepastian hukum, yang mewajibkan otoritas negara untuk mendahulukan substansi kebenaran dan tujuan regulasi dibanding sekadar kepatuhan terhadap bentuk atau prosedur administratif;
- Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB), bahwa pelaksanaan pemerintahan diatur berdasarkan AUPB tentunya bertujuan bahwa semua penetapan atau keputusan dari pejabat pemerintahan yang bersifat adminstratif harus dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kasus ini pada akhirnya menjadi cerminan persoalan klasik dalam hukum administrasi Indonesia: ketika prosedur lebih diutamakan daripada substansi, dan ketika perubahan regulasi tidak diiringi dengan konsistensi implementasi. Sengketa ini tidak hanya menjadi perdebatan teknis mengenai penyerahan dokumen, tetapi juga membuka ruang diskusi mengenai urgensi penataan ulang praktik pelayanan publik di bidang kepabeanan.
Implikasi Hukum dan Saran Reformasi
Kasus sengketa penolakan tarif preferensial akibat keterlambatan atau ketidaksesuaian bentuk penyerahan SKA menunjukkan bahwa dalam praktik, hukum administratif Indonesia masih sering terjebak dalam pendekatan formalistik, di mana pemenuhan syarat administratif secara rigid diperlakukan lebih penting daripada keabsahan substansi dan niat kepatuhan dari pelaku usaha.
Implikasi Hukum
Pertama, penolakan tarif preferensial hanya karena bentuk penyerahan SKA dianggap tidak sesuai (misalnya tidak dalam bentuk hardcopy atau diserahkan di luar waktu yang ditafsirkan secara kaku), dapat dianggap bertentangan dengan prinsip kepastian hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 UU Administrasi Pemerintahan. Hal ini juga mengabaikan prinsip hukum universal seperti “substance over form” yang justru diakui dan digunakan secara konsisten di bidang perpajakan dan kepabeanan internasional.
Kedua, pendekatan formalistik tersebut tidak sejalan dengan semangat perjanjian perdagangan internasional yang telah diratifikasi Indonesia, seperti IJEPA. Dalam IJEPA, ketentuan penyerahan SKA bersifat fleksibel dan menekankan aspek validitas, otentisitas, dan batas waktu 12 bulan bukan bentuk fisik dokumen sebagai satu-satunya syarat.
Ketiga, tindakan penolakan atas dasar administratif semata juga berisiko memperlemah perlindungan hukum bagi importir yang beritikad baik, dan dapat menjadi preseden buruk yang menghambat iklim perdagangan yang sehat, efisien, dan berbasis kepercayaan (trust-based trade facilitation). Di sisi lain pemerintah justru ingin meningkatkan nilai investasi dari luar negeri maka dengan adanya sengketa SKA ini maka investor asing akan melihat ketidakkonsitenan dan kepastian hukum di Indonesia.
Saran Reformasi
Sebagai refleksi dari kasus ini, beberapa langkah reformasi hukum dan kebijakan dapat dipertimbangkan:
- Penyelarasan regulasi teknis dengan substansi perjanjian internasional
PMK dan SOP DJBC perlu lebih selaras dengan ketentuan dalam perjanjian internasional (termasuk pasal-pasal terkait Rules of Origin dan Operational Certification Procedures di tiap perjanjian SKA yang ditandatangani oleh Indonesia), khususnya dalam aspek penyerahan dokumen dan bentuk pengakuan terhadap dokumen digital. - Penerbitan pedoman teknis yang tegas dan seragam
Bea Cukai perlu mengeluarkan petunjuk pelaksanaan (instruksi kerja) yang eksplisit mengenai:
a. Bentuk-bentuk SKA yang sah;
b. Mekanisme penyerahan elektronik;
c. Batas waktu yang fleksibel sesuai konteks digitalisasi. - Penguatan asas pelayanan yang adil dan tidak diskriminatif
Pemerintah harus menjamin bahwa dalam pelayanan publik di bidang kepabeanan, hak pelaku usaha dilindungi secara proporsional, dan tidak boleh dikorbankan hanya karena celah atau perbedaan penafsiran prosedur administratif. - Sosialisasi dan pelatihan internal DJBC
Untuk mencegah ketidakkonsistenan implementasi antar unit vertikal, perlu dilakukan pelatihan terpadu bagi petugas Bea Cukai agar memahami konteks dan filosofi hukum substantif dalam pelayanan berbasis perjanjian internasional.
Perubahan regulasi dari PMK-45/PMK.04/2020 ke PMK-35/PMK.04/2023 merupakan langkah positif pemerintah dalam merespons dinamika perdagangan internasional yang semakin terdigitalisasi. Pengakuan atas bentuk SKA digital, baik dalam bentuk hasil pindai maupun hasil unduhan dari situs otoritas negara mitra dagang, mencerminkan arah kebijakan yang lebih modern, efisien, dan adaptif.
Namun demikian, perubahan ini juga menjadi pengingat akan pentingnya konsistensi kebijakan dan praktik administrasi negara, khususnya dalam bidang kepabeanan yang sangat teknis dan sensitif terhadap waktu serta dokumen. Sengketa yang muncul akibat ketidaksesuaian bentuk atau waktu penyerahan SKA yang seharusnya bersifat administratif telah berdampak nyata terhadap hak substantif pelaku usaha untuk memperoleh fasilitas tarif preferensial.
Artikel ini menyoroti bahwa ketidakkonsistenan antara norma hukum dan implementasi lapangan tidak hanya mencederai asas kepastian hukum, tetapi juga berpotensi mengikis kepercayaan publik terhadap sistem administrasi negara. Dalam konteks ini, Pengadilan Pajak memiliki peran penting untuk menyeimbangkan penerapan prosedur formal dengan keadilan substantif, dan memberikan preseden yang menghargai niat kepatuhan dan substansi legal dari importir.
Ke depan, diharapkan bahwa reformasi kebijakan dan peningkatan kapasitas kelembagaan Bea Cukai dapat berjalan seiring untuk memastikan bahwa kebijakan yang baik tidak hanya tertuang dalam regulasi, tetapi juga terwujud dalam praktik yang adil, transparan, dan berpihak pada kepentingan hukum nasional yang lebih luas.
*****
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.
Download artikel ini:
SCI - Artikel PMK-45/2020 ke PMK-35/2023: Kajian Kritis atas Regulasi dan Sengketa SKA (518.6 KiB, 15 hits)