Oleh: Rudy Sangian | Senior Consultant at Supply Chain Indonesia
Tingginya biaya logistik di Indonesia, masih menjadi permasalahan yang harus segera diperbaiki oleh Pemerintah.
Menurut Poltak Ambarita, Kasubdit Pengembangan Kerjasama Logistik, Kemendag, Ditjen PDN, Direktorat Logistik dan Sarana Distribusi, dalam diskusi pada milist Supply Chain Indonesia, Rabu (18/11), beliau mengungkapkan bahwa Kemendag telah melakukan beberapa langkah dalam upaya untuk menurunkan biaya logistik di Indonesia antara lain:
- Dalam mendukung Tol Laut Kemendag telah menyusun program Gerai Maritim. Gerai Maritim adalah rangkaian proses untuk mengurangi disparitas harga di wilayah timur dengan memfasilitasi pedagang di wilayah timur untuk mendapatkan tarif kompensasi dan memfasilitasi pedagang untuk berbisnis dan berhubungan langsung dengan pemasok.
- Program ini awalnya disusun untuk mengantisipasi adanya PSO angkutan barang dalam bentuk kompensasi, tetapi saat ini telah dikeluarkan Perpres 106 tahun 2015 tentang kewajiban penyelenggaran pelayanan publik untuk angkutan barang di laut.
- Perpres ini didasarkan adanya hipotesa dan pandangan yang mengatakan bahwa penyebab tingginya harga di wilayah timur karena biaya angkut yang tinggi dan dibarengi dengan muatan balik yang tidak ada. Maka pemerintah membuat solusi dengan memberikan kompensasi kepada PELNI.
- Perlu kita ketahui bersama bahwa penyebab utama biaya logistik yang tinggi bukan hanya faktor dari biaya angkut, tetapi juga termasuk perilaku di pelabuhan, apabila kita bisa mengetahui permasalahan-permasalahan yang ada, kita akan bisa untuk membuat suatu solusi yang bagus untuk mengatasi perbedaan harga di beberapa wilayah Indonesia.
Menurut Anang Hidayat, Senior Consultant at Supply Chain Indonesia dalam diskusi pada milist Supply Chain Indonesia (18/11), Berkaitan dengan disparitas harga antara wilayah timur dan barat adalah suatu hal yang wajar dikarenakan cost logistic ke timur memang mahal akibat dari ketidakseimbangan perdagangan yang disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:
- Frequency sailing rendah, rute pendek, pay load rendah, biaya operasional menjadi tinggi dibanding freight yang bisa didapat
- Perputaran kontainer rendah, akibatnya kontainer idle parah, rusak, maintenance tinggi, apa lagi kontainernya lease, revenue dari penggunaan kontainer turun
- Pelabuhan, kondisi hinterlandnya belum atau bahkan tidak menunjang; sarana receiving delivery antara hinterland dan pelabuhan, industrinya, populasinya, GDP, pasarnya yg berakibat pada no 1 dan 2 di atas .
- Sarana/prasarana + orang, sehingga dwelling time menjadi tinggi baik vessel maupun cargo dwelling time.
Dari kondisi diatas maka tidak akan banyak perusahaan pelayaran yang sanggup bertahan dengan kondisi diatas.
Jadi untuk dapat membuat logistics cost rendah agar tipisnya disparitas harga bisa dicapai bila semua kondisi-kondisi diatas bisa diatasi dan menurut saya sementara yang dilakukan dengan PSO paling tidak bisa lebih cepat disparitas harga bisa dikurangi, secara simultan membangun sarana prasarana, perdagangannya walau tentu menjadi pukulan buat non PSO.
Sisi lain sesuai UU, pimpinan daerah adalah bagian dari otoritas pelabuhan, mereka harus memiliki concern, persepsi dan partisipasi yg sama dengan pihak kementrian perhubungan, tidak boleh mengabaikan mengenai permasalahan logistik.
Banyak pendapat yang membandingkan freight dari jawa ke kawasan timur dengan ke luar negeri, sebut saja tiongkok atau asia dimana ocean freightnya lebih murah, tetapi boleh jadi tidak mengetahui penyebabnya bukan melulu soal ukuran karena sekarang banyak kapal besar yang tidak terpakai juga.
Neraca import kita lebih besar, artinya kontainer banyak yang menumpuk di wilayah Indonesia, sementara dari hub hub negara pemilik kapal adalah juga exporting country dimana mereka short container, maka untuk menyeimbangkan kontainer harus diambil dari negara yg stock kontainernya banyak maka daripada menarik kosong sementara biaya operasionalnya tidak jauh bebeda lebih baik menarik barang dan memberikan freight murah ” obral besar ” , karena begitu sampai akan digunakan atau diputarkan kembali untuk export.
Intinya untuk sementara, PSO dulu dijalankan, tentu harus disinergikan dengan pihak swasta agar terus hidup, disisi lain sambil berjalan semua aspek dibenahi dan tidak terhenti apabila pemerintahnya berganti.
Menurut Rudy Sangian, Senior Consultan at Supply Chain Indonesia dalam diskusi pada milis Supply Chain Indonesia (18/11), Dalam PerPres 106 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik untuk Angkutan Barang di laut maka seluruh pasal pada perangkat peraturan tersebut memberi gambaran sebagai berikut:
- BUMN Operator Bidang Angkutan Laut (Pasal 4 Ayat 1); dalam hal ini PT Pelni (Pasal 4 Ayat 2) dan bisa dilakukan oleh Pihak Lain (Pasal 4 Ayat 3) tetapi harus BUMN;
- Untuk mengangkut barang kebutuhan pokok dan barang penting (Pasal 2 Ayat 2).
Para Pihak yang dimaksud pada Pasal 7 peraturan ini sebenarnya menggambarkan Port Supply Chain seperti pada ilustrasi di bawah ini; sehingga dapat memberikan jaminan terhadap barang diangkut dan terdistribusi sesuai dengan tujuan Disparitas Ekonomi.
Biaya angkut berdasarkan ilustrasi di atas itu hanya merupakan salah satu bagian saja yang dapat menggeser daftar isian pelaksanaan anggaran (Pasal 7 Ayat 2) yang telah disepakati oleh para pihak terkait.
Adapun mengenai Performance Indicator bahwasannya barang dapat dikirim dengan tepat waktu sehingga harga barang tersebut nantinya tidak dipengaruhi oleh effect supply demand di lokasi tujuan maka kesemuanya memerlukan kehandalan koordinasi serta manajerial masing-masing Para Pihak.
Jika mekanisme di atas ini tidak diperlengkapi dengan teknologi informasi & komunikasi maka Biaya Logistik berpotensi akan naik secara tangible maupun intangible.
KOLABORASI LOGISTIK UNTUK MENURUNKAN BIAYA LOGISTIK MENGGUNAKAN PSO
Pemerintah harus waspada bahwa mekanisme di atas ini tidak boleh jalan apa adanya karena bisa berakhir dengan istilah dimulai dengan apa adanya dan berakhir dengan “ada apanya” (kebocoran distribusi, adanya Penerima Barang yang berkedok absah padahal ilegal, penduplikasian dan sebagainya) sehingga Disparitas Ekonomi tidak tercapai.
Dikarenakan program ini juga baru dijalankan oleh pemerintah maka pemilihan teknologi informasi dan komunikasi untuk memperkecil resiko pada maksud di atas juga belum ada benchmarking-nya sehingga tidak ada jaminan terjadinya kehandalan manajerial koordinasi.
Menerapkan Performance Indicator pada Kolaborasi Logistik yang terdiri dari berbagai Para Pihak dan terkait dengan berbagai instrument lainnya seperti pada gambar di atas ini tidak cukup hanya SLA (Service Level Agreement) yang dapat memberi jaminan bahwa PSO digunakan secara efektif dan efisien untuk tujuan Disparitas Ekonomi.
Dan itupun pada SLA memerlukan Pihak Pertama (Pemerintah dan atau atas nama Pemerintah) dan Para Pihak sebagai Pelaksana yang berkolaborasi secara logistik serta secara hukum mengikat satu sama lainnya sehingga PSO tidak digunakan semena-mena.
Kolaborasi Logistik yang dapat menurunkan Biaya Logistik itu hanya bisa terjadi jika Para Pihak yang dimaksud dengan Pasal 7 di atas diatur oleh sebuah Badan Independent yang dibentuk oleh Presiden dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden untuk mengontrol jalannya pencairan dana PSO berdasarkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (Pasal 7 Ayat 2) sesuai dengan SLA yang disepakati oleh semua pihak.
Perihal ini mirip dengan yang dilakukan oleh BULOG untuk disparitas harga beras. Dalam keseharian operasional masing-masing instansi pemerintah sebenarnya sudah sibuk dengan target-target yang ingin dicapai sehingga konsentrasi terhadap penggunaan PSO dapat saja berpotensi tidak teliti dan sebagainya.
Sebagai warga negara yang baik maka yang penting telah memberikan gagasan yang real dan kompleksitas kolaborasi logistik yang terjadi di lapangan; terlepas gagasan tersebut mau diterima atau tidak. Dengan demikian kita telah turut melakukan reformasi melalui tulisan untuk tujuan kemakmuran bangsa dan negara.
ROAD MAP PENGGUNAAN PSO DAN ELASTISITAS
Tujuan utama adalah Disparitas Ekonomi komoditi barang utama atau barang penting sesuai dengan peraturan di atas untuk mengimbangi kenaikan Biaya Logistik yang disebabkan kapal Pelni itu balik kosong (tidak ada muatan).
Contoh lagi yang bersifat ekstrim: ternyata peruntukan dana PSO tersebut adalah membangun fisik kapal Pelni menjadi 3 in 1, yakni: bisa muat penumpang, bisa muat kontainer, dan bisa RORO.
Jika fenomena kedua contoh di atas itu memiliki potensi terjadi pada praktek penggunaan dana PSO maka sebenarnya Disparitas Ekonomi itu bertujuan hanya sementara saja. Pemerintah tidak serius dan sesudah masa pemerintah ini berakhir; kesemuanya akan kembali seperti sediakala.
PSO (Public Service Obligation) vs USO (Universal Service Obligation)
Penerapan kedua model ini sudah dilakukan oleh pemerintah dan jika itu dimasukan sebagai bagian Road Map penggunaan PSO beserta wujud elastisitas-nya maka lambat-laun Biaya Logistik menjadi berimbang yang mempunyai dampak terhadap harga komoditi barang yang dimaksud di atas untuk penyelesaian disparitas harga.
Yang menjadi terpenting pada penerapan USO adalah bagaimana port logistic supply chain dibangun secara solid yang dapat memberikan keuntungan berbagai pihak.
Membangun vessel traffic melalui market place yang berbasis digital
Tadi diungkapkan di atas bahwa Biaya Logistik menjadi naik itu disebabkan kapal Pelni pulang tidak membawa muatan. Dengan adanya vessel traffic dari market place yang dibangun berbasis digital akan menyelesaikan isu permasalahan muatan kosong di atas. Bahkan bukan hanya kapal Pelni saja tetapi kapal-kapal lain yang sedang berada di Kawasan Timur boleh turut serta mengambil bagian pada vessel traffic dimaksud. Terkesan ide ini gampang tetapi kenyataannya sulit berdasarkan pengalaman pribadi.
Yang harus diperhatikan dalam mewujudkan market place dimaksud di atas adalah strategi penetrasi untuk menciptakan presepsi.
Hal ini sangat penting dan banyak diabaikan oleh berbagai kalangan sehingga portal digital market place tersebut tidak ada data dan akhirnya tidak ada trading traffic-nya dan apalagi vessel traffic-nya.
Download Artikel ini:
Kolaborasi Logistik untuk Menurunkan Biaya Logistik Menggunakan Public Service Obligation (PSO) (711.6 KiB, 889 hits)