Oleh: Kyatmaja Lookman, CISCP | Director of PT Lookman Djaja
Pada saat ini bangsa Indonesia sedang memasuki masa-masa tersulit dimana pertumbuhan ekonomi dunia melambat dan juga ekonomi di negara kita juga tidak berkembang begitu pesat sesuai prediksi. Dari mulai awal tahun 2015 sampai dengan bulan maret ini, keadaan ekonomi di Indonesia all time low. Salah satu sektor yang sangat terpukul berat adalah sektor otomotif, sebagai contoh pabrik General Motors dan Chevrolet tutup dari Indonesia dan akhirnya banyak sekali karyawan yang di PHK. Sektor F&B [Food and Beverages] masih terlihat bagus dibandingkan dengan sektor otomotif karena sektor F&B tersebut merupakan kebutuhan tersier, tapi kebutuhan tersier tersebut juga sedang mengalami ekonomi tersulit kedua setelah otomotif. Dinamika ekonomi seperti roda kadang berada diatas dan kadang berada dibawah. Monthly closing yang dibarengi dengan Quarterly closing kali ini untuk barang-barang, kebanyakan tidak mencapai hasil yang bagus bahkan cenderung menurun tajam. Sektor logistik di awal tahun 2015 ini khususnya pengangkutan merupakan salah satu yang terpukul cukup berat. Pabrik-pabrik truk juga mengeluhkan sangat lemahnya penjualan yang menurun drastis bisa sampai 60 – 70 persen dibandingkan dengan penjualan tahun lalu.
Akibat dari penyerapan pasar yang rendah untuk industri pengangkutan tersebut, hal ini menyebabkan para pengusaha pengangkutan banyak mengalami fase oversupply (kapasitas angkut dan permintaan sangat rendah). Keadaan politik di Indonesia juga tidak terlalu bagus dengan banyaknya perseteruan antar lembaga negara. Sebenarnya bisnis itu memerlukan kepastian agar bisa berjalan dengan baik. Solar fluktuatif tetapi di satu sisi nilai rupiah yang terus terdepresiasi ini harus diselesaikan juga. Dasar pondasi kenaikan harga solar kali ini agak aneh ditengah penurunan harga minyak dunia kita malah menaikkan solar.
Beberapa waktu lalu kita memang terlalu menikmati pertumbuhan yang begitu tinggi dan cenderung overoptimistik. Tentunya dengan harapan yang begitu besar hasilnya terkadang sering dibawah harapan kita. Saya rasa sudah waktunya juga untuk men-scale down ekspektasi-ekspektasi kita. Seperti halnya sektor properti banyak orang membeli rumah 3 4 5 6 7. belum lagi terpancing dengan harga naik tanggal… harga naik tanggal… itu juga men-create unnecessary demand. yang akhirnya mengakibatkan harga untuk komoditas tersebut naik diluar real valuenya. Pembelian diatas real value itu artinya kita membeli harga-harga di masa depan. Akibatnya sampai poin dimana harga barang tersebut stagnan menunggu waktu harga mencapai pada tahap itu. Kita tidak pernah tahu kapan kita membutuhkan uang dan akhirnya ketika ekonomi berkontraksi terpaksa menjual komoditas tersebut di bawah nilai pasar. kecuali Pemerintah bisa membuat sebuah kebijakan lagi untuk menaikkan harga.
Di sektor pengangkutan sendiri kemacetan-kemacetan itu menyebabkan terciptanya false demand juga, sehingga seakan akan industri itu memerlukan banyak permintaan padahal yang kita alami itu ketidakefisienan yang sangat luar biasa. Sehingga ketika ekonomi berkontraksi efek penurunannya berkali kali lipat tidak terkendali. Sekarang kita terkendala dengan oversupply kapasitas angkut yang tentunya saya yakin kita sekarang juga enggage di price war. Harga akan pukul memukul sampai pada tahap perusahaan jalan terus dengan tidak sehat. Tentunya bagus untuk sektor terusannya tapi apakah hal ini sehat untuk industri itu jawabannya adalah sudah pasti tidak. Oversupply kendaraan ini akan diwarnai juga banyak perusahaan yang tutup karena tidak bisa lagi membayar leasing untuk truk-truknya. Terbukti sudah banyak juga unit-unit second hand di pasaran karena orang-orang yang membutuhkan finansial.
Price war adalah bentuk paling primitif dalam berkompetisi karena end up nya adalah survival of the fittest dan memang akhirnya apakah harga akan selamanya rendah, tentu tidak bukan, setelah turun sampai tidak ada kompetitor harga akan pelan-pelan merayap naik lagi. Tidak selamanya orang juga akan merugi karena pada suatu saat akan mempunyai untung juga. Harusnya efisiensi itu didapat dari excellence operation yang memang akhirnya cost itu turun karena kita melakukan sesuatu yang berbeda. Fokus kita seharusnya ke total cost of ownership bukan dari harga individual. Harga solar akan terus naik tapi sudahkah dari kita mulai melihat BBG yang dimana per Rp. 3100 per LSP. Dari segi pemerintah penciptaan infrastruktur-infrastruktur baru agar tidak tercipta lagi demand-demand palsu, Jika kita tidak bisa belajar dari hal ini maka tetap saja kita bangsa primitif yang harus terus menerus enggage di persaingan harga.
Download Artikel ini:
Menelusuri Bisnis Transportasi di Awal Tahun 2015 (554.1 KiB, 435 hits)