Oleh: Kyatmaja Lookman, CISCP | Director of PT Lookman Djaja
Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa logistics cost di Indonesia masih mempunyai nilai yang sangat tinggi diantara negara-negara di ASEAN yaitu 24% dari PDB, beberapa solusi yang telah direncanakan oleh pemerintah pun belum berhasil untuk menurunkan logistics cost di Indonesia.
Beberapa faktor penyebab yang menjadi dasar untuk menurunkan logistics cost adalah:
- Raw Material
Negara Indonesia adalah negara pengekspor bahan mentah tanpa diberikan value added sebelum dikirimkan, semakin barang itu memiliki value added maka logistics cost jika dibandingkan dengan harga barang akan semakin turun. Misalnya untuk produksi kaca, bahan dasar terbesar yang banyak dipakai oleh produksi kaca itu adalah garam, tetapi garam ini harganya sangat murah jika dibandingkan dengan biaya transportasinya. Di Amerika untuk bahan-bahan dasar seperti ini, mereka menggunakan mini land bridge yaitu kereta api berdaya tarik tinggi yang mampu menarik ratusan gerbong untuk dua tumpuk container, dengan menggunakan transportasi tersebut maka unit cost pengirimannya bisa ditekan, karena apabila pada level raw material biaya pengirimannya sudah tinggi bagaimana pada level finished good.
- Semi Finished Good
pada level semi finished good untuk produk kaca tersebut sudah dalam bentuk kaca lembaran. Kaca lembaran tersebut sudah memiliki nilai ekonomis sedang dan sudah ada value added di dalamnya. Tentunya semakin ada value barang jika dibandingkan dengan logistics costnya akan semakin turun. Jika logistics cost untuk garam bisa mencapai hingga 660% maka kaca ini kurang lebih 30%. Kita akan masuk produk turunan yang ketiga ketika produk kaca ini dirubah menjadi art glass, tempered glass, atau automotif glass, dsb.
- Finished Good
Pada final produk harganya pasti sangat mahal akan tetapi konsumen tetap membeli barang tersebut dikarenakan mempunyai economic value. Ketika value meningkat maka harga juga meningkat maka perbandingan dengan logistics cost otomatis akan turun. Pada level finished good maka logistics costnya hanya tinggal 5 persen.
Itulah beberapa penyebab mengapa logistics cost di Indonesia masih tinggi, dikarenakan kurangnya value added activity pada beberapa proses tersebut.
Issue pada saat ini adalah kapal PELNI yang mendapatkan subsidi dari pemerintah tetapi tidak ada yang menggunakannya, hal ini disebabkan karena tidak kompetitif. Kita kembali ke konsep dasar bahwa sapi tidak akan bernilai economic tinggi, karena sapi adalah sebagai bahan dasar. Karena pada kenyataannya masyarakat tidak memerlukan sapi beserta tulang-tulang dan bangkainya untuk dikirim semua ke Jakarta dan dikonsumsi. Jika kita bandingkan dengan kapal import dari Australia yang dikirim itu hanya dagingnya saja. Beberapa kendala transportasi untuk pengiriman sapi yaitu contoh sapi dari NTT yang akan dikiirimkan sapi tersebut harus berenang terlebih dahulu sehingga ada resiko dan bisa menyebabkan kematian juga dalam perjalanan ke Pulau Jawa, untuk transportasinya menggunakan 20 feet container yang memiliki luas area 14.4 m2, dengan ukuran tersebut maka hanya cukup untuk mengangkut 5-6 ekor sapi.
Untuk mengurangi logistics cost pada transportasi pengangkutan sapi, seharusnya rumah potong hewan itu dibuat di NTT maka dengan demikian hanya daging yang dikirim, karena selain merupakan pemborosan transportasi, tulang belulang dan bangkai sapi tidak ada nilai ekonomisnya dan tidak akan menghabiskan biaya transportasi yang mahal untuk pengiriman ke Jawa.
Dengan mengirimkan dagingnya saja maka pengiriman sudah terlihat bisa lebih hemat kurang lebih 70% dan dalam satu container jika 1 ekor sapi dengan berat 1 ton menghasilkan daging kurang lebih 300kg, maka dalam satu container 20 feet berkapasitan 20 ton kita bisa memasukkan 66 ekor daging sapi. Di dalam pelayaran container juga bisa ditumpuk 3 sampai dengan 264 ekor sapi. Bayangkan 6 ekor sapi:264 ekor daging sapi, maka yang lebih murah ongkos kirimnya.
Untuk produk pertanian di Indonesia, permasalah yang paling utama adalah masalah penyusutan, seperti sapi dikirim 6 ekor meninggal 2 ekor, sehingga tidak ada nilai ekonomisnya dan tidak layak di konsumsi. Beras dan buah-buahan juga mengalami hal yang sama, masalah penyusutan ini adalah masalah didalam supply chain kita. Coba kita kirim daging beku tidak aka nada kendala. Sapi jika mati diperjalanan tidak akan halal untuk dikonsumsi, sedangkan daging dipotong dengan kaidah halal dibekukan dan dikirim masih layak untuk dikonsumsi.
Daging ini merupakan produk turunan kedua, jika kita telusuri lebih jauh, konsumsi terbesar untuk daging sapi di Pulau Jawa adalah untuk pembuatan baso, jika kita bisa membuat basonya di NTT maka biaya pengirimannya akan jauh lebih rendah lagi dibandingkan harga barang karena baso lebih punya nilai ekonomis lebih tinggi jika dibandingkan daging sapid an tidak perlu menggunakan daging mahal seperti tenderloin, sirloin, dsb.
Demikian juga dengan produk perikanan Jika kita melakukan pengiriman ikan ke Pulau Jawa, hal pertama yang harus digunakan adalah kapal khusus untuk pengiriman ikan. kemudian kendala yang dihadapi adalah resiko rusak dalam perjalanan jauh. Solusinya adalah kenapa kita tidak buat perusahaan pengalengan ikan di daerah Sulawesi atau Papua? jangan di Banyuwangi.
Finished produk dengan nilai ekonomis tinggi akan memiliki logistik cost yang lebih rendah dibandingkan dengan harga barang. Pembangunan pengolahan di dekat daerah sumber material juga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah itu demi terciptanya pemerataan pembangunan. Dengan demikian pengiriman akan lebih seimbang tidak terlalu timpang dan padat di jawa dan logistik akan jauh lebih murah.
Download Artikel ini:
Strategi Pengiriman Barang dengan Moda Transportasi yang Murah dan Efisien (441.7 KiB, 776 hits)