Oleh: Dhanang Widijawan (Doktor Hukum Bisnis, Dosen, Praktisi Logistik, dan Peneliti Supply Chain Indonesia (SCI)
Unifikasi regulasi logistik melalui pembentukan Undang-Undang (UU) Logistik merupakan amanat Peraturan Presiden No. 26/2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional. Inisiasi pembentukan UU Logistik oleh pemerintahan baru, Joko Widodo-Jusuf Kalla merupakan akselerator jaminan kepastian hukum terkait aktivitas bisnis logistik.
Jaminan efisiensi dan efektivitas dalam bisnis logistik melalui UU Logistik menjadi kunci terwujudnya konektivitas domestik, regional, dan global, yang menjadi fokus konsep tol laut, poros maritim dunia, ataupun yang serupa.
Logistik nasional akan menjadi lebih efisien apabila dibingkai oleh konsistensi regulasi dan kelembagaan yang terintegrasi.
KONEKTIVITAS REGULASI
Konektivitas transportasi (lokal, inter-lokal, dan domestik) merupakan subsistem konektivitas nasional dan regional sesuai koridor Master Plan on Asean Connectivity (MPAC). Sistem konektivitas nasional mencakup integrasi empat elemen, yaitu: Sislognas, Sistem transportasi Nasional (Sistranas), Pengembangan Wilayah (RJPMN/RTRWN), dan TIK (MP3EI 2011-2025, Perpres 32/2011 dan Perpres 48/2014).
Secara hirarkis, konsistensi regulasi yang responsif, efisien, dan modern merefleksikan derivasi substansi norma dari derajat tertinggi (UU/Perpu) hingga ke derajat terendah (SK). Jenjang derivasi ini sesuai universalitas asas hukum, yaitu lex superior derogat legi inferiori. Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh instansi lebih tinggi memiliki kedudukan yang lebih kuat.
KELEMBAGAAN LOGISTIK
Urgensi kebutuhan lingkungan menjadi kunci akselerasi Kelembagaan Sislognas, pembentukan UU Logistik akan memberikan kedudukan yang lebih kuat bagi keberadaan kelembagaan/institusi logistik nasional.
Sumber dan opini selengkapnya:
Bisnis Indonesia, edisi cetak 28 Oktober 2014