Oleh: Setijadi | Chairman at Supply Chain Indonesia
Pembatasan penjualan BBM bersubsidi telah dicabut. Sebelumnya, pembatasan tersebut berlaku berdasarkan Surat Edaran Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi No. 937/07/KaBPH/2014 pada 24 Juli 2014. Aturan tersebut memuat peniadaan solar subsidi di SPBU di Jakarta Pusat; pembatasan jam operasional penjualan BBM subsidi di seluruh SPBU di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Bali dari pukul 08:00-18:00 WIB, khusus untuk cluster tertentu yaitu kawasan industri, pertambangan, perkebunan, dan daerah di dekat pelabuhan yang rawan penyalahgunaan BBM; dan peniadaan penjualan premium di SPBU jalan tol.
Pembatasan penjualan BBM bersubsidi merupakan langkah pengendalian Pemerintah terhadap penggunaan BBM karena UU No. 12 Tahun 2014 tentang APBN-P 2014 mencantumkan pengurangan volume kuota BBM bersubsidi dari 48 juta kilo liter menjadi 46 juta kilo liter.
Jika pengendalian BBM tidak dilakukan, maka pasokan solar bersubsidi hanya akan cukup sampai 5 Desember 2014, sementara pasokan premium hanya akan cukup sampai 20 Desember 2014.
Pembatasan penjualan BBM bersubsidi tersebut memang selayaknya dicabut karena merupakan kebijakan yang sangat tidak tepat. Kebijakan tersebut tidak memberikan manfaat, baik untuk masyarakat, industri, pemerintah, maupun Pertamina.
Pemerintah sebaiknya tidak melakukan pembatasan penjualan BBM bersubsidi. Pemerintah bisa mempertimbangkan dua pilihan berikut ini. Pertama, penjualan tetap dilakukan seperti biasa hingga kuota BBM bersubsidi tersebut habis. Setelah kuota habis, mulai dilakukan penjualan hanya BBM non-subsidi.
Kedua, pengurangan subsidi BBM secara bertahap hingga akhir tahun 2014. Misalnya, pengurangan subsidi dilakukan dua kali, yaitu pada awal September dan awal November 2014.
Bagi sektor transportasi logistik, kedua pilihan tersebut akan menghindarkan kesulitan armada menyesuaikan waktu pengisian BBM maupun antrean di SPBU.Kedua hal ini menambah waktu dan biaya transportasi barang.
Kedua pilihan tersebut juga memudahkan perusahaan transportasi barang mengajukan penyesuaian biaya pengiriman barang yang tercantum dalam kontrak dengan penggunanya. Pada umumnya, kontrak mencantumkan klausul perubahan biaya dilakukan jika terjadi kenaikan harga BBM.
Untuk mengatasi masalah BBM bersubsidi dalam jangka panjang, Pemerintah perlu mempertimbangkan program terobosan berupa konversi BBM ke BBG. Dengan harga BBG yang jauh lebih murah, yaitu Rp 3.100 per liter setara premium, program konversi ini juga akan berdampak terhadap efisiensi biaya transportasi barang dan logistik nasional.
Untuk program tersebut, salah satu yang terpenting adalah penyediaan stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) dengan sebaran dan jumlah yang memadai. Selain itu, diperlukan insentif bagi perusahaan-perusahaan transportasi untuk pengadaan kendaraan berbahan bakar gas yang jauh lebih mahal daripada kendaraan dengan BBM. Sebagai perbandingan, untuk truk ber-BBM sekitar Rp 800 juta, harga truk sejenis ber-BBG bisa mencapai Rp 1,5 miliar.
Selain untuk pengembangan infrastruktur untuk mengefisienkan transportasi dan logistik, Pemerintah bisa mengalihkan subsidi BBM untuk kedua hal tersebut.
Keberhasilan Jusuf Kalla selaku Wakil Presiden pada pemerintahan terdahulu dalam program konversi minyak tanah ke gas menjadi modal penting bagi Pemerintahan Jokowi-JK melakukan program terobosan tersebut.