Oleh: Setijadi | Chairman Supply Chain Indonesia
Supply Chain Indonesia (SCI) mendukung Pemerintah dalam Program Tol Laut yang dilatarbelakangi disparitas harga yang cukup tinggi antara wilayah barat dan timur Indonesia.
Pada tahun 2016, Pemerintah telah menetapkan enam trayek tol laut tahap pertama, yaitu: T1: Tanjung Perak – Wanci – Namlea – Wanci – Tanjung Perak, T2: Tanjung Perak – Kalabahi – Moa – Saumlaki – Moa – Kalabahi – Tanjung Perak, T3: Tanjung. Perak – Calabai (Dompu) – Maumere – Larantuka – Leweoleba – Rote – Sabu – Waingapu – Sabu – Rote – Lewoleba – Larantuka – Maumere – Calabai (Dompu) – Tanjung Perak, T4: Tanjung Perak – Bau Bau – Manokwari – Bau Bau – Tanjung Perak, T5: Makassar – Tahuna – Lirung – Tahuna – Makassar, dan T6: Tanjung Priok – Natuna – Tanjung Priok.
Selanjutnya, pada tahun 2017 ditetapkan tujuh trayek berikutnya, yaitu: T7: Tanjung Priok – Enggano – Mentawai – Enggano – Tanjung Priok, T8: Tanjung Perak – Belang Belang – Sangatta – P. Sebatik – Tanjung Perak, T9: Tanjung Perak – Kisar (Wonrelli) – Namrole – Kisar (Wonrelli) – Tanjung Perak, T10: Makassar – Tidore – Tobelo – Morotai – P. Gebe – Maba – P. Gebe – Morotai – Tobelo – Tidore – Makassar, T11: Tanjung Perak – Dobo – Merauke – Dobo – Tanjung Perak, T12: Makassar – Wasior – Nabire – Serui – Biak – Serui – Nabire – Wasior – Makassar, dan T13: Tanjung Perak – Fakfak – Kaimana – Timika – Fakfak – Tanjung Perak.
Pemerintah memberikan penugasan kepada perusahaan BUMN dalam pengoperasian enam trayek tol laut tahun 2016. Untuk tahun 2017, Pemerintah membuka keterlibatan perusahaan-perusahaan swasta dalam pengoperasian tujuh trayek tersebut. SCI mengapresiasi langkah Pemerintah yang melibatkan pihak swasta ini.
Berdasarkan analisis SCI, terdapat sejumlah kendala implementasi Program Tol Laut, antara lain: infrastruktur pelabuhan yang masih kurang, jumlah dan kondisi kapal kurang memadai, dan ketidakseimbangan muatan antara wilayah barat dan timur Indonesia.
Ketidakseimbangan muatan menjadi faktor utama penyebab inefisiensi dan biaya tinggi dalam pelayaran Tol Laut. Langkah Pemerintah cukup tepat dengan memberikan subsidi dalam tahap awal implementasi Tol Laut.
Kapasitas kosong dalam pelayaran balik dari kawasan timur seharusnya dapat dimanfaatkan untuk mendorong pengiriman berbagai komoditas dari wilayah tersebut. Misalnya komoditas perikanan di empat Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI), yaitu WPPNRI 714 yang mempunyai potensi sebesar 431.069 ton, WPPNRI 715 sebesar 631.703 ton, WPPNRI sebesar 478.765 ton, WPPNRI 717 sebesar 603.688 ton, dan WPPNRI 718 sebesar 1.992.73 ton. Di lain sisi, sebagian besar lokasi industri perikanan (sekitar 43%) justru berada di Pulau Jawa.
Hingga saat ini pemanfaatan kapasitas kosong tol laut dari kawasan timur Indonesia untuk komoditas perikanan hanya baru tiga trayek, yaitu: T2, T8, dan T13.
Selain dampak berupa penurunan biaya distribusi barang di kawasan timur Indonesia, efisiensi logistik dalam Program Tol Laut diharapkan akan mendorong pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan industri di wilayah tersebut. Dalam jangka menengah dan panjang, hal ini akan mendorong peningkatan volume barang dari kawasan timur Indonesia. Jika hal ini tercapai, maka operasional Tol Laut akan efisien, sehingga subsidi akan dapat dicabut secara bertahap.
Bandung, 23 Agustus 2017
Setijadi
Chairman
Supply Chain Indonesia
www.SupplyChainIndonesia.com
Download Catatan ini: Catatan SCI - Analisis dan Rekomendasi SCI atas Program Tol Laut (474.3 KiB, 278 hits)