Oleh: Muhammad Ulil Albab
Mahasiswa | Pascasarjana Politeknik Lodz, Polandia
Pertumbuhan e-commerce Indonesia mencapai 78% per tahun dengan nilai transaksi pada 2018 mencapai Rp 144,1 triliun. Angka ini meningkat hingga lima kali lipat jika dibandingkan dengan kondisi lima tahun lalu [1]. Sejumlah perusahaan rintisan dengan label unicorn antara lain Bukalapak dan Tokopedia menikmati keuntungan pada bisnis digital ini. Serta puluhan e-commerce lainnya yang masih berjibaku untuk merebut sisa pangsa pasar yang ada telebih penetrasi internet yang sudah menyentuh angka 54,68% dari total jumlah penduduk.
Salah satu aspek yang memiliki peranan penting untuk terus mendorong pertumbuhan ekonomi digital adalah adanya perusahaan penyedia jasa logistik. Perusahaan ini menjadi kunci sebagai pihak yang mendistribusikan barang sampai ke tangan konsumen. Berdasarkan data dari World Bank, Indeks Kinerja Logistik Indonesia (Logistics Performance Index) mengalami kenaikan dari peringkat 63 pada tahun 2016 menjadi 46 pada tahun 2018 [2]. Kompetisi antar penyedia jasa logistik akan semakin kompetitif sehingga strategi atau terobosan baru diperlukan untuk memastikan bisnis dapat berjalan dengan lancar.
Big Data Analytics
Efek dari besarnya transaksi digital di masyarakat berdampak pada jumlah arus data yang beredar. Perusahaan e-commerce dituntut mampu menganalisis data yang telah tercatat untuk digunakan sebagai acuan dalam mengambil keputusan strategis. Sistem distribusi dan kemampuan untuk mengelola logistik memiliki hubungan yang sangat kuat pada suksesnya perusahaan e-commerce [3], [4]. Selain itu manajemen e-commerce juga membutuhkan layanan pengiriman yang memuaskan, sistem informasi logistik yang baik, keamanan dalam pengadaan, kolaborasi dalam internal organisasi, serta kemudahan pembayaran melalui mobile banking dan mobile channel yang efisien [5].
Adapun dari sisi prediksi permintaan, pada pendekatan secara tradisional di mana permintaan dipandang sebagai dasar dalam melakukan perencanaan dan mengeksekusi aktivitas supply chain mulai dari pengadaan hingga distribusi. Perkembangan Point-of-Sale (POS), Internet of Things (IoT), konten dari sosial media menjadi beberapa hal yang dipertimbangkan dalam memprediksi kebutuhan konsumen. Jumlah data yang besar dan cenderung tidak terstruktur memerlukan kemampuan untuk memahami perilaku konsumen, perbaikan prediksi permintaan, dan eksekusi supply chain management yang lebih baik [6]. Semakin awal perusahaan mampu mengolah data yang dihasilkan khususnya pada tahap user-generated content (UGC) seperti pencarian pada Google, postingan pada sosial media akan semakin baik. Mengingat UGC menjadi faktor penting dalam tahap di mana konsumen mengidentifikasi produk apa yang dicari, membandingkan dengan produk lain hingga menentukan/memutuskan untuk membeli suatu produk.
Peran lain dari big data adalah memberikan pengalaman pengguna (user experience) sesuai dengan perilaku pengunjung website e-commerce. Big data analytics dalam salah satu implementasinya adalah memberikan rekomendasi produk yang sesuai dengan apa yang sedang dicari. Kegiatan promosi juga dapat lebih mengenai sasaran sesuai dengan minat dari pengguna. Dari sisi strategi harga di mana akan lebih mudah untuk memberikan penawaran harga yang menarik dengan mendapatkan perbandingan dari kompetitor. Angka konversi dari pengunjung website menjadi pembeli dapat dipantau secara langsung sehingga manajer perusahaan dapat mengambil keputusan lebih cepat jika ditemukan conversion rate menurun.
Memahami Perilaku Konsumen
Tujuan akhir dari perusahaan adalah meningkatkan nilai perusahaan tersebut dengan meningkatkan keunggulan kompetitif dibandingkan dengan kompetitor lainnya. Hal yang sama juga dengan perusahaan e-commerce yang saling berlomba untuk mencari investor baru guna memperluas pangsa pasar dan memperoleh keuntungan yang lebih besar. Perilaku pengguna internet yang bisa dipahami memberi gambaran awal pada produk atau layanan mana mereka tertarik. Konsep yang menarik dalam memahami ini adalah konsep customer centricity.
Customer centricity merupakan strategi yang secara fundamental menyesuaikan produk dan jasa pada konsumen yang paling penting berdasar kebutuhan dan keinginan mereka [7]. Beberapa contoh perusahaan yang sukses menerapkan pendekatan ini antara lain Amazon, Tesco, dan Netflix. Konsumen menjadi pusat dari segala aktivitas yang dilakukan. Beberapa cara yang dilakukan antara lain: Proses pemesanan dan pengiriman dilakukan dengan cepat tanpa hambatan, menawarkan produk sesuai dengan minat konsumen, dan membantu konsumen memilih barang yang sesuai baik secara kualitas maupun harga.
Pendekatan konvensional umumnya memberikan arahan jika organisasi harus menjaga hubungan dan memperlakukan semua konsumen dengan sama dan semuanya penting bagi organisasi. Dampaknya bisa jadi perusahaan memberikan layanan yang berlebihan pada unprofitable customers dan mengesampingkan konsumen yang lebih menjanjikan. Konsumen harus diberikan nilai sesuai dengan perilaku dan prospek di masa yang akan datang. Customer centricity memberi keuntungan pada perusahaan dalam jangka panjang.
Perusahaan e-commerce harus mampu menjadikan konsumen sebagai subjek dengan memberdayakannya seperti memberi kesempatan untuk memberi review dan feedback pada produk yang telah disukai. Ketersediaan informasi dari satu konsumen akan memberi dampak pada konsumen lain untuk memutuskan membeli suatu produk. Kebebasan untuk memberikan ulasan atau memberi informasi pada konsumen lainnya akan berdampak pada perasaan konsumen bahwa keputusan yang dibuat adalah keputusan mereka sendiri.
Komunikasi secara aktif antara perusahaan e-commerce dengan perusahaan ekspedisi harus terus dijalin. Harapan konsumen yang semakin hari semakin tinggi menjadikan ketepatan waktu mendapatkan barang sebagai hal yang mendorong puas tidaknya konsumen. Tantangan agar pihak perusahaan e-commerce dan perusahaan ekspedisi saling bertukar data dalam satu platform yang sama menjadi kunci untuk meningkatkan keunggulan kompetitif dan memenangkan persaingan.
Referensi:
[1] A. A. Laras, “Tiga Celah Pengembangan E-Commerce di Indonesia,” Katadata, 2018. [Online]. Available: https://katadata.co.id/analisisdata/2018/10/23/tiga-celah-pengembangan-e-commerce-di-indonesia. [Accessed: 06-Jan-2019]. [2] B. Raharjo, “E-Commerce dan Infrastruktur Topang Laju Industri Logistik,” Republika, 2018. [Online]. Available: https://republika.co.id/berita/ekonomi/korporasi/18/07/29/pcmmmk415-ecommerce-dan-infrastruktur-topang-laju-industri-logistik. [Accessed: 06-Jan-2019]. [3] A. J. Cullen and M. Taylor, “Critical success factors for B2B e-commerce use within the UK NHS pharmaceutical supply chain,” Int. J. Oper. Prod. Manag., vol. 29, no. 11, pp. 1156–1185, 2009. [4] Y.-H. Hsiao, M.-C. Chen, and W.-C. Liao, “Logistics service design for cross-border E-commerce using Kansei engineering with text-mining-based online content analysis,” Telemat. Informatics, vol. 34, no. 4, pp. 284–302, Jul. 2017. [5] P.-J. Wu and K.-C. Lin, “Unstructured big data analytics for retrieving e-commerce logistics knowledge,” Telemat. Informatics, vol. 35, no. 1, pp. 237–244, Apr. 2018. [6] A. Jain and N. R. Sanders, “Forecasting sales in the supply chain: Consumer analytics in the big data era,” Int. J. Forecast., vol. 35, no. 1, pp. 170–180, Jan. 2019. [7] Peter Fader, “Customer Centricity: Focus on the Right Customers for Strategic Advantage, Second Edition,” May 15, 2012. Wharton Digital Press, Philadelphia, 2012.
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.
Download artikel ini:
SCI - Artikel Big Data dan Customer Centricity pada E-Commerce Logistics - (773.1 KiB, 866 hits)
#logistik #logistikindonesia #supplychainindonesia #untuklogistikindonesialebihbaik