KUPANG, KOMPAS – Kalangan pengusaha di Nusa Tenggara Timur berharap regulasi yang menempatkan PT Pelabuhan Indonesia sebagai operator tunggal kegiatan bongkar-muat peti kemas di pelabuhan ditinjau kembali. Ini terutama untuk pelabuhan yang belum didukung alat derek peti kemas laut (container gantry crane/CC).
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang dijabarkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan menempatkan Pelindo sebagai operator tunggal kegiatan bongkar-muat peti kemas di pelabuhan.
Ketua Dewan Pengurus Daerah Asosiasi Pengusaha Indonesia Nusa Tenggara Timur (NTT) Freddy Ongko Saputra di Kupang, Rabu (30/9), mengatakan, dominasi Pelindo tersebut merugikan NTT. Alasannya, dari lima pelabuhan dalam koordinasi Pelindo di NTT, baru Pelabuhan Tenau Kupang yang sudah dilengkapi alat Derek peti kemas laut.
Swasta yang mengoperasikan alat Derek darat di empat pelabuhan lainnya, yakni Maumere, Ende, Waingapu, dan Kalabahi, harus menyetor 30 persen ongkos bongkar-muat kepada Pelindo. Pengoperasian alat Derek darat juga hanya berdasarkan pada perjanjian kerja sama operasional (KSO) dengan Pelindo.
Konsekuensinya, ketika pelabuhan itu membaik perkembangannya, dimungkinkan bagi Pelindo menghadirkan CC dan saat itu pula alat Derek darat milik swasta harus disingkirkan. Padahal, investasinya sekitar Rp20 miliar. Dia mencontohkan kasus berhentinya pengoperasian alat Derek darat milik swasta dari Pelabuhan Ende belum lama ini.
Sumber dan berita selengkapnya:
Kompas, edisi cetak 1 Oktober 2015