Oleh: Dr. Zaroni, CISCP., CFMP.
Head of Consulting Division | Supply Chain Indonesia
Esensi layanan logistik adalah solusi pelanggan, baik berupa solusi pengelolaan logistik maupun solusi efisiensi biaya logistik. Solusi pengelolaan logistik akan memberikan efektivitas logistik yang dapat menjamin tujuh ketepatan: barang, kuantitas, kualitas, harga, biaya, waktu, dan penerima.
Sementara solusi efisiensi biaya akan memberikan manfaat bagi pelanggan berupa cost reduction pengelolaan logistik, antara keputusan pengelolaan logistik dikelola sendiri (in-house logistics) dengan dikelola oleh 3PL (third-party logistics).
Perusahaan 3PL umumnya membedakan fungsi sales, implementation, dan operations. Fungsi sales melakukan kegiatan penjualan yang mencakup akuisisi pelanggan dan pengelolaan pelanggan (key account management). Implementation menjalankan fungsi implementasi atas layanan logistik untuk periode awal implementasi, umumnya 3 sampai dengan 6 bulan pertama. Sementara operations menjalankan operasional setelah masa implementasi.
Sasaran fungsi sales adalah penambahan revenue perusahaan dari peningkatan sales pelanggan existing – baik up-selling maupun cross-selling – dan peningkatan sales dari akusisi pelanggan baru.
Sementara sasaran implementation adalah memastikan layanan logistik dapat dijalankan dengan menyiapkan perhitungan costing model secara detil atas proyeksi revenue per revenue streams, cost structure, sehingga diperoleh bottom-line berupa earnings before tax (EBT), earnings after tax (EAT), earnings before interest, tax, depreciation, and amortization (EBITDA), net present value (NPV), internal rate of return (IRR), dan payback period.
Selanjutnya, dari costing model tersebut dilakukan pemenuhan sumber daya, baik berupa sumber daya tenaga kerja, pemilihan vendor, transportasi, pergudangan, peralatan, baik capital expenditure maupun operational expenditure, dan mengawal implementasi operasional layanan selama periode awal.
Tim implementasi umumnya baru mulai bekerja ketika perusahaan 3PL sudah benar-benar memeroleh awarded dari pelanggan yang telah menetapkan perusahaan 3PL tersebut sebagai pemenang. Awarded ini dituangkan dalam bentuk letter of intent (LoI), yang berisi lingkup layanan, estimasi volume, tarif, service level agreement, dan kapan go live-nya.
LoI ini ditandatangani bersama antara perusahaan 3PL dengan pelanggan sebagai dasar untuk menjalankan pekerjaan. Dari LoI ini dilanjutkan dengan implementasi layanan logistik.
Menyusun Costing Model
Penyusunan costing model memegang peran penting sebagai dasar untuk implementasi proyek logistik. Format costing model antar perusahaan 3PL mungkin berbeda. Tidak ada format yang baku dalam penyusunan costing model, namun, secara garis besar isi costing model mencakup proyeksi revenue, operating expenses, capital expenditure, dan bottom-line performance.
Proyeksi revenue didasarkan pada revenue streams dari setiap layanan logistik yang diberikan. Revenue dihitung dari estimasi volume dan rata-rata tarif untuk setiap layanan logistik. Estimasi volume ini penting, tidak hanya untuk proyeksi revenue melainkan juga untuk dasar penghitungan biaya dan kebutuhan sumber daya. Volume diukur dalam berbagai satuan, yang dikenal dengan unit of measurement.
Dalam layanan contract logistics misalnya, unit of measurement untuk volume revenue bisa berupa kilogram, liter, cartoon, drum, pallet, volume metric, luas gudang, dan lain-lain.
Dalam penghitungan biaya, penting untuk dipahami klasifikasi biaya. Pada umumnya, biaya diklasifikasikan berdasarkan dua klasfikasi pengelompokkan biaya, yaitu klasifikasi biaya berdasarkan obyek biaya dan klasfikasi biaya berdasarkan perilaku biaya.
Obyek biaya merupakan pembebanan biaya ke obyek. Obyek biaya bisa berupa product cost, department cost, fleet cost, warehouse cost, customer cost, dan lain-lain. Pengklasifikasian biaya berdasarkan obyek biaya dibedakan menjadi biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost).
Biaya langsung merupakan biaya yang dapat ditelusuri secara langsung atas pemakaian setiap sumber daya untuk setiap layanan logistik. Dalam jasa transportasi, biaya langsung berupa biaya pemakaian fuel, biaya tenaga kerja driver, biaya depresiasi kendaraan, dan biaya pemeliharaan kendaraan. Biaya-biaya tersebut secara langsung dapat ditelurusi dan dibebankan ke setiap produk.
Biaya langsung untuk jasa pergudangan, contohnya biaya sewa gudang atau biaya depresiasi gudang, biaya listrik, biaya tenaga kerja, biaya asuransi gudang, biaya material handling equipment, dan lain-lain.
Sementara, biaya tidak langsung merupakan biaya yang tidak dapat ditelusuri secara langsung atas pemakaian sumber daya dari layanan logistik. Contoh biaya tidak langsung untuk jasa transportasi: biaya gaji supervisor, biaya depresiasi atau sewa gedung pool kendaraan.
Pembebanan biaya langsung ke obyek biaya dilakukan dengan cost tracing. Sementara pembebaanan biaya tidak langsung ke obyek biaya dilakukan cost allocating. Cost tracing didasarkan pada permintaan pemakaian sumber daya tertentu yang dibebankan secara langsung ke obyek biaya. Sementara cost allocating, pembebanan biaya dilakukan dengan menggunakan dasar pembebanan tertentu yang rasional.
Pengelompokkan biaya berdasarkan perilaku biaya dibedakan menjadi biaya tetap dan biaya variabel. Perilaku biaya berhubungan dengan perubahan biaya terhadap volume revenue atau aktivitas.
Biaya tetap merupakan biaya yang tidak berubah atas perubahan volume revenue dalam jangka waktu atau range tertentu. Contoh biaya tetap untuk jasa transportasi adalah biaya depresiasi kendaraan, biaya gaji dasar driver, dan biaya gaji supervisor. Biaya tetap secara total tetap, namun secara unit cost berubah tergantung volume revenue. Semakin tinggi volume revenue, maka biaya tetap per unit akan menurun.
Sementara biaya variabel, merupakan biaya yang secara total berubah sesuai dengan perubahan volume revenue. Contoh biaya variabel untuk jasa transportasi adalah biaya pemakaian fuel yang berubah sesuai dengan jarak tempuh kendaraan. Biaya variabel secara total berubah, namun secara unit cost tetap. Berapa pun volume revenue, variable cost per unit akan tetap.
Pemahaman perilaku biaya penting dalam penghitungan break-even analysis, yang menentukan berapa volume atau sales minimal yang harus dicapai pada kondisi perusahaan 3PL laba nol.
Format Costing Model umumnya disusun berdasarkan struktur pengelompokkan biaya dan profit sebagai berikut:
- Revenue
- Cost of revenue
- Gross profit
- Operating expenses, terdiri dari: marketing expenses, general and administrative expenses.
- Operating income
- Financial expenses
- Income before taxes
- Income taxes
- Income after taxes
Kelayakan bisnis
Keputusan apakah suatu proyek logistik dapat dijalankan atau tidak tergantung pada hasil analisis kelayakan bisnis dari Costing Model yang telah disusun. Analisis kelayakan bisnis menggunakan pendekatan financial analysis, umumnya didasarkan pada present value atas proyeksi penerimaan kas bersih selama umur proyek logistik.
Berdasarkan Costing Model tersebut disusun proyeksi cash flow berupa cash outflow dan cash inflow selama periode kontrak layanan logistik. Cash outflow berisi proyeksi pengeluaran kas untuk capital expenditure dan operating expenditure.
Capital expenditure umumnya terjadi pada saat awal implementasi proyek logistik, sering disebut sebagai periode ke-nol (t0). Dalam menghitung capital expenditure, dirinci jenis investasi, volume, cost per unit, dan total cost atas investasi. Penting untuk diperhatikan bahwa depresiasi tidak dimasukkan dalam proyeksi cash flow, karena depresiasi bukanlah biaya yang memerlukan pengeluaran kas (no cash out).
Operating expenditure merupakan pengeluaran kas untuk membiayai kegiatan operasional untuk mendapatkan revenue, seperti pengeluaran kas untuk pembayaran penggunaan jasa transportasi ke vendor, pembayaran biaya pemakaian fuel, pembayaran sewa gudang, pembayaran gaji karyawan, pembayaran biaya listrik, pembayaran pajak, dan lain-lain.
Cash inflow berasal dari penerimaan kas yang diperoleh dari tagihan pelanggan untuk setiap revenue stream layanan logistik. Proyeksi penerimaan kas ini didasarkan pada term of payment, sejak invoice diterbitkan.
Berdasarkan proyeksi cash inflow dan cash outflow ini dapat dihitung proyeksi net cash flow. Selanjutnya, dilakukan analisis kelayakan bisnis dengan menggunakan analisis keuangan seperti net present value (NPV), internal rate of return (IRR), dan payback period.
Pendekatan NPV menyatakan bahwa proyek bisnis layak dijalankan bila NPV positif, yaitu minimal sama dengan nol. IRR akan menghasilkan tingkat return dari proyek bisnis yang selanjutnya dibandingkan dengan tingkat return yang diharapkan (required rate of return). Sementara payback period memberikan informasi berapa lama proyek bisnis tersebut akan break-even.
Baik NPV maupun IRR, keduanya menggunakan konsep discounted cash flow, yang didasarkan pada pengenaan cost of capital atas serangkaian penerimaan kas bersih selama umur proyek bisnis. Cost of capital, umumnya dihitung dengan menggunakan weighted average cost of capital (WACC), yang merupakan rata-rata tertimbang atas biaya modal baik dari ekuitas maupun pinjaman.
Penghitungan costing model akan menginformasikan proyeksi bottom-line atas layanan logistik yang akan dijalankan berdasarkan kontrak bisnis antara pelanggan dengan perusahaan 3PL. costing model yang akurat akan membantu manajemen dalam pengambilan keputusan implementasi layanan logistik, yang akan memberikan value bagi kedua pihak, baik pelanggan maupun perusahaan 3PL sebagai penyedia jasa logistik.
Bagi pelanggan, value ini berupa efektivitas dan efisiensi pengeloaan logistik. Sementara bagi perusahaan 3PL, value ini berupa peningkatan sales, profit, dan cash inflow, yang ujungnya akan meningkatkan value of company.
16 Maret 2017
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.
Download artikel ini:
SCI - Artikel Costing Model Layanan Logistik (773.9 KiB, 545 hits)