JAKARTA, KOMPAS – Rasio biaya logistik Indonesia terhadap produk domestik bruto kembali melambung pada 2012 dan 2013. Hal ini menjadi catatan negatif setelah tren penurunan yang terjadi sejak 2006. Kondisi itu mengurangi daya saing Indonesia.
“Banyak hal yang memang harus diselesaikan, terutama infrastruktur. Masalah lahan termasuk didalamnya. Infrastruktur itu kunci. Kalau itu sudah ditangani, akan banyak menolong di samping sistem sudah mulai efektif,” kata Deputi Bidang Ekonomi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Prasetijono Widjojo, di Jakarta, Selasa (1/7).
Menurut Prasetijono, rasio biaya logistik Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2006 mencapai 27,7 persen. Pada tahun-tahun berikutnya, rasio terus menurun sampai pada 2011 sebesar 23,4 persen.
Namun, pada 2012 dan 2013 menurut Prasetijono, trennya justru kembali meningkat. Tahun 2012 rasionya 24,4 persen, sementara pada 2013 rasionya 25,2 persen.
Akibatnya, daya saing Indonesia di antara negara-negara ASEAN saja terus jalan di tempat. Indonesia masih berada di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
Dalam naskah teknokratik Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2015 yang disusun Bappenas, rasio biaya logistik ditargetkan turun menjadi 23,6 persen pada 2015. Waktu tunggu barang di pelabuhan pada 2015 ditargetkan menjadi 6 hari.
Beberapa langkah perbaikan menurut Prasetijono, telah dilakukan, di antaranya pembenahan proses lolos kepabeanan seperti dengan menerapkan pelayanan satu atap di 6 pelabuhan dan 3 bandara utama yang meliputi Pelabuhan Tanjung Priok, Pelabuhan Tanjung Mas, Pelabuhan Tanjung Perak, Pelabuhan Belawan, Pelabuhan Merak, Bandara Soekarno-Hatta, Bandara Halim Perdanakusuma, Bandara Juanda, dan Dryport Cikarang.
Sumber dan berita selengkapnya:
Kompas, edisi cetak 2 Juli 2014