Oleh: Putu Franciska Fajarini, S.Log., M.S.M.
Junior Consultant
Supply Chain Indonesia
Koordinasi dalam Rantai Pasokan Bantuan Kemanusiaan
Koordinasi dalan rantai pasokan bantuan kemanusiaan didefinisikan sebagai hubungan dan interaksi di antara para pelaku rantai pasokan kemanusiaan. Koordinasi ini digolongkan menjadi dua tipe berdasarkan struktur dan alur komunikasinya yaitu koordinasi vertical dan koordinasi horizontal.
Koordinasi vertikal adalah bentuk koordinasi dimana pihak yang terlibat dalam koordinasi berada pada tingkat yang berbeda. Contoh umum dari koordinasi vertikal adalah koordinasi internal dalam badan hukum pemerintahan. Koordinasi horizontal merupakan struktur koordinasi dimana pihak yang terlibat dalam koordinasi memiliki tingkatan/jenjang yang sama. Biasanya, koordinasi horizontal terjadi antar dua organisasi atau satuan yang berbeda (Altay, 2018).
Koordinasi dapat membantu suatu organisasi untuk mengelola hubungan yang kompleks antar pihak dalam rangka merespon bencana secara efektif dan efisien. Kabra dan Ramesh (2015) menekankan bahwa koordinasi yang buruk di antara para pelaku rantai pasokan, seringkali memberikan dampak yang tidak baik terhadap kinerja rantai pasokan. Dalam rangka menghindari dampak tidak baik yang mungkin ditimbukan akibat koordinasi yang buruk, Gilman (2009) beranggapan bahwa rantai pasokan harus menghindari duplikasi sumber daya dan layanan, baik dengan mengisi kesenjangan ataupun menghindari tumpang tindih antar sumber daya dan layanan. Gilman (2009) juga menekankan bahwa berbagai organisasi yang terlibat dalam rantai pasokan juga harus diselaraskan untuk bekerja sama guna mencapai tujuan bersama, sehingga memungkinkan respons yang koheren, efektif dan efisien.
Menurut Akhtar dkk. (2012) sumber daya dalam rantai pasokan bantuan kemanusiaan dikategorisasikan menjadi dua sumber daya yaitu sumber daya berwujud dan tidak berwujud. Sumber daya berwujud didefinisikan sebagai sumber daya yang secara fisik dapat diamati seperti keuangan, teknologi, dan orang. Sumber daya tidak berwujud adalah sumber daya yang bernilai dengan tidak adanya bentuk fisik. Contohnya seperti kepemimpinan, upaya, pengalaman dan pendidikan yang relevan, keterampilan manajemen hubungan, kemampuan penelitian, dan keterampilan pengukuran kinerja. Akhtar dkk. (2012) juga mengemukakan bahwa kedua sumber daya ini, baik berwujud maupun tidak berwujud, sangat penting untuk memastikan terjalinnya koordinasi yang baik antar para pelaku rantai pasokan kemanusiaan.
Elemen Penting dalam Koordinasi Rantai Pasokan Bantuan Kemanusiaan
Pada studinya, Altay (2018) menjabarkan sebelas elemen penting dalam koordinasi rantai pasokan kemanusiaan yang terdiri dari Swift- Trust, Information Sharing, Visibility, Commitment, Cultural Cohesion, Regular Meeting, Use of ICT, Training, Performances Management System (PMS), Mutual Learning, dan Contingency Leadership. Elemen-elemen ini diperoleh melalui kajian literatur dari beberapa penelitian ilmiah.
- Swift- Trust
Kepercayaan merupakan elemen essensial dalam koordinasi rantai pasokan. Rantai pasok bantuan kemanusiaan memiliki karakter yang unik jika dibandingkan dengan rantai pasok komersial dimana proses membangun kepercayaan dalam rantai pasok bantuan kemanusiaan harus dapat dilakukan secara cepat oleh pelaku rantai pasokan. Hal tersebut dilakukan demi proses pemberian bantuan kemanusiaan yang cepat dan tepat. - Information Sharing
Informasi yang dibagikan di antara para pelaku rantai pasok bantuan kemanusiaan harus memiliki kualitas, akurasi, aksesibilitas, dan relevansi (Cao dan Zhang 2011). Kabra dan Ramesh (2015) menyatakan bahwa tidak hanya kualitas informasi yang dibagikan, tetapi juga kualitas berbagi informasi sangat penting untuk koordinasi antar para pelaku rantai pasokan. - Visibility
Visibilitas terkait dengan aliran informasi (Brandon-Jones et al. 2014) yang memungkinkan mitra rantai pasokan untuk berkoordinasi, melalui transparansi tingkat inventaris dan stock replenishment antar pelaku. Transparansi dalam arus informasi ini dapat meningkatkan kepercayaan dan mengurangi intervensi, yang pada akhirnya meningkatkan pengambilan keputusan (Christopher dan Lee 2004). - Commitment
Morgan dan Hunt (1994) berpendapat bahwa komitmen merupakan salah satu anteseden dalam membangun hubungan. Selain itu, Min et al. (2005) berpendapat bahwa komitmen menyiratkan para pihak saling toleran terhadap kekurangan masing-masing, akan bekerja sama dan tidak bertindak oportunistik. Ini penting karena sebagian besar mitra kolaboratif tidak setara dalam hal pengaruh atau daya tawar. - Cultural Cohesion
Koordinasi membuat beberapa organisasi dengan sumber daya dan struktur tata kelola yang berbeda bekerja sama untuk menyelesaikan tugas bersama. Balcik dkk. (2010) berpendapat bahwa pelaku rantai pasok bantuan kemanusiaan bekerja di lingkungan yang tidak mendorong koordinasi, terutama karena situasi yang penuh tekanan. Namun Altay (2018) berpendapat bahwa meskipun berasal dari berbagai budaya nasional, pekerja kemanusiaan masih berbagi norma dan nilai tertentu yang dapat membantu meningkatkan stabilitas dan memungkinkan mereka bekerja lebih baik. - Regular Meeting
Pertemuan rutin (regular meeting) memfasilitasi pertukaran informasi di antara para pelaku rantai pasok kemanusiaan yang beroperasi di lapangan dan mengurangi asimetri informasi, yang menjadi salah satu hambatan dalam proses pembangunan kepercayaan (Tatham dan Kovács 2010). Oleh karena itu, mengadakan pertemuan rutin akan membantu mengurangi ketidakpastian dan memulihkan kepercayaan di antara para pelaku yang mengarah pada membangun kepercayaan. - Use of ICT
Teknologi informasi dan komunikasi adalah elemen kunci dari respons global terhadap skenario bencana dan konflik bersenjata (Wentz 2006). Asplund et al. (2008) berpendapat bahwa infrastruktur informasi dan komunikasi memainkan peranan penting dalam meningkatkan kerjasama antar aktor pada rantai pasokan bantuan kemanusiaan. - Training
Kovács dan Spens (2007) berpendapat bahwa pelatihan mengurangi dampak bencana. Pelatihan dapat dilihat sebagai cara untuk membangun kapasitas. Di sisi lain, pelatihan dapat mengurangi stres para pekerja rantai pasok bantuan kemanusiaan. Paton (1996) menekankan bahwa stres di kalangan pekerja bantuan dapat berdampak negatif terhadap efektivitas operasi bantuan bencana. - Performances Management System (PMS)
PMS mengacu pada proses pengumpulan, analisis, dan penyajian data mengenai kinerja setiap aktor yang terlibat dalam operasi penanggulangan bencana (Beamon dan Balcik 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Poister (2003) menunjukkan bahwa PMS sangat penting untuk sektor nirlaba dan dapat membantu organisasi membuat keputusan yang lebih baik, mengalokasikan sumber daya secara lebih efektif, mengevaluasi efektivitas solusi alternatif, dan meningkatkan kinerja. - Mutual Learning
Apabila suatu organisasi kemanusiaan dapat membangun budaya belajar dari pengalaman sebelumnya dan mengadopsi praktik terbaik, yang telah dilakukan sebagian besar organisasi bantuan kemanusiaan, serta membawa budaya ini keluar dari organisasi mereka dengan berbagi pengetahuan pada orang lain, hal itu dapat meningkatkan koordinasi dalam operasional bantuan kemanusiaan di masa mendatang (Kabra dan Ramesh 2015). - Contingency Leadership
Teori kontingensi menyatakan bahwa kepemimpinan yang efektif bergantung pada faktor independen dari seorang pemimpin. Dengan demikian, teori ini memprediksi bahwa pemimpin yang efektif adalah mereka yang ciri-ciri pribadinya sesuai dengan kebutuhan situasi di mana mereka berada.
Pertama seorang pemimpin harus dapat melibatkan semua aktor dalam bencana rantai bantuan. Kedua, pemimpin harus mampu menggunakan kekuasaan (kekuasaan imbalan, kekuasaan koersif, kekuasaan legitimasi, kekuasaan rujukan, atau kekuasaan ahli) untuk meningkatkan koordinasi antar pelaku rantai pasokan kemanusiaan. Ketiga, pemimpin harus memiliki kemampuan untuk mempengaruhi para pelaku rantai pasokan untuk melakukan kolaborasi demi tercapainya tujuan bersama. Dan terakhir, pemimpin harus menekankan nilai-nilai bersama (Altay, 2018).
Altay (2018) juga mengklasifikasikan sebelas elemen koordinasi tersebut ke dalam empat kelompok berdasarkan tingkat ketergantungan elemen terhadap elemen lainnya (dependence power) dan tingkat pengaruh elemen terhadap elemen lainnya (driving power). Klasifikasi ini dilakukan dengan menggunakan metode analisis MICMAC (Cross Impact Multiplication Matrix). Gambar di bawah ini menunjukkan hasil dari pemetaan elemen ke dalam MIMAC.
Gambar Driving dan Dependence Power
Elemen Koordinasi Rantai Pasokan Bantuan Kemanusiaan (Altay, 2018)
Kuadran pertama menunjukkan elemen yang tidak memiliki ketergantungan terhadap elemen lainnya dan memiliki tingkat pengaruh yang lemah terhadap elemen lainnya. Tidak adanya elemen dalam kuadran pertama ini menunjukkan bahwa kesebelas elemen yang disebutkan sebelumnya memiliki peranan penting dalam koordinasi rantai pasokan bantuan kemanusiaan.
Kuadran kedua menunjukkan elemen yang memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap elemen lainnya namun memiliki tingkat pengaruh yang rendah. Empat elemen dalam kuadran ini terdiri dari Swift- Trust, Information Sharing, Visibility, dan Commitment.
Kuadran ketiga terdiri dari elemen-elemen yang memiliki tingkat ketergantungan dan pengaruh yang tinggi terhadap elemen lain dan rantai pasokan bantuan kemanusiaan. Altay (2018) menyebut elemen pada kuadran ketiga ini sebagai, linkage element, yaitu elemen-elemen yang cenderung bertindak sebagai mediator atau dapat disebut sebagai variabel yang saling berinteraksi satu sama lain. Elemen pada kuadran ini terdiri dari Cultural Cohesion, Regular Meeting, Use of ICT, Training, dan Performances Management System (PMS).
Kuadran keempat terdiri dari elemen-elemen dengan ketergantungan terhadap elemen lainnya yang rendah namun memiliki pengaruh yang besar terhadap elemen lainnya. Elemen pada kuadran keempat yaitu Mutual Learning dan Contingency Leadership. Oleh karena itu penelitian dari Altay (2018) menyimpulkan bahwa Mutual Learning dan Contingency Leadership mengarah pada Swift- Trust, Information Sharing, Visibility, Commitment, Cultural Cohesion, Regular Meeting, Use of ICT, Training dan Performances Management System (PMS).
4 Mei 2023
Referensi:
Akhtar, P., Marr, N. E., & Garnevska, E. V. (2012). Coordination in Humanitarian Relief Chains: Chain Coordinators. Journal of Humanitarian Logistics and Supply Chain Management, 2(1), 85–103.
Altay, R. D. (2018). Drivers of Coordination in Humanitarian Relief Supply Chains. The Palgrave Handbook of Humanitarian Logistics and Supply Chain Management, 297-325.
Asplund, M., Nadjm-Tehrani, S., & Sigholm, J. (2008). Emerging Information Infrastructures: Cooperation in Disasters. In Critical information Infrastructure Security (pp. 258–270). Berlin, Heidelberg: Springer.
Beamon, B. M., & Balcik, B. (2008). Performance Measurement in Humanitarian Relief Chains. International Journal of Public Sector Management, 21 (1), 4–25.
Balcik, B., Beamon, B. M., Krejci, C. C., Muramatsu, K. M., & Ramirez, M. (2010). Coordination in Humanitarian Relief Chains: Practices, Challenges and Opportunities. International Journal of Production Economics, 126(1), 22–34.
Brandon-Jones, E., Squire, B., Autry, C. W., & Petersen, K. J. (2014). A Contingent Resource-Based Perspective of Supply Chain Resilience and Robustness. Journal of Supply Chain Management, 50(3), 55–73.
Cao, M., & Zhang, Q. (2011). Supply Chain Collaboration: Impact on Collaborative Advantage and Firm Performance. Journal of Operations Management, 29(3), 163–180.
Christopher, M., & Lee, H. (2004). Mitigating Supply Chain Risk Through Improved Confidence. International Journal of Physical Distribution & Logistics Management, 34(5), 388–396.
Gillmann, N. (2009). Interagency Coordination during Disaster Strategic Choices for the UN. NGOs, and other Humanitarian Actors in the Field. Baden-Baden: Nomos.
Kabra, G., & Ramesh, A. (2015). Analyzing Drivers and Barriers of Coordination in Humanitarian Supply Chain Management under Fuzzy Environment. Benchmarking: An International Journal, 22(4), 559–587.
Kovács, G., & Spens, K. M. (2007). Humanitarian Logistics in Disaster Relief Operations. International Journal of Physical Distribution & Logistics Management, 37(2), 99–114.
Min, S., Roath, A. S., Daugherty, P. J., Genchev, S. E., Chen, H., Arndt, A. D., & Glenn Richey, R. (2005). Supply Chain Collaboration: What’s happening? The International Journal of Logistics Management, 16(2), 237–256.
Morgan, R. M., & Hunt, S. D. (1994). The Commitment-Trust Theory of Relationship Marketing. The Journal of Marketing, 58(3),20–38.
Paton, D. (1996). Training Disaster Workers: Promoting Wellbeing and Operational Effectiveness. Disaster Prevention and Management: An International Journal, 5(5), 11–18.
Poister, T.H. (2003), Measuring Performance in Public and Nonprofit Organizations. San Francisco, CA: Jossey-Bass.
Tatham, P., & Kovács, G. (2010). The Application of “Swift Trust” to Humanitarian Logistics. International Journal of Production Economics, 126(1), 35–45.
Wentz, L. (2006). An ICT Primer: Information and Communication Technologies for Civil-Military Coordination in Disaster Relief and Stabilization and Reconstruction. National Defense University, Center for Technology and National Security Policy. Washington, DC.
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia
Download artikel ini:
SCI - Artikel Elemen Koordinasi dalam Rantai Pasok Bantuan Kemanusiaan (395.9 KiB, 286 hits)