Oleh: Bortiandy Tobing, S.T., MMT. | Senior Consultant at Supply Chain
Selama lima tahun terakhir, pemerintah dan pengamat ekonomi memaparkan data pertumbuhan ekonomi yang fantastis dan dalam beberapa kesempatan pemerintah menyatakan bahwa Indonesia telah menduduki peringkat ke-10 di dunia dari segi pendapatan domestik bruto atau gross domestic product dan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2010-2012 tumbuh rata-rata di atas 6 persen. Bahkan pada 2012, ekonomi Indonesia tumbuh 6,23 persen sehingga dunia menempatkan Indonesia sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi kedua di dunia setelah Tiongkok yang tumbuh 7,7 persen.
Sejak tahun lalu dan dalam tulisan maupun diskusi, saya menyatakan ini sebagai pertumbuhan yang semu (fake growth) karena tidak menyentuh sektor riil sebab secara nyata tidak meningkatkan daya beli masyarakat menengah-bawah. Subsidi yang tidak tepat pada sektor non-produktif seperti subsidi BBM serta kebijakan yang tidak berpihak pada sektor produktif (pertanian dan perikanan), telah menina-bobokkan berbagai sektor, yang dampaknya baru dirasakan pada saat ini. Salah satu sektor yang paling mengalami pertumbuhan semu adalah sektor logistik. Dalam 5 tahun terakhir, berbagai pengamat dan pemerintah mengatakan terjadi pertumbuhan yang baik pada sektor logistik, hal ini terlihat dari penjualan truk dan pembangunan warehouse yang terus meningkat. Sesungguhnya pengusaha logistik menambah armada adalah sebagai dampak kemacetan, infrastruktur serta kebijakan dan birokrasi/demurage di pelabuhan. Utilitas truk yang sebelumnya 1 hari bisa mengangkut 2 kali muatan dari pelabuhan Tanjung Priok ke Depo, karena kemacetan, akhirnya 1 hari hanya mampu mengangkut 1 kali (jika ke customer di Jabodetabek, lebih parah lagi). Dengan kontrak muat yang harus dipenuhi, maka pengusaha logistik harus membeli truk untuk mengatasi dampak ini. Demikian juga dengan pihak manufaktur dan pengusaha logistik lainnya, karena lead time semakin panjang, maka stock produk/material ditingkatkan yang berdampak pada penambahan gudang. Gejala yang hampir sama seperti krisis subprime mortgage di Amerika tahun 2007, namun Indonesia belum memasuki krisis ini.
Angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini juga menjadi dasar bagi pelaku bisnis khususnya manufaktur FMCG meningkatkan produksi untuk menekan cost/unit produk yang salah satunya disebabkan oleh kenaikan UMR. Karena data meningkatnya jumlah penduduk kelas menengah kemudian pelaku bisnis property juga melakukan pembangunan dan pengembangan usaha besar-besaran dan mengakibatkan harga property meningkat tajam. Namun pertanyaan umum: “apakah demand dan penjualan produk FMCG meningkat secara signifikan?” Khusus property: “Dari property yang dibeli, apakah 70% dari yang terjual dihuni, atau hanya dijadikan asset saja (membeli masa depan) oleh pemiliknya?”, “Apakah okupasi tenan di pusat-pusat perbelanjaan terisi penuh?”
Kondisi perlambatan ekonomi sebenarnya sudah terlihat nyata sejak tahun 2014 yang lalu, dimana pada pertengahan semester 1 tahun 2014, hampir seluruh pelaku bisnis FMCG melakukan program promo (banded atau diskon) secara konsisten di berbagai modern market. Dengan masih melemahnya daya beli masyarakat, terutama masyarakat menegah-bawah, jumlah peningkatan jumlah produksi tahun 2014 tidak dapat diserap pasar. Di saat, hasil produksi tahun 2014 belum dapat diserap pasar, memasuki tahun 2015, perusahaan manufaktur kembali harus merencanakan dan merealisasikan peningkatan jumlah poduksi untuk menekan biaya produksi (cost per unit), yang juga disebabkan karena kenaikan UMR dan beberapa faktor produksi lainnya (walau saat ini sudah terbantu dengan penurunan harga minyak mentah dunia yang berdampak pada harga packaging material). Dari penjelasan di atas, maka bukanlah suatu kejutan berbagai promo diskon, banded dan hadiah, yang dilakukan pengusaha sejak awal tahun 2015. Jumlah persediaan yang cukup besar juga menyebabkan perusahaan melakukan revisi business plan, dengan mengurangi kapasitas produksi dan juga berdampak pada sektor logistik trucking, dengan meng-garasi-kan armada truk, dan berfikir keras untuk membayar angsuran kendaraan serta biaya operasional kantor.
Tahun 2015 ini adalah tahun yang cukup kritis bagi seluruh bangsa Indonesia, dimana sesuai perjanjian ekonomi yang ditandatangani oleh Presiden di tahun 2008, kita akan segera memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)/ASEAN Economic Community. Di saat yang cukup kritis ini, kita juga masih harus menghadapi: kurs rupiah yang memasuki equilibrium baru, kenaikan harga minyak mentah dunia, pertambahan jumlah penggangguran, stock produk yang masih menumpuk, meningkatnya jumlah nasabah yang gagal bayar terutama dalam pembiayaan kendaraan, dan berbagai hal lainnya. Di tahun 2015 ini juga, pemerintah mencanangkan pembangunan infrastruktur secara besar-besaran, namun dampak dari pembangunan ini secara signifikan akan berdampak pada tahun 2016 mendatang.
Terlepas dari efek pasca pilpres yang masih belum hilang dari beberapa pihak, Pemerintah Jokowi-JK saat ini telah melakukan langkah yang tepat dan butuh dukungan dari semua pihak. Jika pemerintah kembali mengambil langkah-langkah populis, seperti subsidi BBM yang menjadikan harga bbm flat tidak seperti saat ini naik turun, mengimpor beras untuk mempertahankan popularitas dari sentimen masyarakat atas kenaikan harga pangan, maka saya yakin dan percaya, Indonesia akan masuk krisis yang lebih parah dari yang ada, pada 5 tahun mendatang.
Apakah kita sebagai orang yang sudah tidak terpengaruh efek pilpres atau masih sebagai Jokowi Haters, Jokowi Lovers, mari lihat secara objektif dan realistis. Negara kita sedang tidak sehat dan layaknya orang yang dalam proses penyembuhan harus melakukan diet makanan, olah raga yang teratur untuk membakar lemak, bahkan mungkin harus melakukan operasi dan amputasi demi memulihkan kesehatan. Kembali saya sampaikan thema untuk tahun 2015 ini, yaitu “2015: Year of Business Evolution – Rapidly Changed or Eliminated”.
“The graveyard of business with companies that failed to recognize the need to change” – Anon