Oleh: Rudy Sangian | Senior Consultant at Supply Chain Indonesia
Kode BSRT (Block-Slot-Row-Tier) yang diperoleh saat kontainer menempati lini I quay yard setelah dibongkar atau kontainer menempati lini I quay yard setelah penerimaan di gate Pelabuhan dari lokasi Kawasan Industri. Berikut gambar The Role of Port in Urban Logistic Master Plan.
FUNGSI KODE BSRT (BLOCK-SLOT-ROW-TIER)
Penggunaan kode BSRT tergantung pada manajemen pengelolaan petikemas. Jika mereka tidak diperlengkapi dengan perangkat teknologi yang berupa handheld maka hal itu tidak akan cepat diperoleh. ketika pengalaman saya membangun sistem di 13 pelabuhan Indonesia Bagian Barat maka peng-kode-an BSRT itu saya berdayakan dengan Discharge Card atau Loading Card karena perangkat handheld cukup mahal pada waktu itu. Dan Discharge Card dan Loading Card di-update ke Inhouse System Pelabuhan secara berkala per satu shift kerja paling lama.
Kelemahan perangkat handheld adalah jaringan WIFI 2.4 GHz itu jika terkena logam-logam kontainer yang disusun sampai dengan 7 tier itu tidak tembus sehingga sangat sulit melakukan updating ke Inhouse System yang ada.
Oleh karena itu solusi untuk menutupi kelemahan perangkat handheld adalah melengkapinya dari sisi Petugas Krani (Pengguna Jasa Pelabuhan) dan bukan di manajemen terminal petikemas seperti pada gambar di bawah ini:
Hasilnya, produksi bongkar muat Pelabuhan Pontianak dari rata-rata 12.000 TEUs per bulan itu naik menjadi 17.000 TEUs per bulan melampaui Dermaga Terminal III Pelabuhan Priok yang hanya rata-rata 13.000 TEUs per bulan.
Pelabuhan Pontianak tidak mempunyai fasilitas lini II untuk menyangga jika lini I quay yard-nya penuh tetapi bisa naik produksi bongkar muatnya. Bandingkan dengan Pelabuhan Priok yang luas quay yard-nya itu 152 Ha dan dilengkapi dengan lini II dan lini III sepanjang Jalan Yos Sudarso dan sepanjang Jalan Cakung Cilincing untuk menyangga jika lini I quay yard Priok seluas 152 Ha tersebut penuh.
Kenaikan produksi bongkar muat adalah wujud efek tentang adanya dwelling time yang pendek sekitar 1 s/d 2 hari saja di Pontianak. Karena apa? Karena ketika kapal sandar untuk melakukan kegiatan (produksi bongkar/ muat) maka selalu tersedia lahan bongkar maupun lahan muat di lini I quay yard Pelabuhan Pontianak.
Biaya teknologi dibuat untuk Petugas Krani (Pengguna Jasa Pelabuhan) di Pelabuhan Pontianak itu tidak mahal, hanya memberdayakan Tab mereka via Internet Connection terhubung ke Inhouse System Pelabuhan Pontianak.
Coba dibandingkan dengan JICT/ KOJA yang menggunakan NGEN Technology dari Hutchinson yang mahal.
Solusi memperpendek dwelling time itu tidak bisa mengandalkan kode BSRT. Kode BSRT hanya menandakan tentang tanggal dan jam awal mulainya kontainer ditempatkan pada lini I quay yard. Sepanjang pengetahuan saya di Pelabuhan Priok itu tanggal dan jam awal tersebut diambil dari Vessel ETA (Estimate Time Arrival) dan bukan dari TA (Time Arrival). Bisa dibayangkan bahwa antara Estimate Time Arrival dan Time Arrival itu ada interval waktu yang dipengaruhi oleh penerbitan SPOG (lihat gambar The Role of Port in Urban Logistic Master Plan).
Jika barang masih di atas kapal yang disebabkan oleh adanya kelamaan waktu penerbitan SPOG maka sesungguhnya ada dwelling time barang di atas kapal dan oleh karenanya, terminologi dwelling time itu tidak hanya lamanya barang tersebut ditimbun di lini I quay yard.
Untuk mengurus barang impor secara pribadi maka kapal baru mendapatkan tambatan itu kurang lebih 10 hari. Artinya barang sudah berlama-lama di atas kapal sebelum dibongkar dan ditumpuk di lini I quay yard.
Untuk menciptakan sistem kepelabuhan yang baik dan efisien, Pemerintah harus memiliki tenaga ahli kepelabuhanan dan kepabeanan yang kredibel untuk menyelesaikan permasalahan dwelling time.
Pelabuhan di Indonesia berdasarkan info dari Maritime Anti Corruption Network (MACN) itu sudah dikatagorikan high risk sehingga mempengaruhi pelaku usaha internasional melakukan investasi. Sebagai contoh Batam dilihat dari sisi letak geografis merupakan daerah strategis Pemerintah Indonesia untuk dijadikan Etalase Poros Barat Konsep Tol Laut di alur Selat Malaka yang dapat menambah Pendapatan Jasa Kepelabuhanan dan memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang setara dengan PSA (Port Singapore Authority).
Akibat dari pengkategorian tersebut, International Shipping Line itu lebih suka buka Representative Office-nya di Singapore ketimbang di Batam? Padahal rental office building di Batam lebih murah ketimbang di Singapore. Padahal luas tanah pulau Batam (618 Km2) itu sangat luas untuk menampung kontainer, tetapi kontainer-kontainer tersebut ditampung berdesak-desakan di Singapore.
Demikian pula halnya dengan Pelabuhan Bitung dapat dijadikan Etalase Poros Timur karena pusat simpul dari 3 ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) lihat gambar di bawah ini.
SIMPLIFIKASI BIROKRASI LAYANAN KEPELABUHANAN
Perbedaan antara SPOG dan SPK Pandu pada gambar The Role of Port in Urban Logistic Master Plan. Dan apa fungsi dari BC 1.1. kapal dari Posisi Labuh sampai ia bergerak ke Posisi Tambatan itu memerlukan banyak dokumen yang dilindungi dengan berbagai Peraturan Menteri, padahal elemen data dari ketiga dokumen tersebut menyebutkan Kapal Yang Sama. Bahkan lebih jelasnya dapat digambarkan sebagai berikut:
Pada jalur inbound sebagaimana tertera pada gambar 4 di atas akan terlihat causes and effects-nya yang dipengaruhi oleh regulasi Peraturan-peraturan Menteri di atas dan tingginya Biaya Logistik di Indonesia.
- Consignee sebagai Penerima Barang akhirnya dibebankan oleh biaya tangible dan intangible mulai dari lama barangnya di atas kapal pada posisi labuh, lamanya barang ditumpuk di Pelabuhan Bongkar
- Consignee biasanya memberi kuasa kepada pihak lain untuk mengurusi barang kirimannya yang disebut dengan Pemilik Barang Yang Dikuasakan
- Manajemen Pemilik Barang Yang Dikuasakan itu beraneka ragam tingkat ke-profesionalisme-nya sehingga mempengaruhi manajemen transportasi truknya, mulai dari:
- Koordinasi dengan Supir Truk untuk pengambilan barang di lini I quay yard
- Koordinasi dengan PPJK tentang selesainya SPPB
- Koordinasi dengan Petugas Krani tentang selesainya pembayaran SP2
- Koordinasi dengan Agen Kapal tentang masa berlakunya DO
- Koordinasi dengan Manajemen Terminal Petikemas tentang posisi barang apakah ada di Lini I Quay Yard atau di TPFT atau telah di-relokasi ke TPS Lini III (Jalan Yos Sudarso atau Jalan Cakung Cilincing)
- Koordinasi dengan Petugas Krasi tentang selesainya pembayaran Nota Progressive di TPS
- Consignee menerima Nota Tagihan yang berisi aneka ragam biaya yang harus dikonfirmasi kembali sementara Cash Flow Pemilik Barang Yang Dikuasakan sudah kritis dan seterusnya dan seterusnya untuk mengambil kontainer pada siklus pengambilan barang berikutnya
Simplifikasi birokrasi layanan kepelabuhan berdampak pada ke-empat butir di atas karena anggaran biaya yang telah disusun sebelumnya itu menjadi bergeser unpredictable dan berefek donimo pada industri yang dijalankan oleh Consignee.
Pelabuhan di Indonesia berdasarkan info dari Maritime Anti Corruption Network (MACN) itu sudah dikatagorikan high risk sehingga mempengaruhi Pelaku Usaha Internasional melakukan investasi. Contoh di atas yang berkenaan dengan industri-industri yang dikelola Consignee yang memberi pekerjaan pada tenaga-tenaga lokal Indonesia dapat terancam yang disebabkan Biaya Logistik yang digunakan untuk mengolah Bahan Baku menjadi Barang Jadi untuk di-ekspor itu telah mengambil porsi sebesar hampir 30% PDB dan Indonesia merupakan salah tertinggi di negara-negara ASEAN.
Apa yang dilakukan Pemerintah Indonesia saat ini dan setelah reshuffle itu belum memberi indikator adanya perubahan di sektor kepelabuhanan dan kepabeanan sebagaiman tertera pada gambar di bawah ini.
Oleh karena itu, mari kita ciptakan dan tingkatkan perbaikan oleh semua pihak yang terlibat di lingkungan kepelabuhanan kita baik regulator ataupun pengguna jasa logistik, untuk kemajuan pelabuhan di Indonesia.
Download Artikel ini:
Fungsi Kode BSRT dalam Kepelabuhanan (942.6 KiB, 758 hits)