Melalui digitalisasi, UMKM kita diharapkan bisa menjadi bagian dari ekosistem produksi dalam negeri. Namun, yang terjadi, UMKM kita ternyata justru hanya menjadi mitra penjual (reseller) produk impor (Kompas, 25/1). Akibatnya, nilai tambah terbesar bukan dinikmati pelaku industri dalam negeri, melainkan produsen produk impor di negara asal.
Serbuan produk impor—legal maupun ilegal—yang mende- sak produk lokal merupakan fenomena yang sudah lama dikeluhkan pelaku industri dalam negeri. Invasi produk impor itu kian terbuka lebar dengan digitalisasi ekonomi, yang peluangnya gagal dimanfaatkan oleh produsen UMKM lokal.
Deindustrialisasi dan kian terdesaknya produk dalam negeri—karena kalah bersaing dengan produk impor—membuat banyak pelaku industri akhirnya lebih memilih banting setir jadi pedagang, importir, bahkan penyelundup produk impor.
Tampaknya ini juga terjadi pada UMKM. Akibatnya, yang terjadi bukan perluasan basis produksi dan akses pasar UMKM, tetapi mereka justru menjadi bagian dari jaringan kekuatan masif yang ikut menggembosi industri dan pangsa pasar produk dalam negeri di pasar dalam negeri sendiri.
Fakta bahwa hanya 6,8 persen UMKM di lokapasar yang menjual produk sendiri juga menjadi gambaran lemahnya fondasi manufaktur kita. Data BPS, UMKM kita dominan bergerak di bidang perdagangan, yakni 46,40 persen. Kondisi ini ikut menyumbang naiknya angka impor produk konsumtif.
Sumber dan berita selengkapnya:
https://www.kompas.id/baca/opini/2024/01/28/impor-dan-digitalisasi-umkm-semu?open_from=Tagar_Page
Salam,
Divisi Informasi