Oleh: Rudy Sangian | Senior Consultant at Supply Chain Indonesia
Pemerintah boleh survei sendiri; ambil data sendiri di berbagai Terminal Operator Pelabuhan Tanjung lalu menghitung sendiri berapa banyak container yang di-relokasi untuk membuktikan uraian penjelasan di bawah ini.
Dari sumber http://kargonews.com/dirjen-hubla-komitmen-kemenhub-tegakkan-pm-117-tah tertulis bahwa Kemenhub telah menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan (PM) Nomor 117 tahun 2015 tentang Pemindahan Barang yang Melewati Batas Waktu Penumpukan (Long Stay) di Pelabuhan Tanjung Priok yang telah diundangkan pada Agustus 2015 lalu.
Akibat peraturan tersebut, sekitar 3000 s/d 5000 container di-relokasi setiap harinya di Pelabuhan Tanjung Priok untuk tujuan menurunkan Dwelling Time agar tidak melebihi 3 hari lamanya. Biaya relokasi per container adalah 1 jutaan rupiah.
- 3000 container x Rp. 1 juta menjadi Rp. 3 Milyard atau
- 5000 container x Rp. 1 juta menjadi Rp. 5 Milyard
- Artinya: Biaya Relokasi container ada sebesar Rp. 3 Milyar s/d Rp. 5 Milyard di Pelabuhan Tanjung Priok setiap harinya.
- Jika angka-angka tersebut dikalikan dengan 360 hari maka ada Rp. 1.080.000.000.000 s/d Rp. 1.800.000.000.000 per tahun Biaya Relokasi container.
Dari bulan Agustus 2015 s/d saat ini, maka Dwelling Time dikatakan oleh berbagai kalangan sudah membaik. Hal itu sangatlah tidak sesuai dengan kondisi di lapangan Pelabuhan Tanjung Priok. Informasi tersebut adalah hasil pengolahan data menggunakan tanggal SPPB (Surat Persetujuan Pengeluaran Barang) yang diterbitkan oleh Bea Cukai sebagai dasar perhitungan tanggal keluarnya barang dari pelabuhan.
Jika Pemilik Barang sudah memperoleh SPPB maka artinya pengeluaran barang dari pelabuhan telah disetujui Bea Cukai. Hal ini bukanlah berarti barang secara fisik TELAH KELUAR dari pelabuhan, karena masih banyak prosedural kepelabuhanan yang harus dilakukan sesudah SPPB, yaitu:
- Pemilik Barang harus membayar Biaya Penumpukan container
- Pemilik Barang harus membayar Biaya Lift On container ke atas truk pengambil
- Pemilik Barang harus membayar Biaya Relokasi jika containernya terkena pemindahan ke lokasi lahan penyangga. Maksud pemindahan tersebut adalah agar di Lini I tersedia tempat bagi container yang akan dibongkar dari kapal
- Pemilik Barang harus memperpanjang DO (Delivery Order) dari Agen Pelayaran untuk menyelesaikan Biaya Demurrage Container
- Setelah itu, Pemilik Barang harus berkoordinasi dengan perusahaan truk untuk mengambil containernya di Lini I Pelabuhan.
Thus, Dwelling Time dikatakan sudah membaik itu adalah sangatlah TIDAK TEPAT karena tanggal terbit SPPB tidak dapat dijadikan sebagai patokan tanggal keluarnya barang dari pelabuhan.
Kita semua telah membaca di berbagai media bahwa Kemenko Maritim & Sumber Daya ditugaskan Presiden untuk menyelesaikan permasalahan Dwelling Time ini. Dan yang mengherankan, Dwelling Time dilaporkan kepada Presiden sudah membaik yang diulas dengan dukungan data-data dan informasi dari Instansi Bea Cukai yang dikenal dengan istilah Customs Clearance, Pre-Clearance dan Post-Clearance dari konsultan Internasional.
Di sisi lain, UU 17/ 2008 Tentang Pelayaran sudah jelas menunjuk Otoritas Pelabuhan (OP) dibawah komando Kementerian Perhubungan (Kemenhub) adalah pihak yang berwenang untuk kelancaran arus kapal dan barang di pelabuhan. Kemenhub telah menerbitkan peraturan sebagaimana ulasan di atas yang tidak tepat menyentuh permasalahan Dwelling Time.
KESADARAN INGIN MEMAJUKAN PELABUHAN INDONESIA
Sesungguhnya, permasalahan Dwelling Time sudah ada sejak Pak Hatta Rajasa menjabat sebagai Menteri Perhubungan tertanggal 21 Oktober 2004. Indikator 11 tahun lamanya Dwelling Time tidak dituntaskan oleh pemerintah itu memberi pengertian bagi masyarakat luas khususnya Pengguna Jasa Pelabuhan yang merasa sangat dirugikan adalah sebagai berikut:
- Bahwasannya yang selalu diupayakan pemerintah adalah hanya soal infrastruktur fisik pelabuhan yang harus dibangun sebanyak-banyaknya agar terjadi unsur konektivitas untuk menurunkan Biaya Logistik dan untuk mengatasi perbedaan harga barang di Wilayah Timur (disparitas harga)
- Padahal data di Kemenhub, di Indonesia sudah ada 1241 pelabuhan dengan pola manajemen yang tidak dirubah
- Diterbitkan berbagai peraturan sebagaimana contoh di atas yang justru menimbulkan efek domino potensi ketambahan biaya logistik trilyunan rupiah per tahunnya
- Pemerintah tidak pernah atau jarang melibatkan berbagai Pengamat Pelabuhan untuk ditampung aspirasinya agar terjadi perubahan di pelabuhan
- Terminologi Pre-Clearance, Customs Clearance dan Post Clerance merupakan indikator bahwa pemerintah lebih percaya Pihak Asing yang menjadi konsultan yang mana pendekatan ini sudah sangat tidak tepat untuk menyelesaikan permasalahan Dwelling Time sebagaimana telah dibuktikan di atas