JAKARTA, KOMPAS-Walau dinilai positif dan bersemangat mempersatukan, kebijakan poros maritim pemerintahan Presiden Joko Widodo dinilai baru sebatas cita-cita, visi, dan misi. Keinginan menjadikan Indonesia negara berbasis maritim dinilai tak otomatis menjadikan Indonesia negara kekuatan maritim dunia.
Penilaian itu mengemuka dalam Konferensi Komunikasi Jalur Laut (SLOC), Selasa (18/11), di Jakarta. “Menjadi negara maritim bisa menjadi sumber kekuatan sekaligus kelemahan. Kelemahan terutama jika kebijakan yang diambil tak mendukung ketergantungan negara itu pada maritimnya,” ujar Geoffrey Till, Profesor tamu S Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, Singapura, kepada Kompas.
Adapun Teuku Rezasyah dari Universitas Padjajaran, Bandung, menyarankan pemerintah membakukan visi, misi, dan kebijakan poros maritim dalam produk undang-undang. “Sampai sekarang saya belum melihat pemerintah punya cetak biru tentang poros maritim. Padahal, itu diperlukan untuk keberlanjutan kebijakan itu. Tidak cukup hanya deklarasi dan gagasan,” ujarnya.
Dengan cetak biru dalam bentuk UU, pemerintah akan punya patokan jelas, sekaligus alat kontrol pelaksanaan kebijakan pembentukan poros maritim. Dengan demikian, setiap kementerian secara konkret akan memiliki buku putih di bidang pertahanan, diplomatik, atau perdagangan, yang mengacu pada cetak biru visi dan misi besar tersebut.
Sumber dan berita selengkapnya:
Kompas, edisi cetak 19 November 2014