Kenaikan tarif kargo udara atau lumrah disebut Surat Muatan Udara (SMU) pada sejumlah maskapai di Indonesia per Oktober 2018 disambut dengan protes dari para pelaku usaha. Kenaikan SMU tersebut dinilai tidak berbanding lurus dengan pelayanan yang diberikan maskapai penerbangan.
Asosiasi yang menentang keras kenaikan tarif kargo udara tersebut adalah DPP Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres, Pos, dan Logistik Indonesia (Asperindo). Bahkan, Asperindo membuat semacam usulan agar seluruh anggotanya turut menaikkan tarif pengiriman sebesar 20%—50% paling lambat pada awal 2019.
Selain turut mendongkrak kenaikan tarif pengiriman, Asperindo bakal menyewa pesawat khusus kargo berjenis Boeing 737 Freighter dengan kapasitas 15 ton hingga 17 ton sebagai sikap menentang kenaikan tarif kargo udara yang dikenakan maskapai reguler.
Memang, kenaikan tarif kargo udara menjadi dilematis. Di satu sisi, kenaikan harga avtur dan depresiasi rupiah terhadap dolar AS menjadi salah satu penyebab lonjakan biaya operasi penerbangan.
Wakil Ketua Umum Angkutan Udara Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Arman Yahya kepada Bisnis mengatakan, memiliki maskapai sendiri mempunyai beberapa keuntungan di antaranya tidak bergantung pada maskapai swasta.
Sebut saja PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE), perusahaan yang sudah memiliki reputasi besar dalam bisnis ini atau J&T Express yang terus tumbuh positif kendati baru berusia 3 tahun. Keduanya, saya kira sudah bisa memiliki maskapai sendiri karena cakupannya sudah terbilang besar di Indonesia.
Sumber dan berita selengkapnya:
Salam,
Divisi Informasi
#SCIuntukLogistikIndonesiaLebihBaik