Oleh: Putu Franciska Fajarini, S.Log., M.S.M.
Junior Consultant
Supply Chain Indonesia
Pengaruh Letak Geografis Suatu Negara dan Kerentanannya terhadap Bencana
Letak geografis adalah posisi keberadaan sebuah wilayah berdasarkan letak dan bentuknya dimuka bumi. Letak geografis biasanya di batasi dengan berbagai fitur geografi yang ada di bumi dan nama daerah yang secara langsung bersebelahan dengan daerah tersebut. Fitur bumi yang dimaksud disini contohnya benua, laut, gunung, samudera, gurun, dan sebagainya (BPS Jatim, n.d.).
Letak geografis suatu negara tidak hanya memengaruhi aspek sosial budaya melainkan juga keberlangsungan negara bersangkutan. Aspek keberlangsungan suatu negara ini didefinisikan penulis sebagai ketahanan suatu negara untuk merespon perubahan kondisi manusia dan iklim. Perubahan kondisi manusia ini dapat berupa pergeseran perilaku sosial dan budaya, politik, ekonomi, serta perubahan lainnya yang berkaitan dengan aktivitas manusia. Perubahan kondisi iklim merupakan perubahan temperatur, curah hujan, atau angin pada periode waktu tertentu yang umumnya merentang dari bulanan hingga tahunan atau bahkan jutaan tahun.
Letak geografis suatu negara juga dapat memberikan gambaran kerentanan negara tersebut terhadap suatu bencana. Sebagai contoh, secara geografis Indonesia terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Pada bagian selatan dan timur Indonesia, terdapat sabuk vulkanik (volcanic arc) yang memanjang dari Pulau Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, hingga Sulawesi. Akibat letak geografisnya ini, Indonesia sering disebut sebagai “ring of fire” atau lingkaran api pasifik. Kondisi tersebut mengakibatkan Indonesia memiliki kerentanan yang tinggi terhadap bencana alam seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir dan tanah longsor.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tsunami di Indonesia disebabkan oleh gempa bumi yang dihasilkan dari interaksi lempeng tektonik yang menimbulkan gelombang pasang apabila terjadi di samudera. Oleh karena letak geografis Indonesia yang diapit tiga lempeng tektonik, mengakibatkan Indonesia memiliki potensi tsunami dengan frekuensi yang tinggi.
Contoh negara lainnya yang terletak di kawasan cincin api pasifik atau ring of fire adalah Jepang. Hal tersebut menyebabkan wilayah ini juga sering mengalami gempa bumi dan gunung meletus. Bentangan Ring of Fire Jepang adalah tempat pertemuan lempeng Amerika Utara, Pasifik, Eurasia, dan Filipina. Sekitar 1.500 gempa bumi melanda negara kepulauan tersebut setiap tahun dengan getaran kecil terjadi hampir setiap hari. Di negeri Sakura ini juga rentan terjadi banjir akibat sungai-sungai di Jepang memiliki kemiringan lereng di sepanjang cekungan serta lereng yang relatif pendek. Hal tersebut mengakibatkan rasio debit aliran puncak terhadap daerah cekungan relatif besar, berkisar antara 10 kali hingga 100 kali lipat dari sungai-sungai besar di negara lain yang mengakibatkan permukaan air naik dan turun sangat cepat (Kristina, 2021).
Logistik Kemanusiaan
Istilah Logistik Kebencanaan lebih sering dikenal dengan Logistik Kemanusiaan atau “humanitarian logistics” di kalangan peneliti. Logistik kemanusiaan dapat secara sederhana didefinisikan sebagai cabang logistik yang berurusan dengan aspek logistik dari sistem manajemen bencana, termasuk berbagai kegiatan seperti pengadaan, penyimpanan, dan pengangkutan makanan, air, obat-obatan, dan persediaan lainnya serta sumber daya manusia, mesin yang diperlukan dan peralatan, dan korban yang terluka sebelum dan sesudah bencana terjadi (Nikbakhsh & Farahani, 2011).
Logistik Kemanusiaan memiliki karakteristik yang unik dan berbeda dengan logistik dan rantai pasokan bisnis/komersial. McLachlin et al. (2009) meringkas perbedaan antara logistik bisnis dan kemanusiaan ke dalam dua dimensi yaitu dimensi motivasi dan dimensi lingkungan. Dari sisi dimensi motivasi, Logistik kemanusiaan digolongkan sebagai logistik nirlaba. Dimana, logistik kemanusiaan diciptakan dengan dorongan untuk membantu sesame tanpa adanya orientasi untuk mencari keuntungan. Sementara itu, logistik bisnis/komersial cenderung memiliki motivasi untuk menciptakan keuntungan yang sebesar-besarnya. Dari sisi lingkungan, logistik kemanusiaan umumnya memiliki lingkungan yang lebih dinamis, dibandingkan logistik bisnis, dengan stabilitas yang rendah, kompleksitas yang tinggi dan ketidakpastian dalam permintaan yang besar. Selain hal tersebut, logistik kemanusiaan memiliki lead time yang singkat serta tidak beroperasi secara teratur seperti logistik bisnis.
Karakter unik dari logistik kemanusiaan ini membuat Kim dkk. (2018) menyebutnya sebagai contoh sempurna dari “Temporary Supply Chain” atau rantai pasok sementara. Ini berarti bahwa sistem rantai pasok dibentuk dan dipertahankan untuk periode singkat yang membuatnya tidak hanya tidak dapat diprediksi, tetapi juga bergolak dan membutuhkan fleksibilitas dalam konteks bantuan kemanusiaan. Tabel 1 menunjukkan perbedaan antara rantai pasok kemanusiaan dengan rantai pasok komersial yang ditinjau dari 10 aspek yaitu struktur rantai pasok, definisi konsumen, umur simpan produk, arus informasi, arus manusia, arus keuangan, aktor/stakeholder, pasokan, permintaan dan lingkungan.
Konsep Pentahelix dalam Logistik Kemanusiaan
Koordinasi dalam manajemen kemanusiaan dapat digambarkan sebagai proses membangun kolaborasi dan kesatuan di antara berbagai pihak yang terlibat dalam operasi kemanusiaan untuk memberikan bantuan kepada penduduk yang terkena bencana secara tepat waktu, tepat sasaran, tepat jenis, tepat jumlah, tepat kualitas, tepat biaya dan tepat pelaporan. Banyak penelitian telah menyebutkan bahwa koordinasi adalah elemen penting dalam logistik kemanusiaan. Kurangnya koordinasi dalam manajemen logistik kemanusiaan akan berdampak kepada inefisiensi pengiriman bantuan, yang pada akhirnya akan memperburuk penanganan bencana. Pentingnya koordinasi yang terintegrasi inilah yang pada akhirnya memicu berkembangnya konsep “Pentahelix” atau multi partnership dalam logistik kemanusiaan.
Pentahelix merupakan konsep multi pihak dimana unsur pemerintah, akademisi, badan dan atau pelaku usaha, masyarakat atau komunitas, dan media massa berkolaborasi serta berkomitmen untuk mencapai tujuan yang sama. Proses logistik tidak hanya melibatkan perpindahan barang tetapi juga perpindahan informasi dan sumber daya finansial. Oleh karena itu, peran pentahelix diperlukan dalam rangka penciptaan kolaborasi di bidang observasi dan pengamanan sarana-prasarana observasi, serta penyebarluasan informasi dan mitigasi bencana.
Di Indonesia sendiri, konsep pentahelix dalam logistik kemanusiaan sudah mulai digalakkan untuk meningkatkan kepedulian dan kesiapsigaan berbagai pihak dalam penanganan bencana. Peran pemerintah dalam konsep pentahelix adalah untuk merancang dan membuat kebijakan yang tepat dalam mitigasi dan penanganan bencana dengan mempertimbangkan output atau produk penelitian dan kajian dari akademisi.
Peran akademisi dalam konsep pentahelix adalah melakukan kajian serta menciptakan produk riset yang tepat dan relevan untuk mitigasi dan penanganan bencana. Di Indonesia sendiri sudah banyak produk-produk riset mengenai mitigasi dan penanganan bencana yang dihasilkan sisi akademisi, beberapa produk inovasi seperti bangunan tahan gempa, teknologi modifikasi cuaca, peringatan dini banjir, dan tsunami sudah banyak diimplementasikan. Namun, menurut Budi Heru Santosa, peneliti Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air (PRLSDA) BRIN penyerapan hasil riset masih harus didorong lagi agar bisa lebih berkontribusi sehingga peran lembaga riset lebih besar dan target yang harus dicapai dalam konteks pengurangan risiko bencana dapat direalisasikan (BRIN, 2022).
Peran media massa terkait dengan konsep pentahelix ini lebih banyak terkait dengan aliran penyebarluasan atau distribusi informasi mengenai mitigasi dan penanggulangan bencana. Kepala BNPB Indonesia, Letnan Jenderal TNI Doni Monardo, menyatakan bahwa media punya peran luar biasa dalam pendistribusian informasi kebencanaan. Beliau menegaskan bahwa informasi yang disampaikan media diharapkan tidak memicu kerisauan atau ketakutan melainkan membuat masyarakat paham dan sadar mengenai mitigasi bencana, sehingga meminimalkan jatuhnya korban jiwa dan kerugian (BNBP, 2019).
Peran sektor swasta dalam logistik kemanusiaan tidak hanya berperan pada proses pemasokan bantuan, baik sebagai penyedia bantuan maupun fasilitator pengiriman bantuan melainkan juga berperan dalam kegiatan sebelum dan sesudah bencana. Melalui kegiatan Corporate Social Responsibility, pihak swasta dapat membantu pembangunan posko-posko tanggap bencana untuk daerah rawan bencana serta melakukan sosialisasi mengenai mitigasi dan penanggulangan risiko. Di sisi lain, pihak swasta dapat membantu pemulihan bencana dengan memberikan bantuan finansial kepada masyarakat terdampak bencana. Sektor swasta juga dapat membuat kajian tanggap bencana berupa indikasi potensi bahaya yang mungkin bisa terjadi di wilayah perusahaan mereka secara khusus, atau wilayah lainnya secara umum.
Selanjutnya adalah peran masyarakat, yang merupakan elemen penting keberhasilan proses logistik kemanusiaan. Masyarakat sebagai suatu kelompok manusia yang berinteraksi satu sama lain serta terikat oleh suatu sistem tertentu, merupakan ujung tombak penentu keberhasilan distribusi informasi dan sumber daya dalam mitigasi dan penanggulangan bencana. Menurut Patterson dkk. (2010), masyarakat memiliki peranan penting dalam proses keberlanjutan sistem mitigasi dan penanggulangan bencana melalui proses pembentukan persepsi risiko dan kepedulian.
Konsep pentahelix dan kolaborasi yang ditawarkannya, untuk saat ini, memang dianggap sebagai konsep yang ideal dalam manajemen logistik kemanusiaan. Namun terdapat beberapa tantangannya dalam implementasinya seperti tantangan komunikasi, kondisi lingkungan sosial, ekonomi dan politik, konflik inter dan intra organisational serta infrastruktur. Hasil penelitian oleh Andeen dkk. (2021) menggarisbawahi bahwa komunikasi dianggap sebagai tantangan dominan karena kurangnya platform teknologi dan pedoman yang jelas untuk berbagi data di antara lembaga untuk membangun pandangan umum tentang konteks bencana.
13 April 2023
Referensi:
Husna, A., Supriatna, Shiddiq, I. P., Mandini, M. D., & Ristya, M. Y. (2019). Environmental Vulnerability on Tsunami Hazard, Cisolok Village, Sukabumi. The 1st International Conference on Geodesy, Geomatics, and Land Administration 2019 (pp. 9-19). Dubai: Knowledge.
BPS Jatim. (n.d.). Konsep Geografis. Retrieved from jatim.bps.go: https://jatim.bps.go.id/subject/153/geografi.html
Kristina. (2021, September Jumat). Begini Akibat Posisi Geologi Jepang Terletak di Ring of Fire. Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia.
Nikbakhsh, E., & Farahani, R. Z. (2011). Humanitarian Logistics Planning in Disaster Relief Operations. Logistics Operations and Management, 291-332.
Charles, A. (2010). Improving the design and management of agile supply chains: feedback and application in the context of humanitarian aid. Université de Toulouse.
BRIN. (2022, October 28). BRIN Inisiasi Kolaborasi Pentahelix untuk Kesiapsiagaan Bencana di Indonesia . Retrieved from brin.go.id: https://www.brin.go.id/news/110647/brin-inisiasi-kolaborasi-pentahelix-untuk-kesiapsiagaan-bencana-di-indonesia
BNSP. (2019, Februari 20). Media Massa Berperan Tingkatkan Pemahaman dan Kesiapsiagaan Masyarakat. Retrieved from bnsp.go.id: https://bnpb.go.id/berita/media-massa-berperan-tingkatkan-pemahaman-dan-kesiapsiagaan-masyarakat
Patterson, O., Weil, F., & Patel, K. (2010). The Role of Community in Disaster Response: Conceptual Models. Popul Res Policy Rev, 127-141. Andeen, F., T. Fernando, U. Kulatunga, S. Hettige, & Ranasinghe, K. A. (2021). Challenges in multi-agency collaboration in disaster management: A Sri Lankan perspective. International Journal of Disaster Risk Reduction, 1-12.
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.
Download artikel ini:
SCI - Artikel Konsep Pentahelix dalam Logistik Kemanusiaan (293.9 KiB, 129 hits)