Oleh: Setijadi | Chairman at Supply Chain Indonesia
Pembatasan penjualan BBM bersubsidi tertuang dalam Surat Edaran Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi No. 937/07/KaBPH/2014 pada 24 Juli 2014 bertujuan untuk mengamankan APBN 2014 agar kuota BBM bersubsidi tidak melampaui kuota 46 juta kiloliter. Aturan tersebut memuat peniadaan solar subsidi di SPBU di Jakarta Pusat; pembatasan jam operasional penjualan BBM subsidi di seluruh SPBU di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Bali dari pukul 08:00-18:00 WIB, khusus untuk cluster tertentu yaitu kawasan industri, pertambangan, perkebunan, dan daerah di dekat pelabuhan yang rawan penyalahgunaan BBM; dan peniadaan penjualan premium di SPBU jalan tol.
Penerapan subsidi BBM memang membuka potensi penyalahgunaan. Namun, pembatasan penjualan BBM bersubsidi bisa berdampak terhadap efisiensi pengangkutan barang. Pemerintah semestinya mencabut subsidi BBM dan mengalihkannya ke program-program yang lebih tepat sasaran dan lebih aman dari risiko penyalahgunaan.
Subsidi BBM sebaiknya dialihkan untuk pembangunan dan pengembangan infrastruktur logistik yang menjadi salah satu masalah utama dalam kelancaran arus barang. Efisiensi yang diperoleh bisa menjadi kompensasi kenaikan harga BBM setelah pencabutan subsidi.
Pengalihan subsidi BBM untuk pengembangan infrastruktur diharapkan dapat meningkatkan nilai investasi infrastruktur di Indonesia yang saat ini sekitar 5% menjadi 7,5%-10% dari PDB. Dengan nilai tersebut, Indonesia baru akan dapat mulai menyamai investasi infrastruktur di India (sekitar 7,5% PDB) dan di China (sekitar 10% PDB).
Peningkatan dana untuk infrastruktur diperlukan untuk memperbaiki kondisi infrastruktur Indonesia yang tercermin dari peringkat infrastruktur dalam The Global Competitiveness Report 2013-2014, yang dikeluarkan oleh World Economic Forum. Infrastruktur Indonesia pada peringkat 61 dari 148 negara. Di antara negara-negara ASEAN, peringkat infrastruktur Indonesia di bawah Singapura (peringkat 2), Malaysia (29), Thailand (47), dan Brunei Darussalam (58).
Hasil pengembangan infrastruktur akan dapat mempercepat waktu transportasi dan meningkatkan produktivitas armada yang terkendala infrastruktur.
Sebagai contoh, produktivitas armada antara Cikarang – Pelabuhan Tanjung Priok saat ini sangat rendah. Armada hanya bisa mencapai 14-20 trip/bulan, jadi kurang dari 1 trip/hari. Dengan jarak Cikarang – Pelabuhan Tanjung Priok hanya sekitar 40 km, seharusnya produktivitas armada bisa 2-3 trip/hari.
Pengembangan infrastruktur harus dilakukan secara sistematis dan terpadu. Untuk peningkatan produktivitas antara Cikarang – Pelabuhan Tanjung Priok tersebut, misalnya, pengembangan infrastruktur di dalam maupun di luar pelabuhan, pembangunan depo kontainer di Cikarang, dan sebagainya. Selain itu memang diperlukan pula peningkatan pelayanan kepelabuhanan, misalnya, termasuk mengefektifkan Program 24/7.
Subsidi BBM juga bisa dialihkan dalam bentuk insentif, misalnya untuk peremajaan armada truk dengan bunga rendah agar sektor transportasi Indonesia lebih kompetitif. Sampai saat ini, truk dianggap barang komersial (bukan investasi), sehingga dikenai bunga tinggi.
Peremajaan itu diperlukan untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi biaya pemeliharaan armada. Untuk truk yang beroperasi di wilayah DKI Jakarta, peremajaan truk harus dilakukan untuk memenuhi Perda DKI No. 5 Tahun 2014 yang membatasi umur truk yang digunakan maksimum 10 tahun.
Jumlah truk yang beroperasi di Pelabuhan Tanjung Priok dan berumur lebih dari 10 tahun sekitar 12.000 armada. Dengan kebutuhan dana peremajaan truk sebesar Rp 1 milyar/unit, maka diperlukan dana peremajaan sebesar Rp 12 triliun.
Sektor logistik sangat kompleks, sehingga Pemerintah baru sangat diharapkan untuk dapat membangun suatu sistem logistik Indonesia yang tangguh dengan pengembangan infrastruktur yang terpadu dan kebijakan yang kondusif. Sektor logistik sangat diperlukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan daya saing, termasuk dalam memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015.