Logistik dan Daya Saing
Ina Primiana
LP3E Kadin Indonesia
“Competition is no longer between companies; it is between supply chains” (Heizer/Render 2011)
Pendahuluan
Beberapa tahun terakhir ini, aktivitas logistik yang merupakan bagian dari rantai pasokan /supply chain menjadi perhatian dalam perdagangan internasional. Logistik merupakan seni dan ilmu mengatur dan mengontrol arus barang, energi, informasi, dan sumber daya lainnya, seperti produk, jasa, dan manusia, dari sumber produksi ke pasar dengan tujuan mengoptimalkan penggunaan modal . Manufaktur dan marketing akan sulit dilakukan tanpa dukungan logistik. Logistik juga mencakup integrasi informasi, transportasi, persediaan, pergudangan, reverse logistics dan pemaketan. Berdasarkan pengertian di atas, maka misi logistik adalah “mendapatkan barang yang tepat, pada waktu yang tepat, dengan jumlah yang tepat, kondisi yang tepat, dengan biaya yang terjangkau, dengan tetap memberikan kontribusi profit bagi penyedia jasa logistik” (Wikipedia ensiklopedia).
Gambar 1. Manajemen Logistik terpadu (Swink, 2012)
Pada gambar 1 diatas tampak keterkaitan diantara semua bidang dengan logistik, tanpa adanya pengelolaan logistik secara menyeluruh dengan baik, maka akan menimbulkan gangguan pada rantai pasokan dan mendorong meningkatnya biaya logistik. Karenanya, logistik menjadi salah satu faktor penentu daya saing suatu produk.
Hargakompetitif dari suatu produktidakter lepas dari beban biaya logistik yang ditanggung dan berdampak pada daya saing. Rendahnya daya saing produk-produk Indonesia salah satunya adalah tingginya biaya logistik. Pada laporan World Economic Forum(WEF)tahun 2009-2012 ditunjukkan beberapa indikator yang terkait langsung dengan biaya logistik antara lain biaya non-reguler/suap yang dikeluarkan, biaya-biaya di Bea cukai dan tarif perdagangan yang berlaku.
Untuk tarif perdagangan ada perbaikan peringkat sebanyak 4 poin dari peringkat 89 di tahun 2010-2011 menjadi peringkat 85 di tahun 2011-2012. Berbeda dengan biaya non-reguler/suap dan tarif perdagangan yang menunjukkan penurunan peringkat secara signifikan di tahun 2011-2012 yaitu menjadi 103 dari posisi 95 di tahun 2010-2011dan di peringkat 63 dari peringkat 48 di tahun sebelumnya dari jumlah 142 negara (tabel 1) .
Tabel 1. Indeks Daya Saing beberapa indikator terkait biaya logistik
Sumber : WEF 2009-2012.
Selain biaya logistik permasalahan yang muncul terkait dengan logistik adalah lamanya waktukirim, hal ini disebabkan karena prasarana logistik yang adamasih konvensional (Jalan, pelabuhan, dan hubungan antar moda) serta belum terbangunnya konektivitas antar satu lokasi denganl okasi lainnya yang menghubungkan antarapusat-pusat produksi dengan pasar/ pusat konsumsi sehingga pengiriman kontainer di dalam negeri menjadi mahal dibandingkan dengan mengirimkan kontainer keluar negeri.
Pada laporan World Economic Forum 2009-2012 (tabel 2) kualitas infrastruktur Indonesia berada pada peringkat 82 dari 134 negara bandingkan dengan Malaysia yang berada di peringkat 23. Jenis kualitas infrastrukturyang memiliki peringkat terendah adalah kualitas infrastruktur pelabuhan berada pada peringkat 103 yang awalnya berada pada peringkat 95 di tahun 2009-2010 dan peringkat 96 di tahun 2010-2011. Kualitas pasokan listrikjuga mengalami penurunan peringkat sejak tahun 2009-2010 yaitu peringkat 96, 97 dan 98 di tahun 2011-2012.
Tabel 2. Ranking Kualitas Infrastruktur Indonesia
Sumber : WEF 2009-2010, 2010-2011, 2011-2012
Hasil penilaian Logistic Performance Index 2010 (tabel 3) , Indonesia mengalami penurunan peringkat dari peringkat ke 43 di tahun 2007 menjadi peringkat 75 di tahun 2010. Bila dibandingkan dengan kelompok negara berpendapatan rendah –sedang maka di tahun 2010 Indonesia berada pada posisi 8 diatas Paraguay dan Syrian yang sebelumnya di tahun 2007 berada pada posisi ke 4. Negara yang mengalami perbaikan posisi adalah Philipina yaitu dari posisi 6 menjadi 4. Seperti telah disampaikan diatas, bagi industri permasalahan yang muncul terkait dengan logistik adalah biaya logistik dan waktu kirim, adapun faktor-faktor lain penyebab tingginya biaya logistik antara lain (i) Teknologi informasi dan komunikasi yang kurang mendukung dalam proses pemantauan arus barang antar wilayah yang berpotensi meningkatnya biaya ,(ii) Sarana yang mahal dalam hal pengadaan alat angkut truk dan kapal laut (pajak dan suku bunga tinggi), (iii) Regulasi logistik yang tidak terpadu; tumpang tindih peraturan pusat –daerah, maraknya pungutan resmi di daerah, (iv) Kompetensi SDM logistik yang rendah, ,(v) Armada yang tidak layak tetap beroperasi.
Tabel 3. LPI 2007 dan 2010 Lower Middle Income countries
Source : Logistics Performance Index, 2007 & 2010
Kinerja logistik nasional menurut laporan Logistics Performance Index(LPI) 2010 belum mampu mengungguli negara-negara raksasa ekonomi dunia yang baru BRICS ataupun beberapa negara di Asean. Indonesia hanya unggul dengan negara Rusia. Indonesia jauh dibawah India , China, Brasil juga dengan Singapura , Malaysia dan Philipina (Tabel 4). Keadaan ini penyebab inefisiensi yang mendorong peningkatan biaya logistik. LPI mengukur kinerja logistik nasional dari efisiensi proses di kepabeanan, kualitas infrastruktur, biaya pengiriman yang kompetitif, kompetensi dan kualitas jasa logistik, kemampuan melacak dan menelusuri dan waktu tempuh.
Tabel 4. Kriteria Logistics Performance Index
Sumber : LPI, 2010
Kinerja Logistik nasional
Dibandingkan dengan negara negara Asean, biaya penanganan kontainer di Indonesia paling tinggi. Negara Indonesia adalahnegarakepulauantetapisebagianbesarprasaranaberada di darat tidak mendukung keterkaitan antar pulau hal ini menyebabkan biaya angkut antar kota atau antar pulau di Indonesia juga jauh lebih tinggi dibandingkan dengan dari Singapura keberbagai tujuan didalam negeri.
Untuk kontainer 20 kaki di pelabuhan Tanjung Priok tarifnya USS95, sementara Malaysia hanya US$88, Thailand US$63, dan dibayarkan dengan mata uang setempat, sementara di Indonesia harus dengan dollar AS. Biaya angkut antarkota atau antar pulau di Indonesia juga jauh lebih tinggi dibandingkan dengan dari Singapura ke berbagai tujuan didalam negeri. Sebagai contoh untuk rute yang sama, ongkos pengapalan kontainer dari Padang (Sumatera barat) ke Jakarta mencapai US$600, sedangkan dari Singapura ke Jakarta hanya US$185 (Kompas, 2010). Belum lagi setiap kapal yang melakukan bongkar muat di pelabuhan harus mengalokasikan dananya Rp 150 juta per hari. Ini semua yang menyebabkan performa logistik Indonesia semakin buruk.
Saat ini ongkos logistik di Indonesia berkisar 24%,bandingkan dengan Malaysia 15%, AmerikadanJepang 10%. 24% biaya logistik samadenganRp 1820 triliun, yang terdiri dari Biaya penyimpanan Rp 546 triliun, biaya transportasiRp 1092 triliun, biaya administrasiRp 182 triliun. Disamping itu mutu pelayanan logistik yang buruk (Mis;Waktujedabarang-barang impor itu bisa 5,5 hari, bandingkan dengan Amerika yang memiliki jeda waktu sekitar 1,2 hari, Rotterdam Belanda 1,1 hari, dan Singapura kurang dari 1 hari, biaya angkut ).
Kondis iakses jalan menuju dan dari pelabuhan Tanjung Priok selalu macet yang tidak pernah terselesaikan sehingga sangat sulit bagi perusahaan angkutan barang untuk mengoptimalkanutilisasi / perputaran kendaraannya, dimana rata ratautilisasi saat inihanya 0.7 trip per hari untuk jarak 100 km pulang pergi atau hanya dapat 17-18 rit sebulan bandingkan dengan sebelumnya bisa mencapai 25 trip /bulan. Biaya yang timbul di terminal terminal lingkungan pelabuhan tanjung priok , biaya resmi saat ini sangat mahal sekali dan meningkat secara progressive ( 200% – 500% kelipatannya ) belum lagi biaya tidak resmi yang harus dikeluarkan setiap proses muatbarang / kontainer.
Tabel 5 dibawah menunjukkan jarak, lead time dan biaya yang dikeluarkan untuk ekspor ataupun impor dari titik asal (point of origin) ke pelabuhan /airport tujuan (port or airport supply chain) atau dari titik asal (point of origin) ke gudang pembeli (land supply chain) . Dibandingkan dengan China, Singapura dan Malaysia, biaya ekspor di Indonesia masih termahal khususnya untuk biaya transportasi darat, untuk biaya impor Indonesia termahal untuk semua moda transportasi laut, udara dan darat. Indonesia masih lebih baik dibandingkan Rusia dan Brazil untuk seluruh moda transportasi.
Untuk kriteria lain yang ditunjukkan pada tabel 6, Indonesia juga masih kalah dengan negara-negara China, Singapura dan Malaysia, misalnya memenuhi kualitas pengiriman ataupun clearance time baik dengan inspeksi maupun tanpa inspeksi, Indonesia tertinggal oleh negara-negara lain kecuali Rusia.
Tabel 5. Time and Cost Data
Sumber : LPI, 2010
Tabel 6. Other Criteria
Sumber : LPI, 2010
Sistem Logistik Nasional
Pemerintah pada tahun 2012 sudah memiliki cetak biru Sistem Logistik nasional (Sislognas). Tujuan adanya cetak biru Sislognas pada intinya adalah peningkatan kemampuan dan daya saing agar berhasil dalam persaingan global. Tetapi bila ditelaah lebih jauh cetak biru Sislognas ternyata belum dapat menjawab persoalan logistik nasional saat ini yang mendasar dan komplek, disamping itu solusi yang ditawarkan pada cetak biru ini belum dapat menjelaskan hubungan secara langsung dengan peningkatan daya saing khususnya untuk jenis-jenis komoditas yang mana (perhatikan rencana aksi pada bab 5 yang tidak langsung menjawab kondisi yang diharapkan pada bab 3 secara rinci) masih diperlukan waktuuntuk menterjemahkannya di tingkat kementrian/lembaga juga pemerintah daerah. Beberapa catatan dari cetak biru Sislognas adalah:
1. Tidak tersedianya data terkini tentangkondisi riil seluruh infrastruktur dan kebutuhannya sampai 10 tahun mendatang guna melihat kesenjangandiseluruh wilayah terutama setelah dibukanya CAFTA 2010. Bila kesenjangan antara existing condition dan kebutuhan yang secara langsung berdampak pada kinerja logistikditunjukkan, akan memudahkan bagi lembaga/instansi baik pusat dan daerah menterjemahkan cetak biru ini.Kesenjangan yang dimaksud antara lain meliputi kapasitas, kondisi fasilitas,konektivitas, kualitas pelayanan (SDM,waktu pelayanan, hambatan),volume keluar masuk barang, aksesibilitas dan konektivitas. Maka perbaikan pada infrastruktur di suatu wilayah secara langsung dapat diukur dampaknya apakah terhadap pengurangan biaya logitik , waktu kirim ataupun waktu pelayanan, yang secara agregat dapat berpengaruh terhadap daya saing (perhatikan penilaian lembaga dunia tentang Logistics Performance Index dan Competitiveness Index). Misalnya Angkutan cargo laut Indonesia tidak cukup, apa yang akan dilakukan kedepan,pelayanan di kepabeanan atau bagaimana dengan pelabuhan-pelabuhan, rel KA, jalan darat yang ada, apa yang akan dilakukan untuk memperbaiki kinerja logistik secara agregat.
2. Tidak tampak aktivitas utama (Primary activities) secara lengkap dari seluruh komoditas penggerak utama, juga belum disebutkan secara tegas nama-nama komoditasnya, bagaimana pergerakannya selama ini, dimana hambatan, apa yang menyebabkan hambatan tersebut, bagaimana posisi diantara pesaing global, supply demand antar daerah/negara sehingga jelas strategi bersaing juga supporting activities seperti apa yang dibutuhkan untuk mendukung aktivitas utama. Seharusnya dari 6 penggerak utama , hanya butir 1 Komoditaspenggerak utama yang merupakan faktor penggerak utama, sedangkan butir 2-6 adalah penggerak pendukung yaitu Pelaku dan Penyedia Jasa Logistik;Infrastruktur Transportasi;Teknologi Informasi dan Komunikasi;Manajemen Sumber Daya Manusia;Regulasi dan Kebijakan. Ini sesuai dengan pendekatan Supply Chain Management.
Memperhatikan 2 (dua) point diatas maka harapan untuk menekan biaya logistik dan meningkatnya daya saing masih belum dapat direalisir dalam waktu dekat ini (1-2 tahun).
Kesimpulan:
1. Rendahnya daya saing produk-produk Indonesia salah satunya adalah tingginya biaya logistik dan lamanya waktu kirim. Hal tersebut merupakan permasalahan yang dihadapi oleh industri atau dunia usaha di Indonesia.
2. Prasarana logistik ada yang masih konvensional (Jalan, pelabuhan, dan hubungan antar moda) serta belum terbangunnya konektivitas antar satu lokasi dengan lokasi lainnya.Mayoritas menggunakan angkutan darat yang lebih mahal dari angkutan laut.
3. Faktor-faktor yang menyebabkan biaya logistik tinggi serta waktu kirim lama disamping infrastruktur dan konektivitas antara lain (i) Teknologi informasi dan komunikasi yang kurang mendukung dalam proses pemantauan arus barang antar wilayah ,(ii) Sarana yang mahal dalam hal pengadaan alat angkut truk dan kapal laut (pajak dan suku bunga tinggi), (iii) Regulasi logistik yang tidak terpadu; tumpang tindih peraturan pusat –daerah, maraknya pungutan resmi di daerah, (iv) Kompetensi SDM logistik yang rendah, ,(v) Banyaknya jumlah dokumen yang perlu dipersiapkan dan butuh waktu pada NSW, (v) Armada yang tidak layak tetap beroperasi.
4. Cetak biru Sislognas ternyata belum dapat menjawab persoalan logistik nasional yang mendasar dan komplek.Masih tataran konsep.
Rekomendasi:
1. Secara menyeluruh perlu pembenahan infrastruktur dan konektivitas (Physical , Institutional dan people to people).
2. Diperlukan re-evaluasi untuk hal-hal yang selama ini menjadi beban biaya logistik antara lain biaya antrian ke pelabuhan, biaya sewa gudang, rumitnya perijinan, kepengurusan di pabean dll
3. Pengadaan sarana logistik yang sebanding dengan negara ASEAN lainnya (bea masuk, pajak, dan suku bunga)
4. Penetapan leading sector logistik terpadu, agar tidak berjalan masing-masing antara kebutuhan pelaku ekonomi dan infrastruktur yang dibangun
5. Pengembangan logistik pantai dan pelabuhan.
6. Penghilangan peraturan daerah yang meningkatkan ongkos logistik.
7. Standarisasi umur kendaraan, keamanan, dan keselamatan.
8. Standarisasi kompetensi SDM logistik.
9. Pada cetak biru Sislognas masih diperlukan dokumen pendukung untuk menjabarkan secara lebih detail dan operasional dengan menggunakan data yang update serta terkait dengan MP3EI .
Daftar Referensi
1. Laporan LPI 2010
2. Laporan WEF, 2009-201, 2010-2011, 2011-2012
3. Peraturan Presiden nomor 26/2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional.
4. Swink “Managing Operations accross Supply Chain”, Mc Graw Hill, 2012
5. Wikipedia Ensiklopedi
6. Teman-teman diskusi MLI (Prof.Togar,Pak Rudy, Pak Trismawan, Pak Budhi, Pak Tarigan dll)