Oleh: Bortiandy Tobing, S.T., MMT. | Senior Consultant at Supply Chain
“Mengapa pelanggan memilih barang atau jasa yang ditawarkan perusahaan dan bukan yang ditawarkan pesaing?” Jawaban atas pertanyaan ini akan dapat memberikan pemahaman terhadap daya saing, yaitu bahwa pelanggan memilih produk atau jasa dengan alasan tertentu sebagai umpan balik (feedback) atas terpenuhinya sebahagian atau keseluruhan keinginan pelanggan dari produk atau jasa yang ditawarkan.
Dari penjelasan singkat di atas, daya saing dapat didefenisikan sebagai: keunggulan yang dimiliki oleh suatu perusahaan dari pesaingnya dengan memberikan nilai lebih kepada pelanggan, melalui harga produk yang lebih rendah atau manfaat tambahan/benefit dan layanan yang sebanding atau melebihi dengan harga yang ditawarkan.
Secara sederhana, persaingan dapat dilihat pada Gambar 1, yang menjelaskan keterkaitan 3 (tiga) komponen utama (three C’s) yang membentuk terjadinya persaingan, yaitu: perusahaan (company), pelanggan (costumer) dan pesaing (competitor). Dalam persaingan yang sangat ketat saat ini, paradigma bahwa produk dan layanan yang memiliki kualitas baik atau harga murah akan memiliki nilai jual sendiri (sales themselves), sudah tidak dapat diterima. Hal yang paling menentukan dalam memenangkan persaingan secara berkelanjutan adalah harga yang kompetitif dan nilai lebih yang diberikan (cost advantage and value advantage).
- Keunggulan Harga
Harga jual adalah faktor pertama yang menentukan pelanggan dalam menentukan pilihan produk atau jasa, namun bukanlah faktor yang utama. Dalam memenangkan persaingan, secara umum perusahaan menggunakan strategi harga murah dalam upaya menarik pelanggan. Strategi ini dilakukan dengan melakukan produksi dan penjualan dalam jumlah yang besar. Berdasarkan skala ekonomi (economies of scale) pada Gambar 2, semakin banyak produk yang dihasilkan (dijual), maka beban biaya tetap (fixed cost) untuk setiap produk akan semakin kecil. Berdasarkan teori ini, maka perusahaan menghasilkan produk atau layanan dalam jumlah yang cukup besar (mass production).
Akan tetapi, dengan perubahan pola perilaku pelanggan (customer behavior) saat ini yang semakin terkostumisasi, maka strategi persaingan melalui harga jual yang murah dengan jumlah produksi yang besar sudah tidak dapat dipertahankan. Keunggulan dalam harga bukan semata mengenai harga yang murah, tetapi kesesuaian harga dengan produk atau layanan yang diberikan. Startegi keunggulan melalui perang harga yang lebih murah akan menguras tenaga dan perhatian yang cukup besar dari setiap perusahaan yang berdampak pada penurunan mutu dari produk dan layanan yang diberikan kepada pelanggan.
Dalam hal ini, strategi perang harga akan berlaku pada pasar/pelanggan yang memiliki keterbatasan dalam pembiayaan. Untuk itu, perusahaan harus melakukan peningkatan produktivitas dan efisiensi pada seluruh aktivitas perusahaan, yang memberikan dampak signifikan terhadap pengurangan total biaya produksi/operasional per unit.
- Keunggulan Nilai
Dalam memilih produk atau layanan yang akan digunakan, pelanggan sesungguhnya tidak hanya membeli produk dan layanan tersebut tetapi manfaat (benefit) dari produk tersebut. Manfaat yang dapat diterima oleh pelanggan merupakan nilai lebih (value advantage) yang menjadikan pembeda antara produk atau jasa yang ditawarkan perusahaan dengan pesaing. Tanpa nilai lebih, maka produk atau jasa yang ditawarkan akan menjadi komoditas yang mudah untuk dibedakan dan pelanggan akan mencari perusahaan yang mampu menawarkan harga paling murah.
Keunggulan nilai dalam industry logistik dapat dikelompokkan pada 4 (empat) variabel, yaitu:
- Kepercayaan (Trust): Badan Hukum Perusahaan, Reputasi Perusahaan, Perjanjian Kerjasama/ MOU yang jelas, Informasi layanan yang jelas dan rinci, Kerahasiaan Informasi Pelanggan
- Komitmen (Commitment): Ketepatan waktu pengiriman (on time delivery), Jaminan Keamanan Produk (delivered in good condition/safety), Sistem Pelacakan (tracking system)
- Penghargaan (Respect): Response atas Pelanggan (Responsiveness), Diskusi dalam pengajuan perubahan harga, Database Informasi Pelanggan.
- Nilai tambah lainnya, yaitu: Fleksibilitas (Order, Layanan Pelanggan, Jangkauan Pelayanan, Proses Penagihan/term of payment flexibility), Integrasi Bisnis, Ramah Lingkungan (environmental friendliness)
Keunggulan nilai ini tidak dapat diraih dalam waktu sesaat dan membutuhkan kemampuan perusahaan dalam menganalisa dan menetapkan segmen pasar. Pelanggan yang telah tersegmentasi, membutuhkan perlakuan yang berbeda untuk manfaat yang berbeda.
Daya saing yang berkesinambungan, akan dicapai bila perusahaan secara konsisten dan efektif melakukan produktivitas dan efisiensi dalam mencapai dalam mencapai keunggulan biaya dan secara konsisten membangun nilai lebih melalui strategi service excellence. Komitmen dan kerja keras dalam mencapai keunggulan harga dan keunggulan nilai akan menempatkan perusahaan pada kuadran Cost and Service Leader, pada sudut kanan atas matriks Logistik dan Daya Saing pada Gambar 3.
Pada akhirnya, kemampuan perusahaan dalam bersaing, bukan semata mengenai harga yang murah atau nilai yang ditawarkan, tetapi yang paling utama adalah bagaimana menghasilkan margin yang baik dalam perjalanan perusahaan.
Daya Saing Industri Logistik Nasional Menuju Masyarakat Ekonomi (MEA)
Sebagai negara kepulauan (archipelago), yang terdiri lebih dari 17.000 pulau menjadikan sistem dan bisnis logistik Indonesia memiliki karakteristik sendiri, termasuk biaya logistik yang disebut tinggi. Tingginya biaya logistik nasional saat ini, tidak serta-merta menjadikan daya saing industri logistik nasional melemah dan juga tidak serta-merta memberikan arti bahwa Industri/perusahaan logistik nasional yang tidak efisien.
Karakteristik “think globally, act locally” yang melekat pada industry logistik menjadikan sektor ini berbeda dengan industry lainnya. Dengan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir 2015 dan dengan melihat analisa berbagai pengamat, tidak menjadikan kekhawatiran yang berlebihan terhadap daya saing industry logistik nasional. Investor dari negara anggota ASEAN yang akan bersaing dalam industry
logistik tetap akan menggunakan infrastruktur yang sama, waktu tempuh yang sama, dwelling time yang sama, birokrasi dan regulasi yang sama. Namun demikian, pemberlakukan MEA tetap memberikan ancaman terhadap industry logistik nasional. Lima (5) faktor yang harus mendapat perhatian dari pelaku industry logistik, asosiasi dan pemerintah adalah:
- Produktivitas tenaga kerja
Produktivitas tenaga kerja merupakan salah satu faktor yang paling menentukan dalam harga jual yang ditawarkan. Berdasarkan analisa dan pendapat para ahli, menyatakan bahwa negara kita mengalami kekurangan SDM yang berkualitas dalam sektor logistik. Dan bila diukur berdasarkan PDB, (produk domestik bruto) per tenaga kerja, maka Indonesia berada di urutan ke-5 di antara Negara-negara ASEAN (1. Brunei Darussalam=US$ 92.300/tenaga kerja, 2. Singapura=US$92.000/tenaga kerja, 3. Malaysia=US$ 33.300/tenga kerja, 4. Thailand=USD$ 15.400/tenaga kerja, 5. Indonesia=US$ 9.500/tenaga kerja, 6. Filipina=US$ 9.200/tenaga kerja, 7. Vietnam=US$ 5.500/tenaga kerja, 8. Laos= US$ 5.000/tenaga kerja, 9. Kamboja=US$ 3.600/tenaga kerja, dan 10. Myanmar=US$ 3.400/tenaga kerja – Vincent Gasperz, 2014 (Dok. Pribadi) Diolah dari berbagai Laporan (Sumber)). Namun yang menjadi pertanyaan, apakah dengan masuknya tenaga kerja yang lebih berkualitas dari negara anggota ASEAN akan mampu mempersingkat sistem birokrasi logistik dan tidak serta-merta dapat melakukan penurunan biaya operasional perusahaan.
Pelaku industry logistik nasional harus tetap melakukan pembinaan dan peningkatan kompetensi tenaga kerja secara berkelanjutan melalui berbagai pelatihan yang disesuaikan dengan karakteristik pada masing-masing wilayah.
- Upah Tenaga Kerja
Dalam kaitan upah tenaga kerja, upah minimum Indonesia termasuk yang tinggi di ASEAN. berdasarkan hasil survei JETRO (Japan External Trade Organization) pada 2013, besaran upah minimum di Indonesia saat ini tercatat sebagai yang terbesar ketiga di ASEAN, dengan angka rata-rata US$ 226 per pekerja per bulan (1. Singapura=USD$406/bulan, 2. Malaysia=USD$300/bulan, 3. Indonesia=USD$226/bulan, 4. Filipina=USD$200/bulan, 5. Thailand=USD$197/bulan, 6. Vietnam= USD$113/bulan, 7. Myanmar=USD$112/bulan, 8. Laos=US$78/bulan, 9. Kamboja=USD$64/bulan – Vincent Gasperz, 2014). Dengan posisi upah tenaga kerja Indonesia berada pada urutan ketiga, di bawah Singapura dan Malaysia, hal ini justru dapat menjadi ancaman yang cukup serius terhadap ketersediaan tenaga kerja logistik nasional. Bukan hal yang tidak mungkin, untuk beberapa tahun ke depan perusahaan logistik nasional akan kesulitan untuk mencari tenaga kerja pengemudi, pekerja gudang, maupun tenaga kerja professional lainnya.
Disisi lain, upah tenaga kerja Indonesia yang lebih tinggi dari beberapa negara anggota ASEAN lainnya menjadi daya tarik negara tersebut untuk masuk ke Indonesia. Akan tetapi, karakteristik industry logistik membutuhkan tenaga kerja yang memiliki kedekatan dengan budaya lokal.
Catatan dalam hal ini, bahwa penggunaan tenaga kerja local dan asing harus dapat memberikan peningkatan produktivitas yang signifikan melalui harga jual yang lebih kompetitif.
- Pajak Badan Usaha (Coporate Tax)
Berdasarkan Undang-undang corporate tax atau PPh badan berlaku tarif progresif dari 5% hingga 30% (di atas 500 juta). Dalam hal ini, Indonesia berada diurutan terakhir bersama dengan Philipina (1. Singapura=17%, 2. Thailand, Kamboja, dan Myanmar=20%, 5. Brunei Darussalam dan Vietnam = 22%, 7. Laos=24%, 8. Malaysia=25%, 9&10. Indonesia dan Philipina – Vincent Gasperz, 2014).
Besaran tarif ini menjadikan pelaku logistik nasional memiliki kelemahan dalam penetapan harga jual layanan. Berdasarkan Model Kriteria Bisnis Sehat di Indonesia pada Gambar 4, dapat terlihat, bahwa dengan kondisi ketidakpastian bisnis yang tinggi, setiap perusahaan nasional harus dapat meraih keuntungan sebesar 25% pertahun, dimana 7.5% dari keuntungan tersebut digunakan untuk pembayaran PPh sebesar 30%.
- Suku Bunga (interest rate)
Suku bunga (interest rate) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar 7.5% per masih cukup tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN (1. Singapura 0.21%, 2. Kamboja 1.42%, 3. Thailand 2%, 4. Malaysia 3%, 5. Filipina 3,5%, 6. Laos 5%, 7. Brunei 5,5%, 8. Vietnam 6,5%, 9. Indonesia 7,5%, dan 10. Myanmar 10% – Vincent Gasperz, 2014). Sedangkan untuk suku bunga pinjaman komersial sekarang di Indonesia telah mencapai 16% per tahun.
Hal ini tentunya sangat mempengaruhi seluruh pelaku usaha nasional dalam memasuki MEA 2015. Berdasarkan Model Kriteria Bisnis Sehat di Indonesia pada Gambar 4, besarnya beban bunga pinjaman yang harus dibayar perusahaan akan mempengaruhi total biaya operasional yang berdampak pada harga jual kepada pelanggan. Sementara, dengan rendahnya suku bunga pinjaman pada negara-negara ASEAN lainnya, merupakan keunggulan bagi perusahaan ASEAN yang akan melakukan investasi di berbagai sektor di negara kita.
- Integrasi Bisnis
Ancaman yang sangat besar dalam memasuki MEA adalah masuknya berbagai produk konsumsi dan elektronik dari berbagai negara ASEAN, dengan harga dan kualitas yang sangat kompetitif, yang mengancam industry manufaktur nasional. Namun dari sektor logistik akan berbeda. Setiap barang yang masuk ke Indonesia, tentunya tetap akan membutuhkan jasa logistik lokal (transportasi, pergudangan dan distribusi), untuk memastikan seluruh barang/produk tersebut sampai kepada konsumen.
Hal yang perlu diantisipasi oleh pelaku logistik nasional adalah pengembangan pola integrasi bisnis yang dilakukan oleh pengusaha dari negara ASEAN, dengan menggunakan perusahaan logistik yang memiliki saham warga negara mereka, seperti yang sering diberlakukan oleh perusahaan Jepang yang ada di negara asalnya dan yang ada di Indonesia. Integrasi bisnis dalam seluruh sektor logistik merupakan kunci daya saing industry logistik nasional, yang tidak saja memberi nilai tambah, tetapi juga mampu memberikan keunggulan harga jual.
Membangun daya saing yang berkelanjutan, bukanlah proses yang instan dan mudah. Negara-negara maju seperti Singapura, Jepang, Finlandia dan Amerika Serikat telah melakukannya dalam waktu dan sumber daya yang lama yang didukung secara konsisten oleh pemerintah. MAE sudah di depan mata, namun bukan menjadi alasan bagi pelaku usaha untuk mengeluh dan berdiam diri, khususnya industry logistik. Peluang, tantang dan kesempatan masih terbuka bagi pelaku usaha yang terus berbenah diri dan meningkatkan daya saingnya.