Oleh: Rudy Sangian | Senior Consultant at Supply Chain Indonesia
Infrastruktur dan regulasi pelabuhan yang baik adalah salah satu faktor yang bisa memajukan perekonomian di Indonesia, apalagi Indonesia terdiri dari banyak kepulauan.
SEJARAH PELABUHAN INDONESIA
Sejak dari zaman dahulu kala, kekayaan rempah-rempah kawasan Nusantara Indonesia ini sudah menjadi rebutan dunia.
Sepanjang sejarah dan ratusan tahun lamanya bangsa Indonesia hampir tidak pernah bisa menikmati kekayaan alamnya sekalipun sudah merdeka, bahkan dizaman sekarang, pelabuhan kita kurang mendapat peluang untuk dikembangkan dengan menggunakan dana pemerintah.
Dana APBN 2015 yang dimiliki pemerintah tidak akan bisa membiayai proyek pemutakhiran pelabuhan, yang akhirnya pelabuhan kita itu terkondisi sedemikian rupa, sehingga harus di-strategi-kan melalui kerjasama dengan Pihak Asing sampai 72 tahun.
SEJARAH REGULASI PELABUHAN
Kebutuhan sumber daya manusia untuk mengolah jumlah pelabuhan di Indonesia saat ini sekitar 1241 pelabuhan dikurangi dengan 112 pelabuhan yang dikelola oleh BUMN Operator Pelabuhan itu lalu dikurangi lagi dengan yang dikelola oleh pihak ketiga sebagai TUKS (Terminal Untuk Kepentingan Sendiri) dan TERSUS (Terminal Khusus) maka masih dirasakan pengetahuan teknis manajerial pengelolaan pelabuhan serta pengetahuan bagaimana memasarkan pelabuhan bagi pelaku usaha domestik dan internasional itu.
Pada saat sekarang ini, pemerintah sebagai regulator seharusnya lebih memahami regulasi yang akan dibuat, sehingga bisa lebih bisa memajukan perekonomian di Indonesia dan para pebisnis logistik di Indonesia.
SEJARAH LAYANAN SATU ATAP
Di masa lalu ada yang disebut dengan Sekber (sekretariat bersama), lalu berkembang di ranah operator pelabuhan menjadi PPSA (pusat pelayanan satu atap). Sewaktu Pelni masih berjaya masih ada layanan satu atap tetapi sejak Inpres No. 4/1985 pelayanan satu atap ini ditiadakan yang tujuannya adalah menurunkan biaya logistik untuk meningkatkan ekspor komoditi non-migas.
DWELLING TIME
Dwelling time di Pelabuhan Priok saat ini menyatakan bahwa 4 atau 5 hari berdasarkan metodologi pre-clearance dan post-clearance.
Dalam mengulas dwelling time saya mengolah perhitungan berdasarkan proyeksi produksi bongkar muat maksimum 7 juta TEUS yang dicapai Priok selama 360 hari kerja dengan kemampuan menahan/ mengendapkan barang di lini I quay yard Priok sebesar 152.3 Ha; menghasilkan perhitungan dwelling time selama 14 hari.
Sudut pandang berbagai konsultan asing menggunakan metodologi PDB (produk domestik bruto) dan berdasarkan sumber data BPS (biro pusat statistik), yang mana BPS mengolahnya dari sumber berkas-berkas data pertinggal yang disampaikan dari pelabuhan ke BPS dan akhirnya menghasilkan biaya logistik sebesar 30% sementara negara-negara di Asean hanya 10% dengan pencapaian dwelling time yang singkat kata beberapa konsultan asing tersebut.
Mari kita simulasi kesejajarannya:
- Dwelling time di Indonesia: 14 hari equivalent toPDB mendekati 30%
- Dwelling time negara-negara Asean: 2 hari equivalent toPDB maksimum 10%
Jika mengikuti perhitungan dwelling time saat ini 4 atau 5 hari maka produksi bongkar muat yang dicapai per tahun (360 hari kerja) dengan kekuatan 152.3 Ha lini I quay yard Priok itu akan mencapai angka 19.489.464 TEUS dibulatkan menjadi 20 juta TEUS dan sudah melebihi angka produksi tahunan Priok sebesar 7 juta TEUS.
Download Artikel ini:
Pelabuhan dan Dwelling Time (438.6 KiB, 1,855 hits)