Oleh: Bambang Setia Gunawan | Ketua Kompartemen Maritim DPP ALFI/ILFA
Transportasi laut di Indonesia masih menjadi program pemerintah yang normatifnya dapat mengurangi disparitas harga antar daerah dan pengembangan suatu daerah.
Namun sayangnya transportasi laut ini banyak kalangan yang masih khawatir mengenai pulang/pergi kapal yang ketika kepergian kapal dengan muatan penuh dan kepulangan kapal dalam keadaan kosong. Terutama mereka yang belum menyelami industri kapal breakbulk. Perlu dicatat bahwa market kapal kontainer sangat berbeda dengan market kapal breakbulk.
Dalam pengoperasian kapal ada beberapa pola shipment yang biasa digunakan dalam perjalanannya yaitu:
- Liner breakbulk
Merupakan pola perjalanan kapal yang melalui rute yang tetap dengan waktu yang terjadwal. Liner breakbulk biasanya berlaku pada kapal-kapal kontainer dan rute pelabuhannya selalu sama dari waktu ke waktu, baik untuk pelabuhan muat ataupun pelabuhan bongkar. Jadwal kedatangan dan keberangkatan kapal pun dibuat “fixed”. “Fixed schedule” dapat menjadi “nilai jual” kapal-kapal breakbulk yang melayani liner. Model seperti ini mengikuti pola kapal-kapal kontainer, akan tetapi kapal breakbulk masih bias ada fleksibilitas untuk “deviasi” bergantung pada “port inducement” dan hitungan freight-nya.
Mekanisme “costing” voyage-nya bergantung pada pelayarannya, sebagai contoh: pelabuhan yang disinggahi kapal untuk tujuan Belawan, Batam, Tanjung Priok, Makassar, dan Sorong ketika kapal berada di pelabuhan pemberhentian terakhir di pelabuhan singgah Sorong, dianggap 1 (satu) voyage. Jadi kapal keberangkatan dan singgah di 5 (lima) pelabuhan tersebut dianggap 1 (satu) voyage, 1 (satu) voyage hanya dihitung untuk kepergian kapal saja, sedangkan untuk kepulangan kapal dianggap voyage ke-2, sehingga, kalau menggunakan kapal Pelni dengan tol laut maka kepergian kapal (voyage 1) akan mendapatkan keuntungan yang terus menerus karena kemungkinan akan selalu ada muatan, akan tetapi kepulangan kapal (voyage 2) bisa merugi, karena minim muatan atau bahkan kosong.
Namun, bisa pula hitungan voyage pulang/pergi, misalnya: kapal berlayar dari Belawan, Batam, Tanjung Priok, Makassar, dan Sorong, kemudian kembali lagi ke pelabuhan yang disinggahi tadi yaitu dari Sorong, Makassar, Tanjung Priok, Batam, dan berujung di Belawan, sehingga hitungan costing dalam 1 (satu) voyage ada 9 pelabuhan yang disinggahi. Costing voyage untuk tipe seperti ini lebih mencerminkan income/revenue pelayaran, apakah kronologis pelayaran dalam 1 (satu) voyage itu untung/rugi, dan model hitungan costing voyage pulang/pergi seperti ini juga memungkinkan untuk menghitung kepastian profit.
- Tramper kapal breakbulk (khususnya non kontainer)
Merupakan pola perjalanan kapal yang melalui rute yang cenderung tidak tetap atau berdasarkan spot tertentu menuju spot lain yang memiliki prospek barang atau kargo untuk diangkut.
Pengapalan voyage ada 2 tipe, yaitu:
1.Tipe “Competitive Market”
Pada tipe ini kapal betul-betul mencari cargo spot yang di market, terutama untuk cargo-cargo spot yang “open” dekat dengan pelabuhan terakhir untuk kapal bongkar, jadi menjual space kapalnya dilakukan saat kapal selesai membawa muatan menuju pelabuhan terakhir, marketing owner kapal sudah sounding, kapalnya open ke seluruh penyewa (stakeholder), kondisi costing dan freight nya pun tidak pernah sama dari waktu ke waktu, bergantung jauhnya jarak yang akan ditempuh, dan bergantung pada hal-hal lainnya termasuk market kapal/market kargo yang berlaku pada saat itu.
2.Tipe COA (Contract of Affreigment)
Tipe COA bisa kita sebut juga dengan kontrak volume. Misalnya 10 juta ton coal dari Kalimantan Selatan ke Suralaya sekali muat 50.000 ton, sehingga hitungan pengapalannya 10 juta/50.000 ton = 200 kali. Kotrak pengapalan yang dilakukan sebanyak 200 kali tersebut dapat selesai pengapalan dalam 3 tahun, tinggal dibagi saja setahun berapa kali bisa melakukan pengapalan. Dengan seringnya shipowner mendapatkan kontrak volume dan jangka panjang seperti ini, maka shipowner dapat membeli kapal yang didedikasikan khusus untuk angkutan tersebut.
Untuk kepergian kapal berlayar dari Kalimantan Selatan ke Suralaya dengan kapal penuh muatan, sedangkan untuk kepulangan kapal dari Suralaya ke Kalimantan Selatan selalu kosong.
Normatifnya hitungan (costing) “satu voyage” adalah pergi menuju pelabuhan bongkar muatan setelah kapal bongkar dan balik kembali ke pelabuhan muat. Misalnya freight-nya (uang tambang) USD 9.00 pmt, maka freight yang USD 9.00 pmt itu berlaku dalam tiga tahun, untuk tiap pengapalan 50.000 ton. Jika kita bagi 200 dengan tiga tahun, maka ada kisaran 67 kali pengapalan dalam satu tahun atau 67 dibagi 12 bulan, artinya dalam sebulan ada kisaran enam kali pengapalan.
Pegapalan denga COA ini yang diincar oleh Pemilik Kapal, karena dengan demikian mereka bisa berhitung untuk menambah “armada baru”. Harga freight (uang tambang bisa dikunci dan darisisi Penyewa harga tersebut bisa dikatakan lebih kompetitive, dan tidak merepotkan ketimbang Penyewa setiap kali pengapalan 50.000 ton Penyewa mesti mencari kapal, dengan shipowner yang berbeda-beda dari waktu ke waktu.
Harga freight hanya bisa berubah menyesuaikan dengan harga bahan bakar minyak kita sebut “bunker adjustment factor”.
- Semi Liner
Merupakan pola perjalanan kapal gabungan antara liner dan tramper yang memiliki rute yang tetap sama seperti liner tetapi pada pelaksanaanya dimungkinkan untuk melakukan pola tramping yang tidak tetap bila menguntungkan dan bila perjalanan tersebut sudah selesai akan kembali lagi ke pola liner yang semula.
Role model yang menggabungkan angkutan laut dan kecepatan bongkar/muat (kontainer) ketika kapal bersandar adalah membuat list order yang dibuat untuk para pengusaha kapal.
Costing model yang sering digunakan oleh pelayaran dari sisi cost structure yang memungkinkan feasible apabila kapal pulang/pergi, walaupun pergi ada muatan dan pulang dalam keadaan kosong sebenarnyaa bisa saja tetap mendapatkan profit khususnya untuk pengapalan non kontainer, seperti angkutan hewan/ternak. Ini yang dilakukan jika kita impor sapi dari Australia atau New Zealand dipastikan perginya penuh muatan, namun kembali kosong muatan.
Khusus untuk tol laut Pelni, proyek tersebut dilaksanakan oleh Pemerintah karena untuk menghidupkan wilayah-wilayah yang minus komoditi yang tadinya relative tertutup, khususnya untuk arus komoditi primer yang dapat di supply dalam jumlah yang mencukupi dengan meningkatkan kedatangan kapal-kapal Pelni maka dapat meningkatkan kestabilan arus komoditi dan menghidupkan perdagangan, sehingga ke depan lambat laun dapat memajukan satu industri tertentu di daerah tertinggal tersebut.
Port Follow the Trade bisa berjalan dengan baik, jika memang basis pelabuhan/port tempat kapal sandar adalah port/pelabuhan yang memang industrialisasinya aktif dan telah berjalan, misalnya rute Batam – Singapura. Kedua wilayah itu pada tahun 2000, industrialisasi telah ada dan aktif dengan intensitas yg tinggi. Sehingga ketika dibuka rute linear kapal kontainer, maka pihak swasta pun terbuka peluang untuk mendapatkan profit dan sangat memungkinkan kargo pulang/perginya.
Salah satu solusi untuk menghidupkan industri di wilayah tertinggal adalah dengan adanya kestabilan pasokan komoditi di wilayah minus, meskipun belum tentu ada kargo balik dari wilayah tertinggal tersebut. Jadi proyek Tol Laut, adalah “trigger” untuk pengembangan industrialisasi di wilayah tertinggal.
28 Januari 2016.
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan/atau sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis, serta tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.
Download Artikel ini: SCI-Artikel Pemilihan Pola Shipment dalam Transportasi Laut (758.6 KiB, 485 hits)