Oleh: Bambang S. Gunawan
Ketua Kompartemen Maritim | DPP Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia
Pada satu seminar atau FGD di mana para praktisi dan akademisi sedang berbicara di sana, penulis mendengar ada yang mengatakan “ship follow the trade” dan “ship promote the trade”. Yang mana duluan, nih?
Pada kesempatan ini, penulis ingin mendudukkan secara tepat istilah “ship follow the trade” karena persepsi kita sebagai orang Indonesia seringkali belum tepat dalam mendudukkan istilah tersebut.
Kapal, khususnya kapal bulk carrier (baik itu dry bulker maupun liquid bulk carrier atau kapal tanker) secara normatif selalu “manut” atau “patuh” dengan penyewanya (charterer).
Mengapa demikian? Charterer yang membayar “freight” kapal, sehingga siapa yang membayar “freight” kapal berkuasa menentukan arah atau tujuan pelayaran kapal. Misalnya, saya sebagai charterer menentukan kapal ke Tianjin, China, ya kapal akan ke sana… atau ke Mundra, India, ya kapal akan ke sana, tidak akan berbelok-belok ke tempat lain.
Yang dimaksud dengan “ship follow the trade” adalah kapal akan bergerak sesuai dengan perintah charterer. Artinya, pemilik kapal akan tunduk kepada siapa yang membayar “freight”. Gambaran kasar yang dimaksud dengan “ship follow the trade” ya seperti itu. Istilah itu sudah ratusan tahun yang lalu berlaku dan digaung-gaungkan terutama di negara asalnya yang dikenal luas oleh orang-orang maritim di seluruh dunia, yaitu Inggris.
Tidak akan pernah berubah istilah “ship follow the trade” menjadi “ship promote the trade”. Tampaknya hanya orang Indonesia saja yang mengubah istilah itu (mungkin karena “gagal paham” dengan istilah-istilah dalam dunia maritim).
penulis juga mendengar istilah baru yang dibuat akademisi/praktisi maritim pada suatu seminar: “port follow the trade”. Ingat lho ada kata “follow” di sana. Yang namanya “follow” itu secara harfiah berarti bergerak/dinamis. Kapal ya mestinya bisa bergerak. “Ship follow the trade”, kapal memang bisa “ikut” trade yang dilakukan oleh si penyewanya. Namun, kalau “port follow the trade”, pertanyaannya: “port” mana yang bisa bergerak?
Kok bisa saja ya orang kita buat-buat istilah baru? Ya begitulah kalau gagal paham, jadi buat-buat deh istilah sendiri.
Poros Maritim Dunia
Nah, lalu bagaimana dengan istilah “Poros Maritim Dunia”? penulis tergelitik membahas perihal “Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia”. Kita mestinya sepakat dulu mengenai definisi “Poros Maritim Dunia”, jangan nanti dibilang “gagal paham” lagi dengan istilah-istilah dalam dunia maritim.
Begini menurut penulis… beropini boleh dong….
Bahwa kalau Indonesia ingin menjadi “Poros Maritim Dunia”, ya kita orang-orang Indonesia mesti “kontrol” kapal dong…. Kita mesti menguasai dunia maritim, terutama maritim niaga atau maritim komersial, dengan begitu baru bisa dikatakan “Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia”
Jadi, menurut opini penulis, kalau kita orang-orang Indonesia ingin negeri kita ini menjadi “Poros Maritim Dunia”, ya kita harus kontrol kapal-kapal yang ada di dunia, terutama kapal-kapal asing yang “berseliweran” berlayar di perairan Indonesia dan sekitarnya.
Sederhana saja, pertanyaan penulis: “Bagaimana mau kontrol kapal, jika aktivitas perdagangan (trading) suatu komoditas selalu jualan ekspornya dengan FOB dan beli impornya dengan CIF?”.
Seharusnya, untuk mengontrol kapal-kapal tersebut, yang harus dilakukan:
- Jualan komoditas dengan CIF (ekspor dengan CIF)
- Beli komoditas dengan FOB (impor dengan FOB).
Jika dua hal di atas telah kita lakukan, maka jadi deh kita bisa kontrol kapal-kapal yang berseliweran di dunia, termasuk kapal-kapal asing. Kok bisa? Ya, karena kita kan yang membayar “freight”-nya.
Pada saat ini, mampu nggak kita melakukan dua hal itu? Jawabnya: belum. Dari mana kita melihatnya? Salah satunya dari penundaan implementasi Permendag No. 82 tentang Ketentuan Penggunaan Angkutan Laut dan Asuransi Nasional untuk Ekspor dan Impor Barang Tertentu.
Perjalanan menuju “Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia” tidaklah mudah. Butuh waktu, butuh wacana, butuh banyak seminar dan FGD, butuh banyak edukasi, butuh modal, butuh SDM yang berkomitmen, butuh banyak orang-orang yang sebaiknya tidak “gagal paham”… Mohon maaf kalau ada yang tersinggung….
Permendag No. 82 Tahun 2017 itu masih perlu “penyempurnaan” lagi. Di sana yang berperan sangat penting adalah perusahaan pelayaran nasional dan perusahaan asuransi. Yang penulis lebih soroti adalah perusahaan pelayaran nasionalnya dari pada perusahaan asuransinya.
Berkenaan dengan Permendag tersebut, kebetulan kami dari Asosiasi beberapa kali mengikuti pertemuan dan berdialog dengan pihak Kementerian Perdagangan yang membidangi Permendag ini. Yang bersangkutan mengatakan bahwa Permendag ini adalah “perwujudan” dari Paket Kebijakan Ekonomi XV.
Jasa Terkait Angkutan di Perairan
Apakah mesti se-”saklek” itu, sehingga mesti perusahaan pelayaran nasional yang berperan dalam “mengapalkan” dua komoditas unggulan Indonesia yang disebutkan dalam Permendag itu, yaitu batubara dan CPO?
Kan sudah ada UU Pelayaran No. 17 Tahun 2008 yang pada Pasal 31 menyebutkan tentang “Jasa Terkait Angkutan di Perairan”. Jadi, mengapa mereka yang bermain di sektor angkutan perairan (maritim) tidak diikutsertakan?
Sekarang penulis bertanya ke pembaca sekalian, kalau kapal itu akan sandar di pelabuhan:
- butuh atau tidak perusahaan PBM?
- butuh atau tidak perusahaan keagenan?
Sebagai contoh, satu shipowner lokal yang punya muatan kargo lokal yang akan diekspor butuh kapal asing pasti mereka akan menghubungi “shipbroker”. Untuk tujuan ekspor dibutuhkan kapal berukuran besar yang belum tentu ada di dalam negeri, jadi ya mesti menggunakan kapal berbendera asing. Jadi untuk tujuan ekspor tidak terkena “Azas Cabotage”.
Nah, penulis ingin menunjukkan kepada para pembaca bahwa perusahaan pelayaran tidak mungkin bisa bekerja sendirian. Mereka pasti butuh peranan beberapa perusahaan lain yang termaktub pada Pasal 31 UU Pelayaran tersebut.
Kalau mau unggul di sektor maritim sebaiknya tidak “single fighter”, namun saling bahu-membahu, sehingga “Usaha Jasa Terkait Angkutan di Perairan” sebagaimana dimaksud dalam UU Pelayaran itu tidak hanya menjadi “penonton” dan “penggembira” dalam implementasi Permendag No. 82 Tahun 2017 tersebut.
Banyak yang bertanya dan meragukan: jika Permendag itu dijalankan, kapalnya ada atau tidak? Apakah perusahaan pelayaran nasional sanggup mendatangkan kapal-kapal yang mengangkut ekspor batubara di kisaran 300 juta ton dan ekspor CPO di kisaran 35 juta ton per tahun?
Jika “single fighter”, penulis bisa pastikan mereka “tidak akan sanggup. Apalagi pada kondisi saat ini di mana jumlah armada lokal masih jauh dari harapan. Pasti perusahaan pelayaran nasiona akan menyewa kapal-kapal bendera asing.
Nah, kalau akan menyewa kapal asing atau membeli kapal, mereka akan menghubungi dan menggunakan jasa “shipbrokers”. Shipbrokers mana yang mereka pakai? Kebanyakan mereka memakai jasa shipbroker asing (luar negeri). Para pembaca yang budiman boleh cek deh…
Namun, kan ada jasa “shipbrokers” yang telah termaktub pada Pasal 31 UU Pelayaran – “Jasa Terkait Angkutan di Perairan”… kok jasanya tidak digunakan? Ini kan jasa dalam negeri, perusahaan jasa nasional, ayo dong dikaryakan….
Jika shipbrokers lokal hidup, artinya bisa menghidupkan perusahaan nasional atau domestik. Ketika perusahaan domestik hidup, maka akan terjadi penyerapan tenaga kerja. Ketika ada penyerapan tenaga kerja, akan terjadi peningkatan daya beli. Jika terjadi peningkatan daya beli, maka ekonomi tumbuh dan tentunya pemasukan pemerintah di sektor pajak pun akan bertambah.
Menurut penulis ada dua cara agar Permendag No. 82 Tahun 2017 bisa berjalan dengan baik:
- Semua eksportir komoditas batubara dan CPO boleh/dapat bernegosiasi langsung dengan pihak-pihak yang bisa mendatangkan kapal. Perlu diingat bahwa komoditas ekspor tidak terkena “Azas Cabotage”, sehingga kapal asing boleh mengangkut dua komoditas tersebut. Terus siapa-siapa pihak yang bisa mendatangkan kapalnya? Mereka itu bisa perusahaan pelayaran nasional, shipbrokers nasional, atau freight forwarder
Yang penting adalah eksportir boleh nego langsung dengan para stakeholders yang termaktub pada Pasal 31 UU Pelayaran No. 17 tahun 2008. Jadi, perusahaan pelayaran nasional tidak single fighter, toh masih ada usaha lain yang bisa mendatangkan kapal. Sekali lagi, kargo ekspor tidak mesti dengan kapal berbendera Indonesia, asalkan “freight”-nya kompetitif. Kenapa tidak? - Kita “aware” kalau jumlah armada nasional saat ini sangat jauh dari mencukupi untuk membeli kapal berukuran sebesar itu dan spesifikasi angkutan CPO juga butuh kapal dengan spesifikasi teknis yang tinggi, sehingga butuh investasi yang besar. Jadi, di awal Permendag ini opsinya adalah menyewa kapal-kapal berbendera asing dalam jumlah besar.Kita di sini bicara “kue ekonomi”… bahwa sebaiknya “kue ekonomi” tidak di-”boyong” oleh asing semua, sehingga sebaiknya digunakan jasa angkutan perairan nasional yang termaktub pada Pasal 31 UU Pelayaran yang memang membidangi sewa-menyewa dan jual-beli kapal.
Pepatah mengatakan “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”, sehingga kita tepis ego sektoral, sama-sama saling bahu-membahu untuk menyukseskan implementasi Permendag No. 82 Tahun 2017.
Saya mengingatkan sekali lagi bahwa jika Indonesia ingin menjadi “Poros Maritim Dunia”, maka dua hal yang harus dilakukan: jika ekspor dengan CIF dan impor dengan FOB.
Jakarta, 3 Maret 2018.
*Isi artikel merupakan pemikiran penulisdan/atau sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis, serta tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.
Download artikel ini:
Artikel SCI - Poros Maritim Dunia dan Penggunaan Jasa Terkait Angkutan di Perairan (694.9 KiB, 240 hits)