Potensi Green Supply Chain Management untuk
Menurunkan Biaya Logistik Nasional
Dr. Ir. Agus Purnomo, MT.
(Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Logistik /STIMLOG PT Pos Indonesia)
1. Pendahuluan
Saat ini, pencemaran lingkungan merupakan masalah utama yang memiliki potensi untuk mengakibatkan kepunahan umat manusia di bumi jika tidak segera diatasi. Dari berbagai jenis polusi, polusi udara adalah salah satu yang membutuhkan perhatian segera. Pemanasan global yang mengakibatkan peningkatan jumlah gas rumah kaca di udara adalah masalah yang paling parah dihadapi manusia pada saat ini. Jumlah karbon dioksida yang ditemukan di udara sekitar 280 ppm (parts per million) sebelum revolusi industri dan kini telah mencapai proporsi 380 ppm. Saat ini diperkirakan peningkatan jumlah karbon dioksida di udara telah mencapai 2 ppm per tahun. Peningkatan proporsi karbon dioksida yang melebihi 450 ppm akan menyebabkan peningkatan suhu hingga 2 derajat celcius yang akan berdampak mencairnya lebih cepat es Greenland dan Antartika. Mencairnya es Greenland akan meningkatkan permukaan laut sebesar 6,8 meter, yang berarti bahwa sebagian muka bumi akan tenggelam (McKibben, 2007). Tanpa tindakan yang tepat, maka tidak akan mungkin untuk menghentikan peningkatan proporsi karbon dioksida di udara. Untuk itu, diperlukan perubahan besar pada teknologi dan sosial yang didukung oleh aspek keuangan dan politik.
Untuk mengatasi hal ini, PBB dalam Konvensi Kerja tentang Perubahan Iklim atau yang dikenal sebagai UNFCCC telah mengadopsi Protokol Kyoto pada sesi ketiga Konferensi Pihak Konvensi UNFCCC pada 1997 di Kyoto, Jepang. Protokol Kyoto adalah sebuah persetujuan sah di mana negara-negara perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara kolektif sebesar 5,2% dibandingkan dengan tahun 1990 (namun yang perlu diperhatikan adalah, jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa Protokol, target ini berarti pengurangan sebesar 29%). Tujuannya adalah untuk mengurangi rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca – karbon dioksida, metan, nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC – yang dihitung sebagai rata-rata selama masa lima tahun antara 2008-2012. Target nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia. Target penurunan emisi dikenal dengan nama quantified emission limitation and reducation commitment (QELROs) merupakan pokok permasalahan dalam seluruh urusan Protokol Kyoto dengan memiliki implikasi serta mengikat secara hukum, adanya periode komitmen, digunakannya rosot (sink) untuk mencapai target, adanya jatah emisi setiap pihak di Annex I, dan dimasukannya enam jenis gas rumah kaca seperti CO2, CH4, N2O, HFC, PFC dan SF6 (basket of gases) dan disertakan dengan CO2 (Wikipedia, 2010). Namun dengan adanya resesi global kemungkinan akan mempengaruhi negara-negara yang telah meratifikasi Protokol Kyoto untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan, karena pengusaha lebih cenderung fokus pada mencari keuntungan daripada menyelamatkan lingkungan yang memerlukan biaya besar. Tetapi, baru-baru ini dengan adanya inovasi pada teknologi ramah lingkungan yang mampu menghemat biaya maka penyelamatan lingkungan dapat dilakukan sejalan dengan tujuan perusahaan mencari keuntungan.
Rantai Pasok (Supply Chain) adalah sebagai jejaring seluruh organisasi (mulai dari pemasok sampai ke pengguna akhir) dan aktivitas yang berhubungan dengan aliran dan transformasi dari barang, informasi dan uang (Handfield dan Nichols, 2002). Sedangkan Manajemen Rantai Pasok (Supply Chain Management) pengintegrasian proses bisnis berupa kolaborasi antara mitra Rantai Pasok dalam menyediakan produk, jasa, dan informasi untuk meningkatkan kinerja perusahaan dan memberikan nilai tambah ke pelanggan dan pemangku kepentingan lainnya (Agus Purnomo, 2010). Rantai Pasok tradisional terdiri dari lima bagian: bahan baku, industri, distribusi, konsumen, dan limbah. Setiap tautan dalam Rantai Pasok dapat menyebabkan terjadinya polusi, limbah, dan bahaya lain terhadap lingkungan (Gambar 1). Mulai dari tahap konsep sampai dengan barang dimusnahkan, selalu terdapat penggunaan sumberdaya secara berlebihan (boros) yang mengakibat total ongkos logistik menjadi lebih mahal serta berdampak terhadap kelestarian lingkungan.
Sumber : Penfield (2007)
Gambar 1. Dampak terhadap lingkungan pada setiap tahap Rantai Pasok
Ambillah contoh pengunaan minyak yang merupakan salah satu bahan baku utama yang digunakan oleh industri dan konsumen di berbagai tahap Rantai Pasok. Minyak digunakan sebagai bahan baku di banyak proses yang berbeda-beda dan sebagai bahan bakar untuk menjalankan mesin yang digunakan dalam pertanian, mobil, listrik, dll. Pembakaran minyak menyebabkan emisi gas rumah kaca, penggunaannya harus dibatasi dan jika mungkin harus dihilangkan sama sekali. Untuk mengatasi terjadinya polusi, limbah, dan bahaya lain terhadap lingkungan akibat dampak kegiatan dalam Rantai Pasok, maka kini sedang digalakkan Manajemen Rantai Pasok Ramah Lingkungan (Green Supply Chain Management).
2. Evolusi ke Green Supply Chain Management
Perkembangan industri dan kepedulian konsumen terhadap lingkungan hidup yang semakin meningkat serta isu tentang konsep industri yang berwawasan lingkungan telah memaksa industri melakukan penyesuaian dengan konsep green industries dalam setiap proses bisnisnya, yang kemudian berkembang menjadi Green Supply Chain Management (GrSCM).
Green supply chain management menuntut banyak perusahaan untuk terus menerus memperbaiki kinerja produksi perusahannya dengan memenuhi peraturan lingkungan. Perusahaan memiliki beragam alasan untuk menerapkan Green supply chain management, mulai dari sekedar kebijakan yang bersifat reaktif hingga pendekatan yang bersifat proaktif untuk mendapatkan keunggulan kompetitif yaitu meningkatkan daya saing mereka melalui peningkatan kinerja lingkungan mereka. Dampaknya perusahaan dapat meningkatkan brand image atas kepedulian terhadap lingkungan. Selain itu Green Supply Chain Management telah menjadi trend industri yang berkembang pesat pada perusahaan raksasa multinasional seperti Dell, HP, IBM, Motorola, Sony, Panasonic, dan Toshiba yang mulai menerapkan konsep ramah lingkungan.
Green Supply Chain Management sebagai proses menggunakan input yang ramah lingkungan dan mengubah input tersebut menjadi keluaran yang dapat digunakan kembali pada akhir siklus hidupnya sehingga menciptakan Rantai Pasok yang berkelanjutan (Penfield, 2007). Sedangkan menurut Srivastava (2007), mendefinisikan Green supply chain management sebagai pengintegrasian pemikiran lingkungan ke dalam Supply Chain Management, termasuk desain produk, pembelian material dan seleksi pemasok, proses manufaktur, pengiriman produk akhir ke konsumen dan juga pengelolaan produk setelah masa manfaatnya Green Supply Chain Management melibatkan praktek-praktek tradisional manajemen Rantai Pasok, yang mengintegrasikan kriteria lingkungan, atau masalah keputusan pembelian barang atau jasa dan hubungan jangka panjang dengan pemasok (Gilbert, 2000). Sebuah Rantai Pasok yang ramah lingkungan bertujuan membatasi limbah dalam sistem industri guna menghemat energi dan mencegah disipasi bahan berbahaya ke lingkungan.
Supply Chain Management Konvensional dengan Green Supply Chain Management berbeda dalam beberapa cara. Pertama, Supply Chain Management Konvensional sering berkonsentrasi pada tujuan ekonomi dan nilai, sedangkan Green Supply Chain Management selain pencapaian tujuan ekonomi dan nilai juga memberikan pertimbangan yang signifikan terhadap ekologis. Supply Chain Management Konvensional hanya mempertimbangkan efek pertimbangan toksikologis manusia, dan meninggalkan dampak terhadap lingkungan. Selanjutnya, mereka sering lebih berkonsentrasi pada pengendalian produk akhir, sementara memungkinkan efek negatif terjadi selama proses produksi.
Berbeda dengan Green Supply Chain Management yang terpadu dengan ekologis, mengoptimalkan cakupan lingkup Rantai Pasok tidak hanya untuk efek toksikologi manusia, tetapi juga untuk ekologis dampak negatif terhadap lingkungan alam, serta nilai tambah seluruh proses, sehingga dampak ekologis rendah selama tahapan proses di supply chain. Persyaratan ekologis dianggap sebagai kriteria utama untuk produk dan produksi, dan pada saat yang sama perusahaan harus menjamin keberlanjutan ekonomi dengan tetap kompetitif dan menguntungkan.
Kriteria seleksi pembeli dan pemasok pada Supply Chain Management Konvensional, standar dominan yang digunakan adalah harga. Dalam Green Supply Chain Management, tujuan ekologis merupakan bagian dari kriteria pemilihan pemasok. Penetapan kriteria ekologis dalam praktek memerlukan evaluasi pemasok secara hati-hati, berdasarkan hubungan yang berorientasi jangka panjang. Pembinaan terhadap pemasok biasanya memakan waktu yang lama dan hanya jumlah pemasok yang sangat terbatas yang memenuhi kriteria yang ditetapkan saja yang dipilih.
Salah satu persepsi awal tentang memperkenalkan produk ramah lingkungan ke pasar adalah bahwa produk akan mengakibatkan biaya produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan produk yang konvensional. Namun, temuan baru-baru ini menunjukkan bahwa inovasi dan perencanaan yang optimal dapat secara dramatis mengurangi biaya dalam banyak kasus. Tabel 1, merangkum perbedaan utama antara Supply Chain Management Konvensional dan Green Supply Chain Management.
Tabel 1. Perbedaan Supply Chain Management Konvensional
dan Green Supply Chain Management.
Karakteristik | SCM Konvensional | Green SCM |
---|---|---|
Tujuan & Nilai-nilai | Ekonomis | Ekonomis & Ekologi |
Optimasi Ekologi | Dampak terhadap ekologi tinggi |
Pendekatan terpadu Dampak terhadap ekologi rendah |
Kriteria Seleksi Pemasok | Harga Hubungan Jangka Pendek |
Aspek Ekologi dan Harga Hubungan Jangka Panjang |
Biaya & Harga Jual | Biaya Produksi Murah Harga Jual murah |
Biaya Produksi Murah Harga Jual kadang-kadang mahal |
Kecepatan & Fleksibilitas | Tinggi | Sedang |
Meskipun dalam beberapa kasus, biaya Manajemen Rantai Pasok Ramah Lingkungan lebih tinggi dibandingkan dengan Manajemen Rantai Pasok Konvensional, namun di lain sisi dapat menciptakan brand image perusahaan atas kepedulian pada lingkungan sehingga pada gilirannya meningkatkan daya saing unik bagi perusahaan. Menurut Beamon (1999), bahwa diperkirakan 75% dari konsumen mengklaim bahwa daya beli mereka dipengaruhi oleh reputasi lingkungan perusahaan dan bahwa 80% akan bersedia membayar lebih untuk barang ramah lingkungan.
3. Green Supply Chain Management VS Total Biaya Logistik
Biaya logistik terbentuk dari aktivitas yang mendukung proses logistik yaitu pelayanan pelanggan, transportasi, pergudangan, penyimpanan persediaan, dan administrasi logistik. Menurut survei LynnCo Supply Chain Solutions (2013) untuk perusahaan-perusahan di Amerika Serikat bahwa persentase rata-rata biaya logistik terdiri biaya transportasi (39%), biaya pergudangan (23%), biaya simpan persediaan (27%), biaya pelayanan pelanggan (6%), dan biaya administrasi logistik (5%). Lebih lanjut hasil survei juga menunjukkan rata-rata persentase biaya logistik terhadap penjualan adalah sebesar 7,34% yang terdiri dari biaya transportasi (3,24%), biaya pergudangan (1,84%), biaya simpan persediaan (1,52%), biaya pelayanan pelanggan (0,48%), dan biaya administrasi logistik (0,38%). Jika survei ini memasukkan juga biaya pembelian barang yang rata-rata 56% terhadap penjualan perusahaan, maka akan terlihat bahwa total biaya logistik merupakan biaya utama yang signifikan di perusahaan.
Suatu kajian yang dilakukan LPEM UI pada tahun 2005 menyatakan bahwa persentase biaya logistik terhadap penjualan di Indonesia rata-rata 14,08%, sedangkan Jepang 5,9%. Sementara persentase biaya logistik Indonesia terhadap PDB adalah 30%, sedangkan Jepang 10,6%, dan Amerika Serikat hanya 9,9%. Statistik ini menunjukkan dengan jelas bahwa biaya logistik Indonesia masih sangat mahal karena tidak efisiennya aktivitas logistik perusahaan, sehingga menurunkan daya saing perusahaan Indonesia yang pada gilirannya dapat menurunkan pula daya saing negara.
Di dalam SISLOGNAS dinyatakan bahwa penyebab utama mahalnya biaya logistik di Indonesia adalah kondisi infrastruktur yang ada sekarang ini baik pelabuhan, bandar udara, jalan, dan jalur kereta api dinilai masih kurang memadai untuk mendukung kelancaran lalu lintas logistik. Demikian juga halnya dengan sistem transportasi intermoda ataupun multimoda yang belum dapat berjalan dengan baik, karena akses transportasi dari sentra-sentra produksi ke pelabuhan dan bandara atau sebaliknya belum dapat berjalan lancar karena belum optimalnya infrastruktur pelabuhan dan bandara tersebut. Sehingga menyebabkan kualitas pelayanan menjadi rendah dan tarif jasa menjadi mahal. Secara lebih detil permasalahan infrastruktur dapat diidentifikasi sebagai berikut :
a) Pelabuhan : Belum Adanya ”Hub Port” Internasional baik laut maupun udara sebagai pusat pengendalian arus barang nasional, maupun internasional serta belum terintegrasinya Manajemen Pelabuhan, sehingga pengurusan pergerakan barang dan dokumen saat ini masih dilakukan berbasis transaksi.
b) Prasarana Jalan, menurunnya tingkat pelayanan jalan pada jalur-jalur utama perekonomian terutama di Jawa dan Sumatera menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan mengurangi daya saing produk-produk komoditas.
c) Angkutan Kereta Api, konsep bisnis yang diterapkan untuk Kereta Api barang khususnya pengangkutan kargo kontainer masih menerapkan sistem bisnis pengangkutan atau transporter, belum menggunakan perspektif konsep bisnis logistik.
d) Angkutan Sungai dan Penyeberangan, rendahnya jaminan keselamatan dan keamanan operasi angkutan sungai, danau dan penyeberangan karena umur kapal yang sebagian besar sudah berumur lebih dari 10 tahun (64%) dan hanya sebagian kecil yang berumur di bawah 10 tahun (36%).
e) Belum memiliki regulasi Transportasi Intermoda dan Multimoda serta akses transportasi intermodal belum memadai. Sebagai contoh ketika barang dibongkar di Pelabuhan Tanjung Priok, satu-satunya akses transportasi pengangkutan barang hanya melalui transportasi darat dengan infrastruktur jalan yang sangat terbatas, yang menyebabkan lalu lintas di Pelabuhan Tanjung Priok mengalami kemacetan.
Berdasarkan kondisi infrastruktur logistik saat ini yang belum memadai, maka pimpinan perusahaan dituntut untuk berfikir lebih kreatif dalam meningkatkan efisiensi aktivitas logistik. Peluang efiseinsi dapat dilakukan perusahaan dengan menerapkan Green Supply Chain Managementyang mengembangkan inovasi dalam mengkonsumsi sumber daya yang lebih sedikit, menghasilkan limbah yang minimum, dan mengurangi dampak merugikan lingkungan. Suatu inovasi yang menguntungkan lingkungan memerlukan kombinasi baru pengetahuan tentang karakteristik produk, karakteristik proses dan material, serta teknologi. Srivastava (2007) telah membuat state of the art Green Supply Chain Management (Gambar 2) yang dapat dijadikan dasar untuk mengefisienkan biaya logistik perusahaan.
Sumber : Srivastava (2007)
Berbagai metode dapat dilakukan perusahaan untuk untuk mengefisienkan total biaya logistik dengan menerapkan Green Supply Chain Management yaitu :
1) Memahami pentingnya Green Supply Chain Management dengan melakukan penghematan pemakaian sumber daya, mengeliminasi limbah, meningkatkan produktivitas, green purchasing, green 3PL, green transportation (optimasi rute/jumlah/kapasitas/bahan bakar, green moda transportasi), green warehousing (optimasi jumlah/kapasitas/layout/ material handling), green inventory (optimasi kuantitas/reorder point/forecasting, kolaborasi dengan pemasok dan ritel), menangani dengan baik produk-produk yang dikembalikan, dan implementasi ISO 14000 seri dengan bekerjasama dengan pemasok yang menyiapkan material yang green packaging akan memudahkan penyusunan barang, dapat mengurangi penggunaan material, meningkatkan utilasasi ruang gudang dan alat angkut, dan mengurangi jumlah handling yang dibutuhkan.
2) Melakukan perancangan produk yang ramah lingkungan (green design) dengan cara merancang produk yang memperlakukan atribut lingkungan sebagai tujuan disain dan bukan sebagai kendala. Hal ini bertujuan untuk menggabungkan atribut-atribut tanpa mengorbankan kinerja, kualitas, fungsionalitas, dan masa manfaat produk. Melakukan value engineering terhadap disain produk yang menggunakan bahan atau proses yang berbahaya dengan tujuan meningkatkan fungsi produk dan menurunkan biaya, dengan bekerjasama dengan para pemasok dan masukan pelanggan. Metode value engineering ini dapat dikombinasikan dengan metode Quality Function Deployment untuk mendisain produk sesuai dengan harapan pelanggan serta memenuhi tuntutan ramah lingkungan.
3) Melakukan integrasi remanufaktur dengan internal operasi perusahaan (green operations). Green manufacturing and remanufacturing dengan cara meminimumkan konsumsi energi dan sumber daya untuk mengurangi penggunaan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui. Menggunakan kembali (reusing) dan mendaur ulang (recycling) dengan mengubah karakteristik bahan termasuk sifat fisik dan kimia barang bekas (otomotif, elektronik, kertas) menjadi produk baru untuk mencegah limbah, mengurangi konsumsi material baru, mengurangi penggunaan energi, mengurangi polusi udara dan pencemaran air. Melakukan produksi ulang/ rekondisi (remanufacturing) yaitu barang bekas direkondisi dengan perubahan beberapa bagian atau pembongkaran sehingga dapat dipergunakan kembali sesuai fungsinya. Mendisain jaringan Reverse logistics yang berkoordinasi dengan mitra supply chain yang berkaitan dengan ketidakpastian kerusakan barang, lokasi penampungan, penundaan dan spekulasi barang.
4. Penutup
Pada dekade belakangan ini, perusahaan bisnis telah menciptakan dan menerapkan strategi yang lebih baik sejalan dengan kepentingan terbaik untuk melindungi lingkungan. Hal ini dikarenakan pada setiap tautan dalam Rantai Pasok Tradisional dapat menyebabkan terjadinya polusi, limbah, dan bahaya lain terhadap lingkungan. Untuk mengatasi terjadinya polusi, limbah, dan bahaya lain terhadap lingkungan akibat dampak kegiatan dalam Rantai Pasok, maka kini sedang digalakkan Green Supply Chain Management. Pada hakekatnya praktik Supply Chain Tradisional yang mengabaikan lingkungan merupakan inefisiensi pada biaya logistik.
Di Indonesia, buruknya sarana dan prasarana transportasi berdampak terhadap meningkatnya biaya transportasi sehingga rata-rata biaya logistik terhadap penjualan juga meningkat. Namun kondisi ini bukan berarti perusahaan tidak dapat menurunkan biaya logistiknya, karena dengan menerapan konsep Green Supply Chain Management maka perusahaan akan berpeluang meningkatkan efisiensi aktivitas logistik sehingga menurunkan total biaya logistik perusahaan.
5. Daftar Rerefensi
a) Bloemhuf-Ruwaard, et al. (1995) Interactions between operational and environmental management. European Journal of Operational Research. 85 (2): 229-243.
b) Gilbert, S. (2000) Greening supply chain: Enhancing competitiveness through green productivity.Tokyo: Asian Productivity Organization.
c) Guide, V. D. R., & Srivastava, R. (1998). Inventory buffers in recoverable manufacturing. Journal of Operations Management, 16, 551-568.
d) Kelle, P., E. and Silver. (1989) Forecasting. Journal of Operations Management, 8, 174
e) Penfield, P. 2007. Sustainability can be competitive advantage. Whitman School of Management.
f) Saaty, T.L. (1980) The analytical hierarchy process: planning, priority setting, and resource allocation. McGrawHill, New York.
g) Srivastava, S. (2007) Green supply-chain management: A state-of-the-art literature review. International Journal of Management Reviews, 9(1), 53-80.
h) Thipparat, T. (2011) Evaluation of Construction Green Supply Chain Management. International Conference on Innovation, Management and Service IPEDR vol.14.
i) Zhu, Q.; Sarkis, J., (2006) An inter-sectoral comparison of green supply chain management in China: Drivers and practices. Journal Clean Production, 14, 472-486.