JAKARTA-Praktik rente dalam pembayaran uang jaminan peti kemas untuk reparasi kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok diduga membuat perusahaan keagenan kapal asing dan depo empty sebagai mitra kerjanya meraup keuntungan US$300 juta/tahun.
Sekjen Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (Ginsi) Achmad Ridwan Tento mengatakan arus impor barang melalui Tanjung Priok rerata mencapai 2,5 TEUs hingga 3 juta twentyfoot equivalent units (TEUs).
Importasi ini dihitung dengan asumsi volume peti kemas ekspor impor di Tanjung Priok mencapai 6 juta TEUs per tahun.
“Bayangkan jika uang jaminan peti kemas ditarik US$100 hingga US$300/per peti kemas, beban pemilik barang per tahun bisa mencapai US$300 juta,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (24/8).
Dia mengatakan importir pada prinsipnya tidak keberatan dengan uang jaminan peti kemas untuk mengantisipasi biaya reparasi kontainer eks impor tersebut sepanjang dilakukan secara benar dan transparan serta melibatkan surveyor independen dalam penerbitan dokumen equipment interchange receipt (EIR) di pelabuhan.
Importir, tuturnya, bahkan sering tombok karena biaya reparasinya lebih dari uang jaminan yang sudah disetorkan saat menebus DO di pelayaran. “Padahal, kami tidak mengetahui kerusakan kontainer terjadi dimana, tetapi ujung-ujungnya kami pemilik barang yang menanggung.
Oleh karena itu, katanya, Ginsi mengusulkan supaya penerbitan dokumen EIR di seluruh fasilitas terminal peti kemas Pelabuhan Tanjung Priok bisa dilaksanakan secara online dan terintegrasi dengan kegiatan di terminal peti kemas dan melibatkan surveyor independen.
“Dengan demikian, kami bisa mengetahui kerusakan [peti kemas] terjadi di mana saja, apakah saat di atas kapal, saat proses bongkar muat atau ketika delivery di atas trucking,” ucapnya.
Sumber dan berita selengkapnya:
Bisnis Indonesia, edisi cetak 25 Agustus 2014