Oleh: Setijadi | Chairman at Supply Chain Indonesia
-
Paket Kebijakan Ekonomi X, yang memuat perubahan daftar negatif investasi (DNI), mengubah besaran modal asing dalam sejumlah kegiatan usaha. Pada sektor logistik, peningkatan besaran modal asing ditetapkan sebanyak 33% untuk tiga bidang usaha, yaitu distributor dan pergudangan meningkat menjadi 67%, serta cold storage meningkat menjadi 100%.
-
Kebijakan tersebut mengundang penolakan dari banyak pihak, terutama para pelaku dan pihak berkepentingan dalam sektor logistik. Pada jajak pendapat yang dilakukan Supply Chain Indonesia (SCI), sebagian besar responden menyatakan tidak setuju atau sangat tidak setuju terhadap peningkatan besaran modal asing untuk bidang usaha distributor (88,2%), pergudangan (76,5%), maupun cold storage (70,6%).
Kebijakan tersebut melemahkan atau sangat melemahkan daya saing perusahaan lokal untuk bidang usaha distributor dan pergudangan (dinyatakan oleh 82,4% responden), maupun cold storage (70,6%).
Selanjutnya, sebagian besar responden (47,1%) menyatakan bahwa peningkatan besaran modal asing itu justru akan meningkatkan atau sangat meningkatkan biaya logistik Indonesia. Sebanyak 41,2% menyatakan tidak berdampak dan hanya sebanyak 11,8% yang menyatakan peningkatan besaran modal asing akan menurunkan atau sangat menurunkan biaya logistik Indonesia.
-
SCI menilai bahwa kebijakan tersebut cenderung memudahkan para pemain asing dan di sisi lain tidak mendorong peningkatan daya saing pelaku usaha lokal. Perusahaan-perusahaan asing yang masuk ke Indonesia kuat dalam permodalan, teknologi, dan jaringan. Dengan demikian, kebijakan tersebut berpotensi menciptakan persaingan yang tidak sehat, bahkan mematikan pelaku usaha lokal, terutama yang merupakan UMKM.
-
SCI merekomendasikan perubahan atas kebijakan tersebut karena peningkatan investasi tidak perlu dilakukan dengan meningkatkan porsi kepemilikan asing tersebut. Porsi kepemilikan asing sebelumnya cukup ideal karena membuka investasi asing namun sekaligus mendorong investasi lokal melalui pola kemitraan. Dalam pola kemitraan itu pun, pemerintah harus mendorong proses alih teknologi perusahaan asing kepada perusahaan lokal.
Selain itu, Pemerintah hendaknya justru mendorong investasi lokal, antara lain dengan mempermudah permodalan dan perizinan, serta memberikan insentif fiskal (seperti bea masuk, bea keluar, insentif pajak, dan subsidi) dan non-fiskal (antara lain dukungan infrastruktur dan keamanan).
Salah satu contoh konkrit yang dibutuhkan adalah penurunan suku bunga kredit perbankan di Indonesia yang saat ini masih tinggi, yaitu 12,86%, lebih tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN lain, seperti Malaysia (6,85%), Filipina (6,86%), dan Thailand (7,10%). Hal ini tentu berdampak terhadap kemampuan investasi dan daya saing pelaku usaha logistik lokal.