JAKARTA — Kementerian Perhubungan disarankan mengintegrasikan program tol udara, yang disubsidi Rp600 miliar-Rp700 miliar, dengan transportasi multimoda.
Chairman lembaga riset Supply Chain Indonesia (SCI) Setijadi mengatakan pengembangan program tol udara seharusnya menjadi bagian transportasi multimoda terintegrasi.
Dia menilai pengembangan tol udara menghadapi beberapa tantangan utama antara lain berbiaya mahal karena menggunakan pesawat udara dan kapasitasnya kecil. Namun, Setijadi mengatakan salah satu yang harus diterapkan terhadap program tersebut adalah konsep pengumpul dan pengumpan atau huband-spoke.
Beberapa lapangan terbang potensial ditetapkan menjadi hub dengan wilayah atau distrik di Papua menjadi spoke. “Penetapan hub-and-spoke tentu dengan mempertimbangkan kondisi geografi dan topografi , serta potensi wilayah,” katanya kepada Bisnis, Kamis (19/7). Pengangkutan dari hub ke wilayah utama itu, kata dia, bisa menggunakan moda transportasi jalan atau sungai. Kedua moda transportasi itu dipilih sesuai potensi wilayah dan diintegrasikan dengan tol udara.
“Lapangan terbang yang menjadi hub harus berpotensi untuk dikembangkan, sehingga secara bertahap dapat didarati pesawat berkapasitas lebih besar, sehingga biaya pengangkutan akan semakin murah,” ungkapnya.
Selain itu, dia menuturkan tol udara juga mahal akibat muatan balik kosong karena hampir tidak ada komoditas yang diangkut dari wilayah terpencil. Dalam hal ini, Setijadi memandang pemerintah daerah perlu mengeksplorasi potensi komoditas atau produk dari wilayah setempat untuk dibawa.
“Dengan keterbatasan kapasitas dan biaya operasional pesawat yang mahal, komoditas atau produk itu sebaiknya yang bernilai tinggi, misalnya, barang-barang seni atau hasil kerajinan dan bahan baku farmasi,” ujarnya. Di sisi lain, dia menilai tol udara akan menurunkan disparitas harga karena peningkatan kapasitas pengangkutan barang walaupun harus dengan subsidi.
Sumber dan berita selengkapnya:
Bisnis Indonesia, edisi cetak Jumat, 20 Juli 2018.
Salam,
Divisi Informasi