Oleh: Setijadi | Chairman at Supply Chain Indonesia
Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional (Sislognas) yang ditetapkan dengan Perpres No. 26 Tahun 2012 banyak menghadapi kendala, sehingga beberapa Program dan Rencana Aksi pada Tahap I tidak akan dapat tercapai hingga tahap tersebut berakhir, yaitu tahun 2015.
Setijadi, Chairman Supply Chain Indonesia (SCI), menyatakan bahwa Pemerintah baru perlu segera melakukan revisi terhadap Sislognas. Selain untuk melakukan koreksi terhadap hasil pencapaian Program dan Rencana Aksi, Pemerintah baru perlu mengkaji pula beberapa prinsip yang belum berjalan.
Salah satunya adalah penetapan jenis komoditas penggerak utama yang semestinya dilakukan pada tahap awal implementasi Sislognas, namun hingga kini belum selesai dilakukan. Komoditas penggerak utama ini merupakan penghela (driver) dari seluruh kegiatan logistik dan menjadi faktor penting dalam penetapan kebijakan logistik nasional.
Selain itu perlu dilakukan revisi terhadap beberapa konsep di dalamnya, terutama Konsep Logistik Maritim yang tidak sejalan dengan Tol Laut yang menjadi konsep Pemerintah baru.
Mengingat sistem logistik sangat penting dalam mengembangkan konektivitas untuk membangun kesejahteraan dan daya saing nasional, selain merevisi Sislognas, Pemerintah baru perlu mengupayakan pembentukan Undang-Undang (UU) Logistik.
Menurut Dhanang Widijawan, Pakar Hukum SCI, secara hirakhis peraturan perundang-undangan, upaya ini dapat dilakukan dengan cara meng-upgrade(meningkatkan) status dan kedudukan Perpres No. 26 Tahun 2012 tentang Sislognas menjadi UU Logistik.
Dengan status dan kedudukan hukum setingkat UU, maka regulasi-regulasi (dari derajat tertinggi hingga terendah) yang mengatur aktivitas-aktivitas logistik, secaraipso jure (demi hukum) akan mengarah pada sinkronisasi dan harmonisasi hukum. Dengan pembentukan UU Logistik, aktivitas-aktivitas bisnis logistik melalui berbagai kelembagaan akan lebih memperoleh kepastian hukum, berjalan dengan tertib, dan mencerminkan keadilan, berdasarkan prinsip-prinsip Good Governance(GG) dan Good Corporate Governance (GCG).
Selain itu, dengan berbentuk UU (Logistik), pihak-pihak terkait akan mudah untuk menjadikannya sebagai acuan dan menurunkannya dalam peraturan-perundangan di bawahnya, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Berdasarkan sifat UU Logistik yang memiliki daya imperative (memaksa) dan/atau daya regulative (mengatur multi-sektor), maka diperlukan lembagaindependent yang memiliki kemampuan dan kewenangan dalam melakukan koordinasi dan pengendalian terhadap kementerian, lembaga, dan institusi terkait, termasuk antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Koordinasi dan pengendalian ini bersifat menyeluruh sehingga perencanaan hingga implementasi dapat dilakukan secara terintegrasi.
Lembaga independent ini juga bertugas memantau implementasi Sislognas, mengidentifikasikan kendala dan permasalahan, menganalisis dan merekomendasikan solusi kepada pihak-pihak terkait, serta mengawasi pelaksanaan rekomendasi tersebut. Untuk efektivitas kerja, lembaga ini harus mempunyai otoritas terhadap kementerian, lembaga, dan institusi terkait.
Untuk kebutuhan pembentukan UU Logistik, SCI bersedia menjadi fasilitator bagi berbagai pihak yang berkepentingan dan berkompeten, dalam rangka penyusunan Naskah Akademik dan Draft Rancangan UU Logistik.