Oleh: Setijadi
Web: www.SupplyChainIndonesia.com
Foto: bisnis.com
Sistem logistik Indonesia belum menunjukkan kinerja yang baik. Logistics Performance Index (LPI) Bank Dunia tahun 2009 menempatkan Indonesia pada posisi ke-75 dari 150 negara yang disurvei, berada di bawah Malaysia (29) dan Thailand (35). Bahkan, LPI Indonesia di bawah Vietnam yang berada di posisi ke-53.
Biaya logistik di dalam negeri masih lebih tinggi 2-3 kali lipat dibandingkan dengan negara pesaing sehingga menyebabkan produk ekspor Indonesia kalah bersaing. Bagi konsumen dalam negeri, hal ini berarti bahwa produk-produk menjadi lebih mahal.
Penataan dan pengembangan sektor logistik Indonesia hendaknya mengacu kepada Cetak Biru “Penataan dan Pengembangan Sektor Logistik Indonesia” yang hingga saat ini belum juga disahkan. Dalam draft Cetak Biru tersebut, dicantumkan bahwa Visi Logistik Indonesia 2025 adalah ”Locally Integrated, Globally Connected”. Diharapkan bahwa sektor logistik Indonesia, yang secara domestik terintegrasi antar-pulau dan secara internasional terkoneksi dengan ekonomi utama dunia dengan efisien dan efektif, akan meningkatkan daya saing nasional untuk sukses dalam era persaingan dunia.
Untuk mencapai visi logistik Indonesia, dalam Cetak Biru itu disebutkan perlunya pembentukan kelembagaan logistik nasional yang disebut sebagai Komite Logistik Indonesia atau Dewan Logistik Nasional.
Pentingnya kelembagaan logistik nasional dapat dipahami mengingat luasnya cakupan sektor logistik yang meliputi berbagai fungsi teknis pemerintah, seperti perindustrian, perdagangan, keuangan, perhubungan, serta komunikasi dan informasi, dll. Berbagai infrastruktur juga terkait dalam sektor logistik, seperti pelabuhan dan jalan raya.
Beberapa peraturan perundangan yang mengatur sektor logistik yang berlaku perlu diselaraskan. Penyelarasan dan pembenahan juga perlu dilakukan terhadap peraturan daerah yang menghambat sektor logistik, seperti perizinan dan retribusi (izin trayek, izin lintas batas kabupaten, dsb.) yang bertentangan dengan UU.
Upaya memperlancar arus barang harus dibarengi dengan perlindungan dari pungli, premanisme, dan kejahatan lainnya. Hal ini masih menjadi masalah seperti dikeluhkan para pengusaha atas maraknya perampokan terhadap kiriman barang.
Sistem dan infrastruktur
Dalam rangkaian proses pengangkutan barang, pelabuhan merupakan salah satu fasilitas penting yang melibatkan berbagai pihak/instansi. Penyederhanaan dan transparansi birokrasi perlu terus dibenahi. Pelayanan perijinan ekspor/impor hendaknya dalam satu atap dan menggunakan aplikasi sistem informasi, termasuk melalui kelanjutan dan pengembangan implementasi National Single Window (NSW).
Kelancaran transportasi angkutan barang sangat dipengaruhi oleh ketersediaan infrastruktur jalan raya. Daya dukung jalan (panjang dan lebarnya) terhadap pertambahan volume kendaraan perlu terus diperhatikan.
Pengembangan infrastruktur hendaknya dibarengi dengan pemeliharaannya. Untuk jalan raya, hal ini merupakan masalah kompleks karena terkait dengan berbagai pihak, baik antar departemen maupun antara Pemerintah Pusat dan Pemda terkait.
Kerusakan jalan raya sangat dipengaruhi oleh perilaku para pengguna, terutama karena kelebihan muatan yang sering terjadi dengan alasan untuk efisiensi biaya. Ketentuan batas toleransi nol atas kelebihan muatan hendaknya diberlakukan secara baik dengan dibarengi pemantauan.
Sistem pengangkutan barang dengan kereta api harus dikembangkan karena kereta api merupakan moda yang paling efisien, terutama untuk jarak jauh. Namun, moda kereta api belum digunakan secara baik dalam pengangkutan barang di Indonesia. Volume angkutan peti kemas rute Tanjung Priok-Gede Bage dengan kereta api, misalnya, baru sekitar 10%. Hal ini terjadi antara lain karena kendala sistem dan infrastruktur, seperti belum tersambungnya jalur kereta api ke sisi dermaga peti kemas dan belum terintegrasinya jadwal angkutan kereta api dan pengapalan.
Pengembangan dry port di Cikarang, maupun di beberapa wilayah lainnya, harus terus didorong untuk memfasilitasi kawasan industri terkait.
Secara lebih luas, sistem transportasi multimoda harus mulai dikembangkan secara terintegrasi, apalagi dengan mempertimbangkan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan.
Pengembangan infrastruktur tersebut harus direncanakan dan dilakukan secara terpadu ke daerah-daerah agar disparitas harga yang tajam tidak terus terjadi. Pemerintah Pusat perlu berkoordinasi dengan Pemda terkait. Partisipasi pihak swasta dapat diminta dengan memberikan berbagai fasilitas pendukung yang menarik dan memadai.