TRUCK MAGZ Magazine ED 05 2014 (Oct-Nov 2014)
published by Arveo Pionir Mediatama
Jalur logistik di Pulau Jawa saat ini hanya bertumpu pada jalur pantura. Jika jalur pantura bermasalah, otomatis distribusi logistik jadi terhambat. Kasus amblesnya Jembatan Comal menjadi contoh. Jalur distribusi pun dialihkan ke jalur selatan yang didesain bukan untuk jalur distribusi. Jalur yang lebih jauh dan penuh tanjakan menjadi tantangan bagi pengusaha trucking. Biaya pengiriman rata-rata naik minimal Rp 1 juta dengan potensi kecelakaan yang tinggi, juga kasus pembajakan truk dan perampokan.
Amblesnya Jembatan Comal disinyalir karena berbagai sebab. Salah satunya, tudingan terhadap pengusaha trucking mengangkut muatan melebihi aturan batas tonase. Overtonase disebut sebagai salah satu cara bagi pengusaha untuk mendapatkan keuntungan lebih. Kenyataannya, tidaklah selalu demikian. Bagi sebagian pengusaha trucking, overtonase menjadi sebuah keniscayaan mengingat sengitnya kompetisi di bisnis ini.
Sistem transaksi dalam dunia trucking memberikan keuntungan dan kerugian tersendiri. Kalau sistem transaksinya berdasar rupiah per ton kilometer, overtonase menguntungkan perusahaan pengangkutan; muat banyak atau sedikit bayar ongkos tetap sama karena tergantung jarak. Jika sistem yang digunakan borongan, konsumen menjadi pihak yang diuntungkan. Dalam hal ini jika perusahaan trucking melakukan pelanggaran, ia akan merugi karena perawatan kendaraan lebih sering, uptime mesin lebih pendek, tingkat kerusakan juga lebih besar.
Pelanggaran akan tetap terjadi sepanjang aturan tidak dijalankan dengan tegas. Sebuah perusahaan trucking akan tetap melanggar selama kompetitornya juga melanggar. Keberpihakan pemerintah dalam hal ini dituntut.
Pemerintah harus melakukan terobosan dalam membenahi masalah overtonase. Pembenahan harus dilakukan dari segala lini, dari hulu ke hilir. Tindakan atas pelanggaran yang dilakukan pemerintah terhadap pengusaha trucking agak tidak tepat. Alasannya, pada satu titik, pengusaha trucking mendapatkan “tekanan” dari pemilik barang. Jika pengusaha trucking tidak memberikan harga sesuai permintaan pemilik barang, hampir pasti dia ditinggalkan pemilik barang yang memilih perusahaan trucking lainnya. Akan lebih tepat jika pemerintah juga memberikan sanksi kepada pemilik barang atau hal tersebut menjadi tanggung renteng antara pemilik barang dan pengusaha trucking. Selain itu, pemerintah perlu menetapkan batasan usia truk yang beroperasi. Truk dengan depresiasi nol tentu lebih “menguntungkan” daripada truk baru. Persoalannya, ketika truk tua harus bersaing dengan truk baru, hal itu jelas tidak setara. Unit cost truk baru menjadi tinggi dibandingkan unit cost truk lama.
Alhasil, perusahaan trucking dengan truk tua berani memberikan harga angkut lebih rendah ketimbang perusahaan trucking dengan armada baru. Persaingan tarif angkut pun tak akan terelakkan. Di samping itu, pemerintah perlu melakukan pembenahan internal.
Ketegasan dalam penegakan aturan diperlukan. Penegakan aturan tidak menggunakan sistem tebang pilih dan tidak semata-mata mengenakan denda sebagai pemasukan kas daerah. Bagaimana pun juga, ketidakseriusan dalam mengatasi masalah overtonase akan menimbulkan kerugian dalam jangka panjang.
Sumber: