Memang kinerja sektor logistik hingga kuartal III/2019 masih belum mampu tumbuh sekencang ekspektasi atau di atas 7%. Keadaan ini mencerminkan sektor logistik nasional masih belum mampu keluar dari tekanan, baik eksternal maupun internal. Tekanan eksternal diantaranya muncul akibat dampak perang dagang AS-China yang melunturkan aktivitas ekspor impor. Adapun, tekanan internal karena melemahnya sektor manufaktur yang menyusutkan konsumsi, serta harga komoditas yang fluktuatif.
Satu-satunya alasan sektor logistik masih bisa tumbuh pada kuartal III tahun ini karena dampak pembenahan dan peningkatan infrastruktur di sektor transportasi mulai dirasakan hasilnya. Akselerasi transportasi yang semakin lancar mendorong waktu dan biaya distribusi jadi lebih cepat dan murah. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan sektor transportasi dan pergudangan (logistik) pada kuartal III/2019 mencapai 6,63%, lebih baik dibandingkan dengan pertumbuhan pada kuartal III/2018 sebesar 5,64% (year-on year/yoy).
Pencapaian pada kuartal III/2019 menjadi yang tertinggi sepanjang 9 bulan pertama tahun ini, mengingat pada kuartal I dan II/2019 sektor ini mencatatkan pertumbuhan masing-masing 5,25% dan 5,78%. Artinya, melambatnya pertumbuhan ekonomi nasional tak selamanya berdampak pada tertekannya pertumbuhan sektor transportasi dan pergudangan.
JANGAN TERLENA
Supply Chain Indonesia (SCI) mengingatkan pencapaian yang cukup positif pada kuartal III tahun ini jangan membuat para pemangku kepentingan di sektor logistik terlena. Ini lantaran masih banyak pekerjaan rumah untuk membenahi sektor logistik berakselerasi lebih kencang lagi. Chairman SCI, Setijadi, menuturkan pertumbuhan sektor transportasi dan pergudangan akan menghadapi sejumlah tantangan, terutama dari sisi konektivitas antar moda dan multimoda.
Dia mengatakan tantangan konektivitas antar moda dan multimoda tersebut terjadi pada simpul-simpul transportasi utama seperti pelabuhan, bandara, dan terminal barang. “Diperlukan perbaikan dan pengembangan infrastruktur seperti dermaga pelabuhan berikut peralatan bongkar muatnya,” jelasnya.
Selain itu, inefisiensi logistik dapat terjadi karena masalah muatan balik yang tak seimbang (imbalance cargo). Ketidakseimbangan muatan ini terjadi terutama karena ketidakseimbangan pertumbuhan antar wilayah yang bisa dilihat dari kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB).
Berdasarkan analisis SCI terhadap data BPS, Pulau Jawa masih mendominasi kegiatan transportasi dan pergudangan dengan kontribusi terhadap PDB 2018 sebesar 58,48%; diikuti Sumatra 21,58%. Adapun, kontribusi wilayah lainnya masih sangat kecil, baik Kalimantan (8,20%), Sulawesi (6,22%), Bali dan Nusa Tenggara (3,05%), dan Papua (2,47%).
“Solusi jangka pendek berupa pengembangan sistem informasi muatan. Diperlukan aplikasi yang mempertemukan informasi muatan dan ketersediaan sarana pengangkutan,” paparnya. Adapun, solusi jangka panjang berupa peningkatan muatan balik dengan pengembangan komoditas dan produk melalui industrialisasi.
“Pemerintah harus melakukan pengembangan wilayah dengan menerapkan paradigma ship promotes the trade. Untuk wilayah yang sudah berkembang, masih bisa digunakan paradigma ship follows the trade,” ujarnya.
Sumber dan berita selengkapnya:
Bisnis Indonesia, edisi cetak Senin, 11 November 2019.
Salam,
Divisi Informasi