Tingginya biaya logistik nasional sebesar 24% terhadap PDB terus disorot. Pemerintah lantas berambisi memangkas gap itu menjadi 19%. Kritik tajam pun langsung berdatangan dari berbagai penjuru. Pemerintah dinilai tak punya konsep nyata, tetapi hanya populis.
Buktinya, dalam 3 tahun belakangan berdasarkan catatan Logistics Performance Index (LPI) di Kawasan Asean, biaya logistik Indonesia hanya berada di peringkat medioker.
Meskipun memperlihatkan perkem bangan membaik, peringkat Indonesia tetap saja berada di bawah Thailand, Malaysia, bahkan sekelas Vietnam yang baru bangkit dari keterpurukan ekonomi.
Atas alasan itu, dalam rapat ker ja dengan Komisi V DPR, Rabu (13/11), Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, lantas menyatakan pihaknya akan bekerja total menurunkan tingginya biaya logistik. Menurutnya, dalam 5 tahun ke depan (2019-2024) biaya logistik nasional harus ditekan menjadi 19%, turun 5% dari posisi saat ini.
Penurunan sebesar 5% tersebut tentu tak main-main. Artinya, target ini harus dicapai dengan kerja sangat keras, yang melibatkan dukungan dari berbagai pihak.
Ketua Umum Supply Chain Indonesia (SCI), Setijadi, menilai penurunan biaya logistik secara signifikan membutuhkan entitas yang fokus mengurus logistik dan rencana induknya secara sistemis. Nah, ambisi sang menteri menurunkan biaya logistik nasional menjadi 19% bisa saja terwujud jika dilakukan dengan langkahlangkah yang terencana, terkoordinasi, terukur, dan realistis. Jika tidak, mungkin hanya menjadi target yang populis.
Sumber dan berita selengkapnya:
Bisnis Indonesia, edisi cetak Kamis, 14 November 2019.
Salam,
Divisi Informasi