Oleh: Setijadi | Chairman at Supply Chain Indonesia
Permasalahan yang berkembang di Pelabuhan Tanjung Priok (dwelling time, YOR, dan sebagainya) memerlukan upaya pemecahan dari beberapa sudut padang dan pendekatan (approach). Untuk memecahkan berbagai permasalahan di Pelabuhan Tanjung Priok, perlu dilakukan review dan perbaikan terhadap berbagai proses bisnis di pelabuhan, peningkatan koordinasi antar instansi di pelabuhan, standardisasi dan integrasi sistem informasi, dan lain-lain.
Selain itu, karena pelabuhan merupakan salah satu infrastruktur logistik, diperlukan paradigma baru terhadap pembangunan dan pengembangan infrastruktur logistik Indonesia sebagai solusi permasalahan jangka panjang.
Selama ini, infrastruktur logistik (termasuk pelabuhan) dibangun dan dikembangkan untuk mengikuti/mendukung pertumbuhan. Infrastruktur dibangun dan dikembangkan ketika terjadi pertambahan kebutuhan. Di samping mengakibatkan pertumbuhan wilayah yang tidak merata, pembangunan dan pengembangan infrastruktur logistik dengan cara seperti ini akan terkendala dengan keterbatasan kapasitas secara fisik.
Hal ini terbukti, misalnya, dengan kepadatan volume dan tingginya arus barang di Pelabuhan Tanjung Priok, kepadatan lalu lintas di jalan tol sekitar Pelabuhan, dan sebagainya. Kapasitas infrastruktur logistik dan umum tidak mencukupi lagi untuk melayani kebutuhan.
Perlu perubahan paradigma dalam pembangunan infrastruktur logistik. Pembangunan dan pengembangan infrastruktur logistik semestinya dilakukan untuk memunculkan dan mengembangkan wilayah-wilayah pertumbuhan. Di suatu wilayah dengan kondisi tanah dan iklim tertentu, misalnya, berpotensi menjadi penghasil suatu komoditas. Namun, karena keterbatasan infrastruktur (misalnya pelabuhan), wilayah tersebut tidak berkembang, sehingga pada saat ini belum ada hasil produksi dan kebutuhan pengiriman komoditas.
Dengan paradigma lama, tidak akan ada pembangunan infrastruktur logistik yang mendorong pertumbuhan wilayah tersebut. Semestinya, perencanaan pembangunan dan pengembangan infrastruktur logistik dilakukan untuk menumbuhkan wilayah sesuai dengan potensinya tersebut.
Perlu dilakukan perencanaan pembangunan dan pengembangan pelabuhan-pelabuhan baru untuk mengatasi permasalahan Pelabuhan Tanjung Priok. Arus pengiriman barang melalui Pelabuhan Tanjung Priok perlu disebar ke beberapa pelabuhan lainnya.
Untuk wilayah Jawa bagian barat, perlu segera dilakukan pengembangan beberapa pelabuhan alternatif, seperti Pelabuhan Cilamaya, Pelabuhan Cirebon, Pelabuhan Bojonagara, dan sebagainya. Demikian pula halnya dengan pelabuhan-pelabuhan lain, termasuk di luar Jawa.
Rencana pembangunan pelabuhan-pelabuhan alternatif tersebut sudah menjadi wacana sejak lama. Perlu “komitmen nasional” untuk merealisasikannya sebagai solusi penting atas permasalahan di Pelabuhan Tanjung Priok yang terutama berkaitan dengan kapasitas.
Perubahan paradigma juga perlu dilakukan dalam pemilihan moda transportasi. Pada saat ini, kalangan industri banyak menggunakan moda jalan raya (truk, dsb.) sebagai moda transportasi utama. Moda tersebut menjadi pilihan, walaupun lebih mahal daripada moda keretaapi dan moda laut, karena masalah infrastruktur logistik yang belum memadai. Hal ini pula yang menjadi salah satu faktor penyebab logistik Indonesia yang mahal.
Karakteristik geografis Indonesia sebenarnya menuntut penggunaan sistem transportasi multimoda. Pengiriman barang dari Surabaya ke Medan, misalnya, semestinya tidak dengan (hanya) menggunakan truk, namun dengan menggunakan kombinasi truk-kapal atau truk-keretaapi-kapal. Namun, hal ini terkendala dengan ketersediaan infrastruktur logistik, seperti terminal dan fasilitas bongkar muat.
Biaya Pengembangan Infrastruktur
Di sisi lain, pembangunan infrastruktur Indonesia belum diimbangi dengan anggaran yang memadai. Investasi infrastruktur di Indonesia sekitar 4,5-5% PDB. Sebagai perbandingan, investasi infrastruktur di India sudah di atas 7% PDB sejak tahun 2009 dan di China sudah mencapai 9-11% PDB sejak tahun 2005.
Selain itu, penyerapan anggaran infrastruktur juga perlu mendapatkan perhatian. Sebagai gambaran, per akhir 2012 realisasi belanja modal (termasuk infrastruktur di dalamnya) sebesar Rp 140,2 triliun (79,6% dari anggaran sebesar Rp 176,1 triliun).
Dengan keterbatasan anggaran dan penyerapannya tersebut, Indonesia sulit membangun dan mengembangkan infrastrukturnya, termasuk infrastruktur logistik, sebagai penopang pertumbuhan industri dan ekonomi.