TEMPO.CO, Jakarta – Penerapan e-logistic oleh para pelaku dagang e-commerce atau dagang-el di Indonesia dinilai masih berada pada tahap awal dan masih tertinggal bila dibandingkan dengan Cina.
Ketua Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Ignatius Untung, menyatakan model bisnis dagang-el lebih sederhana ketimbang ritel offline yang memerlukan gudang. Dalam platform dagang-el, penyedia hanya menjadi sarana pemasaran, mendata barang yang masuk dan ke luar, serta bekerja sama dengan perusahaan logistik untuk pengiriman.
“Kalau e-logistic kan sudah semuanya otomatis, kita masih tahap awal. Kalau di luar seperti di Cina kan sudah bisa otomatis antar pakai drone, robot, segala macam. Kalau di sini, saya melihatnya sistemnya masih manual perpindahannya,” ujarnya ketika dihubungi Bisnis, Senin 25 Februari 2019.
Meskipun demikian, dia menyatakan sejumlah pelaku dagang-el yang merambah bisnis ritel offline atau O2O (online- to-offline) seperti Blibli dan Bukalapak memiliki gudang untuk mendukung distribusi rantai pasok produk yang dipasarkan. Namun, menurutnya hal ini tidak akan menjadi tren bagi seluruh pelaku dagang-el.
Pasalnya, dia menilai sistem pergudangan membutuhkan investasi yang cukup besar. Hal tersebut dikhawatirkan justru mengurangi potensi keuntungan yang diraih oleh para pelaku dagang-el.
“Kelebihan marketplace kan cost-nya tidak besar ketimbang ritel. Ketika menyediakan gudang juga, nanti keuntungannya malah berkurang” ujarnya.
Sumber dan berita selengkapnya:
https://bisnis.tempo.co/read/1179644/asosiasi-logistik-e-commerce-cina-pakai-drone-kita-masih-manual
Salam,
Divisi Informasi