Oleh: Dr. Zaroni, CISCP., CFMP.
Head of Consulting Division | Supply Chain Indonesia
Di hampir semua bisnis kini telah terdisrupsi dengan model bisnis baru. Para pemain lama (incumbent) harus berhadapan dengan pendatang baru (new entrant) yang tiba-tiba mengambil pangsa pasar pemain lama. Ukuran pasar di sektor bisnis tersebut bisa saja besar dan tetap tumbuh, namun pemain lama justru mengalami penurunan pendapatan dan laba secara signifikan. Bila itu terjadi, bisa saja tanpa disadari pemain lama, pangsa pasar dan segemen pasar yang selama ini telah dilayani pemain lama mulai pindah (shift) ke pendatang baru dengan model bisnis yang benar-benar baru dan berbeda dari model bisnis konvensional.
Kita menyaksikan dalam bisnis transportasi taksi, betapa telah terjadi disrupsi pasar. Para pemain incumbent seperti Blue Bird dan Express mengalami penurunan pendapatan dan laba karena pelanggannya beralih ke Grab, Uber, atau bahkan Go-Jek, yang menawarkan model bisnis yang berbeda dengan model bisnis taksi semacam Blue Bird dan Express.
Grab yang begerak di bidang pelayanan taksi ini mampu membidik penumpang yang sebelumnya tidak bisa naik taksi karena menganggap tarifnya terlalu mahal, dan dengan Grab mereka mendapatkan kemudahan dalam jasa taksi dengan cepat dan murah. Dengan tarif yang lebih murah, Grab dapat melayani kelas menengah baru yang memiliki kemampuan keuangan terbatas. Grab mampu melayani permintaan jasa taksi dengan harga murah karena model bisnisnya yang benar-benar berbeda dengan model bisnis taksi konvensional. Dengan ekonomi berbagi (sharing economy) memungkinkan Grab dapat tetap menyediakan pasokan mobil atau transportasi taksi dengan cepat dan murah.
Tidak hanya Grab, Uber, dan Go-Jek yang telah mampu mendisrupsi pasar jasa transportasi. Di bisnis perbankan, hotel, ritel, pendidikan, pengiriman uang (remittance) rumah makan, pos, logistik, bahkan kesehatan, disrupsi pasar ini tengah terjadi dengan memberikan dampak 3S (speed, surprise, dan shifting) pada pasar dan pemain lama.
Para disruptor tersebut tidak harus menciptakan pasar baru melalui inovasi atau meraih pasar baru dari segmen baru yang tidak terlayani pemain lama. Para disruptor umumnya merebut pasar yang sudah ada. Uber sama sekali tak menciptakan pasar baru. Uber hanya merebut pasar yang sudah ada yang selama ini dinikmati taksi-taksi konvensional.
Memang, awalnya disruption adalah inovasi yang ditujukan untuk menciptakan pasar yang benar-benar baru atau pasar lama, tetapi pada kelompok low-end yang lebih besar dari pasar middle-up (Christensen, 2015). Dengan melayani segmen low-end yang ternyata ukuran pasarnya bisa jadi lebih besar dari pasar middle-up, disruptor akan memeroleh keuntungan yang mencukupi untuk digunakan dalam investasi pengembangan produk atau perbaikan kualitas produk, sehingga secara perlahan-lahan namun pasti, produk atau jasa yang diberikan para disruptor ini mampu menggerus pasar yang ada.
Saat ini dan kedepan, disruption pasar akan terus terjadi dan semakin meluas ke berbagai sektor bisnis, yang dimungkinkan karena perkembangan internet of everything dalam smartphone, tidak terkecuali disruption dalam sektor logistik.
Perkembangan Bisnis Logistik
Ukuran pasar dan pertumbuhan bisnis di sektor logistik sangat besar, baik dari segmen pasar ritel (B2C, C2C) maupun segmen pasar institusi (B2B). Di segmen pasar ritel dan institusi, pertumbuhan bisnis logistik ini terutama didorong oleh penawaran dan permintaan layanan e-commerce, yang memerlukan solusi logistik, baik di aktivitas pergerakan barang dalam cross-border pergudangan (fulfillment), transportasi dan distribusi, maupun layanan antaran (last mile delivery). Layanan e-commerce telah merambah ke hampir semua produk atau komoditi seperti fashion, elektronik, peralatan rumah tangga, perlengkapan kantor, otomotif, dan lain-lain. Digitalisasi pasar dalam bentuk market place, memungkinkan pertumbuhan pasar e-commerce kian besar dan menjangkau hampir semua segmen pasar.
Permintaan pasar e-commerce yang besar ini menciptakan penawaran dalam teori ekonomi dikenal dengan demand create supply yang mendorong tumbuhnya pemain logistik. Para pendatang pemain baru penyedia jasa logistik ini ada yang berasal dari pemain dengan model bisnis logistik konvensional, namun juga ada yang berasal dari pemain dengan model bisnis baru. Mereka sama-sama menambah tingkat kompetisi bisnis logistik semakin ketat dan menyediakan beragam pilihan bagi pengguna jasa logistik dengan menawarkan value proposition yang lebih memikat.
Keunggulan daya saing penyedia jasa logistik ditentukan oleh dua hal yaitu harga dan kualitas layanan. Harga yang ditetapkan dan ditawarkan ke pelanggan sangat ditentukan oleh cost model penyedia jasa logistik. Sementara kualitas layanan ditentukan oleh seberapa memikat value proposition yang ditawarkan ke pelanggan. Value proposition jasa logistik ini mencakup sisi fungsional, emosional, dan experience dari layanan logistik, yang berupa kecepatan, ketepatan, kemudahan, fleksibilitas, respon pelayanan, keamanan, dan lain-lain.
Para pemain penyedia jasa logistik dengan model bisnis konvensional harus menghadapi kompetisi pasar dalam red ocean, yang berakibat pada penurunan pendapatan dan laba. Selain kompetisi yang head to head antarpenyedia jasa logistik, baik dari pemain lama maupun pendatang baru, para pemain penyedia jasa logistik incumbent kini menghadapi pemain penyedia jasa logistik baru dengan model bisnis yang baru dan sama sekali berbeda dengan model bisnis jasa logistik konvensional.
Di bisnis pos atau kurir, para pemain incumbent yang telah mendominasi dan menikmati pasar jasa pos atau kurir ini karena booming pengiriman barang dari e-commerce, dipaksa bersaing dengan pemain penyedia jasa pos atau kurir dengan model bisnis baru yang asalnya mungkin bukan dari perusahaan jasa pos seperti Go-Jek, Uber, dan Grab.
Disrupsi logistik
Perkembangan teknologi internet dalam platform smartphone membuka peluang untuk perusahaan-perusahaan, seperti Go-Jek, Uber, dan Grab yang mampu mengembangkan layanan pos dan logistik. Perusahaan-perusahaan tersebut menawarkan value proposition yang lebih menarik dibandingkan dengan pemain incumbent, seperti JNE dan Kantor Pos.
Value proposition yang diberikan oleh Go-Jek, Uber, dan Grab dalam layanan pos dan logistik ini berupa kecepatan, kemudahan, dan fleksibilitas yang saat ini tidak bisa dipenuhi dengan baik oleh penyedia jasa pos dan logistik incumbent. Di lain sisi, konsumen saat ini membutuhkan dan menginginkan fleksibilitas dalam hal apapun, misalnya dalam hal makan, belanja, bahkan threatment wajah, rambut, bisa menggunakan jasa online yang tidak perlu mengantre, bermacet-macetan, dan lain-lain. Apalagi untuk beberapa konsumen yang sibuk bekerja, sakit, ataupun tidak bisa dan tidak mempunyai waktu untuk berpergian, perusahaan-perusahaan tersebut sangat membantu.
Bayangkan, ketika JNE dan Kantor Pos masih menggunakan model bisnis konvensional dalam proses bisnisnya: collecting, processing, transporting, dan delivery, dengan customer journey mulai dari pelanggan datang ke Kantor Pos atau Agen JNE dengan membawa paket untuk dikirimkan ke alamat tujuan atau penjemputan barang kiriman oleh petugas Kantor Pos atau JNE untuk pelanggan besar seperti perusahaan e-commerce.
Selanjutnya, Kantor Pos atau JNE melakukan proses pengolahan seperti penimbangan paket, penerbitan resi atau bukti pengiriman, sortir, pengantongan, konsolidasi shipment, penerbitan daftar kiriman, dan muat ke alat transportasi. Kemudian di kantor tujuan, dilakukan bongkar muat, sortir, dan pengantaran ke alamat tujuan dengan minta tanda tangan bukti penyerahan kiriman paket. Kantor Pos atau JNE perlu menggunakan teknologi informasi dalam tracking dan tracing setiap proses pergerakan barang, agar pelanggan dapat memonitor status posisi pengiriman barang tersebut.
Dalam proses layanan logistik tersebut, Kantor Pos atau JNE harus menyediakan outlet yang berupa kantor pos atau agen untuk menerima pengiriman paket atau kiriman, selain itu fasilitas pendukung lainnya, seperti: kendaraan untuk transportasi dari kantor pos ke pusat pengolahan, kantor pengolahan atau processing center untuk konsolidasi kiriman, sortir, muat barang ke alat angkut, dan sumber daya lainnya, mencakup komputer, jaringan internet, sistem aplikasi, material handling equipment, serta perlunya sumber daya penting lainnya yaitu tenaga kerja.
Sementara, dengan layanan logistik menggunakan model bisnis baru yang saat ini sedang berkembang, perusahaan-perusahaan seperti Go-Jek, Uber, dan Grab mampu memangkas proses bisnis layanan logistik konvensional dengan memanfaatkan sumber daya yang hampir semuanya berbagi (sharing resources). Para pemain logistik disruption ini tidak perlu menyediakan outlet semacam kantor pos atau agen JNE. Pelanggan tidak perlu datang ke kantor pos atau agen JNE. Go-Jek, Uber, dan Grab akan menjemput ke rumah-rumah, kantor, dan tempat di mana pun kiriman berada.
Tidak perlu ada lagi processing center dengan segala aktivitasnya, karena kiriman langsung diantar ke alamat penerima secara point-to-point. Kalau menggunakan moda kendaraan truk, proses sortir dan packing dapat dilakukan dalam kendaraan ketika kendaraan tersebut berjalan. Dijemput dari titik asal dan diantar sampai ke titik tujuan saat itu juga. Standar waktu penyerahan atau lead time semakin pendek. Tidak lagi hitungan hari, melainkan hitungan jam bahkan menit.
Pengirim atau pelanggan langsung mengetahui tarif jasa pengiriman barang, status pergerakan dan posisi kiriman, dan notification pengantaran kiriman. Semuanya dilakukan dan dipantau melalui smartphone dalam genggaman pelanggan masing-masing.
Disruption layanan logistik ini mampu mengubah proses bisnis logistik konvensional dengan memberikan value proposition lebih menarik, tentu dengan harga yang lebih murah, dan pasokan kapasitas dalam jumlah sangat besar sehingga cepat untuk meraih dan merebut pasar logistik incumbent.
Dari sisi cost model, hampir semua cost structure untuk menyelenggarakan proses bisnis logistik yang dilakukan pemain logistik disruption ini adalah variable cost, yang terkait langsung dengan perubahan volume kiriman atau penjualan. Biaya tetap akan sangat minimal, untuk tidak mengatakan nol. Akibatnya Pemain logistik disruption ini mampu mencetak laba dengan margin yang relatif tinggi, sehingga memiliki kesempatan untuk investasi pengembangan produk dan pembenahan kualitas layanan yang jauh lebih baik.
Akankah pemain logistik incumbent mampu bertahan dengan gempuran pemain logistik baru dengan men-disrupsi model bisnis logistik konvensional?
8 Maret 2017
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.
Download artikel ini:
SCI - Artikel Disruption Bisnis Logistik (646.9 KiB, 368 hits)