Oleh: Dr. (Cand). Drs. Achmad Ridwan Tentowi., S.H., M.H.
Ketua Bidang Maritim APDHI
Pemerhati dan Pengamat Masalah Maritim dan Logistik
Korupsi Sektor Swasta dalam UNCAC 2003
Polemik korupsi yang berkembang di masyarakat saat ini sudah mulai menambah alur dan skema dari biasanya. Sektor swasta dalam hal ini sudah mulai dibicarakan dalam banyak hal, agar sektor ini masuk ke dalam kategori korupsi, mengingat korupsi sektor swasta versi United Nation Convention Against Corruption/UNCAC 2003 yang tidak diakomodasi oleh UU Pemberantasan Korupsi di Indonesia, sebab terhalang oleh azas non-retroaktif modusnya sangat bermacam-macam dan susah untuk diterjemahkan. Polemik yang sesungguhnya, pembicaraan tentang korupsi sebetulnya tidak hanya berada dalam ruang yang terkait dengan kerugian negara dan badan-badan usaha yang kekayaannya milik negara atau ada penyertaan keuangan negara. Korupsi sektor swasta dapat mempengaruhi kerusakan perkembangan pembangunan di suatu negara.
Apapun bentuknya, korupsi selalu membawa dampak dan implikasi yang buruk bagi sebuah negara. Tidak hanya kehancuran ekonomi, namun juga kehancuran mentalitas para pengusaha yang bergelut di sektor swasta. Salah satu dampak buruk yang disebabkan oleh korupsi di sektor swasta adalah inefisiensi di sektor swasta itu sendiri. OECD (2014) juga menjelaskan bahwa korupsi memperberat biaya untuk melakukan suatu proses perdagangan. Peningkatan biaya tersebut tidak hanya terjadi bagi para businessman, tetapi juga berdampak buruk bagi para konsumen hingga ketidakefisienan penggunaan dan alokasi sumber daya. Terkait dampak buruk yang ditimbulkan oleh korupsi bagi sektor swasta, Firma Klynveld Peat Marwick Goerdeler (KPMG) chapter India pernah membuat suatu survei tentang suap dan korupsi terkait dengan dampaknya terhadap ekonomi dan bisnis. KPMG India memberikan beberapa data hasil survei yang telah dilakukan lembaga tersebut di antaranya adalah impact of corruption in business dan cost of corruption.
Dampak buruk lainnya, tidak hanya sekedar inefisiensi, korupsi di sektor swasta juga berdampak pada buruknya sistem persaingan usaha di suatu negara tertentu. Sebagai perbandingan, Switzerland pernah mengategorikan korupsi (suap) di sektor swasta masuk sebagai ketentuan pidana yang ada dalam UU Persaingan Usaha di Switzerland. Dampak jangka panjang, suatu perusahaan dapat terkena imbas kerugian jika terus menerus berada dalam lingkungan bisnis yang bersifat korup.
Jika kita memperhatikan rumusan Pasal 12 dan 21 Konvensi PBB Antikorupsi (United Nation Convention Against Corruption/UNCAC 2003) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 2006 diatur tentang penyuapan di sektor swasta, termasuk tindak pidana korupsi. Secara detail, dalam Pasal 21 UNCAC 2003 terkait dengan penyuapan di sektor swasta, terdapat tiga hal yang sangat penting untuk diperhatikan, yaitu sebagai berikut: subyek hukumnya adalah seseorang yang memimpin atau bekerja dalam kapasitas untuk suatu badan sektor swasta; aktivitasnya terbatas pada sektor swasta yang bergerak di bidang atau dalam melaksanakan kegiatan ekonomi, keuangan atau perdagangan; dan sektor swasta adalah yang tidak termasuk dalam penjelasan keuangan atau perekonomian negara seperti yang disebutkan UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001.
Makna dan intrepretasi terhadap tindak pidana korupsi sudah luas pandangannya. Perluasan korupsi sampai di sektor swasta adalah sesuatu yang harus dilakukan. Penegakan hukum tindak pidana korupsi seringkali terbentur oleh perbedaan antara swasta dan negara, misalnya kasus kredit macet Bank Mandiri mengakibatkan negara sulit mengembalikan kekayaan yang hilang.
OECD Anti-Bribery Convention mengatur soal penyuapan yang dilakukan oleh pejabat publik asing terkait transaksi bisnis internasional. Substansi UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi belum mengatur tentang persoalan korupsi sektor swasta, akan tetapi hanya mengatur tentang penyuapan dan gratifikasi. Korupsi sektor swasta pertama kali di atur dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC 2003) pada konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Penegakan hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menjerat tersangka penyuapan kepada pejabat publik relatif mudah, sebab KPK memiliki senjata hukum untuk membidik tersangka dalam kasus penyuapan. Beberapa pasal terkait seperti: Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11, serta Pasal 12 huruf a, b, c dan d UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001. Kategori suap dalam pasal-pasal tersebut dilihat secara sempit, yaitu hanya yang berkaitan dengan pejabat publik (pemerintah). Sementara, tindak pidana suap yang murni terjadi di sektor swasta memang belum tercakup oleh UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001.
Konvensi PBB menentang korupsi atau United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) telah disahkan dalam konferensi diplomatik di Merida, Mexico pada bulan Desember tahun 2003 dan terbuka untuk ditandatangani oleh negara peserta konvensi. Sidang Majelis Umum PBB dengan resolusi No. 57/169 telah mengadopsi draft konvensi PBB sebagai dokumen yang sah dan siap untuk ditandatangani oleh negara peserta konvensi tanggal 9 s.d. 11 Desember 2003.
8 Januari 2018
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.
Download artikel ini:
SCI - Artikel Dugaan Korupsi Sektor Swasta dalam Bidang Logistik [Bagian 1 dari 3 tulisan] (645.8 KiB, 961 hits)