Oleh: Ricky Virona Martono, CPIM., CLTD.
Trainer, Lecturer, Consultant
PPM Manajemen
Apakah diantara kita pernah mendengar: “Jika kerja keras adalah kunci sukses, seharusnya (tanpa bermaksud merendahkan) kuli bangunan adalah orang yang paling sukses”? Pertanyaan di atas sepertinya dapat menjadi analogi berikut: Jika kerja keras adalah kunci sukses, seharusnya negara berkembang menjadi negara yang paling sukses. Maksudnya adalah bahwa jam kerja di negara berkembang lebih panjang daripada jam kerja kebanyakan negara maju.
Negara-negara maju, khususnya Eropa Barat, identik dengan durasi jam kerja yang lebih pendek dari jam kerja di negara-negara berkembang seperti Asia dan Afrika. Meski demikian, Produk Domestik Bruto (PDB), atau Gross Domestic Product (GDP), negara-negara maju jauh di atas GDP negara-negara berkembang.
Ilustrasi 1.2. menunjukkan bahwa negara-negara Eropa Barat dan Amerika rata-rata bekerja selama 1.600 jam setahun dibandingkan negara-negara berkembang di Asia dan Amerika Latin yang sekitar 2.100 jam. Namun GDP negara-negara maju kebanyakan berada pada kisaran USD 40.000 sampai USD, dan GDP negara-negara berkembang kebanyakan masih di bawah USD 20.000. Selain itu, tingkat produktivitas menurut output per jam di negara maju (sekitar USD 80 per jam) dengan jam kerja lebih rendah ternyata jauh lebih tinggi dibandingkan di negara berkembang (sekitar USD 20 per jam).
Ilustrasi 1. Perbandingan Jam Kerja dengan Output dan Produktivitas di Berbagai Negara
Ilustrasi 1 menunjukkan kalau perbandingan antara pekerjaan dan output di negara maju secara umum lebih ‘berkualitas’. Mengapa bisa demikian?
Mungkin jawabannya adalah karena argument berikut ini: Jika kita kaitkan posisi negara maju dan negara berkembang dalam smile curve pada Ilustrasi 2, mayoritas tenaga kerja negara maju bekerja sebagai peran inovator (Research and Development, Product Design) dan negara berkembang sebagai eksekutor (produksi).
Pada tahun 1925, Stan Shih, pendiri perusahaan Acer, mengemukakan konsep Smile Curve. Konsep ini menyatakan bahwa di setiap tahapan dalam proses produksi produk teknologi informasi sampai dengan tahap pemasaran (marketing) menghasilkan value added yang berbeda. Menurut beliau, tahapan desain produk dan pemasaran mengendalikan value added tertinggi dibandingkan pada proses yang berada di tengah, yaitu tahap produksi atau manufacturing. Lebih lanjut, Frederick (2010) menganalisa konsep Smile Curve pada industri tekstil. Dengan demikian, sebuah jaringan Supply Chain yang dipetakan menurut konsep Smile Curvedapat digambarkan sebagai berikut:
Ilustrasi 1.2. Smile Curve
Sebagai inovator, negara maju menciptakan mesin produksi dan inovasi desain produk. Misalkan sebuah negara maju mendesain produk elektronik dan mesin produksi penghasil mesin elektronik tersebut. Untuk mendesain produk, menghasilkan mesin produksi dan inovasi, sampai dengan produk elektronik berhasil dibuat -misalkan- dibutuhkan waktu selama dua tahun bekerja (termasuk lembur). Setelah dua tahun, mesin produksi dikirim ke negara berkembang untuk dioperasikan dan dirawat (maintenance). Setelah itu, tenaga kerja di negara berkembang ditugaskan ‘menekan tombol’ mesin untuk menghasilkan produk.
Dengan survei pasar yang bagus, produk tersebut laku dan operasi mesin ditingkatkan menjadi tiga (3) shift, atau selama 24 jam. Mesin harus diawasi, dirawat, diperbaiki jika rusak agar menghasilkan output secara kontinyu selama 24 jam per hari. Bahkan dapat dioperasikan sampai tujuh (7) hari seminggu. Sehingga jam kerja seorang tenaga kerja di negara berkembang paling tidak sebanyak delapan (8) jam per hari, atau 40 jam seminggu. Angka ini dapat lebih tinggi ketika ada lembur di akhir pekan atau ada masalah dengan mesin produksi yang harus diperbaiki sampai shift berikutnya.
Sementara itu, tenaga kerja di negara inovator bekerja sebagai pengawas operasional mesin produksi tersebut. Sebagai pengawas, tugasnya mengontrol secara mingguan, bulanan, kuartil, dan tahunan. Jika ada masalah yang tidak signifikan, maka tenaga kerja di negara berkembang dapat menyelesaikannnya sendiri karena memang disediakan panduan jika mesin bermasalah. Ketika tenaga kerja di negara berkembang mampu menjalankan mesin, menyelesaikan masalahnya sendiri, dan menerapkan improvement, maka tenaga kerja sebagai inovator ini -ibaratnya- menerima laporan yang “baik-baik saja” setiap harinya. Maka, jam kerja sebagai inovator sebenarnya tidak perlu sampai selama delapan (8) jam per hari.
Pembahasan selanjutnya adalah isu profit. Di akhir tahun, semua output yang dihasilkan mesin tersebut menghasilkan keuntungan melimpah yang mana sebagian besar keuntungan tersebut mestinya dikirim kembali ke negara inovator dalam berbagai bentuk. Misalnya melalui:
- Dividen saham negara inovator terhadap perusahaan yang mengoperasikan mesin tersebut.
- Biaya hak cipta mesin dan produk.
- Transfer costing.
- Biaya perawatan skala besar (overhaul maintenance) dan penggantian suku cadang (spare part) yang hanya diproduksi oleh negara inovator mesin tersebut. Tentunya sebagai pembuat mesin, sang inovator dapat memperkirakan kapan dan berapa biaya untuk overhaul maintenance dan penggantian suku cadang. Sehingga, keuntungan dan biaya dalam jangka panjang sudah diperkirakan si pembuat, bahkan sebelum mesin diterima negara berkembang. Dengan kata lain, negara berkembang sudah berada di “genggaman” investasi dan profit negara mau.
Di negara maju sendiri, kebanyakan tenaga kerjanya bekerja dengan teknologi buatan negara mereka sendiri. Inilah yang membuat pekerjaan mereka lebih efektif dan menghasilkan value added tinggi. Akumulasi semua kondisi tadi pastilah akan berkontribusi bagi tingginya nilai GDP dan output di negara maju (inovator).
Selain itu, aktivitas dengan value added tinggi, jam kerja pendek, dan penghasilan tinggi berarti makin menarik tenaga kerja yang memiliki karakter inovator dari berbagai negara berkembang. Sehingga dalam jangka panjang, makin inovatif pula negara dan perusahaan inovator. Negara maju memiliki peluang dan akses lebih besar untuk menciptakan mesin-mesin produksi dan inovasi berikutnya.
Akibatnya, siklus yang disebutkan di atas tadi (desain produk selama beberapa tahun – mesin dikirim ke negara berkembang – tenaga kerja negara maju menjadi pengawas – akhir tahun menerima keuntungan melimpah dari kerja keras tenaga kerja di negara berkembang) akan terulang kembali dan terakumulasi lagi. Negara-negara berkembang akan semakin tertinggal, kecuali negara-negara berkembang beralih menjadi negara innovator dan bukan berperan sebagai pekerja (operator) dari mesin produksi saja.
7 Juni 2023
Referensi:
Frederick, Stacey Elizabeth. 2010.Development and Application of a Value Chain Research Approach to Understand and Evaluate Internal and External Factors and Relationships Affecting Economic Competitiveness in the Textile Value Chain. Doctoral Thesis. Raleigh, North Carolina State University.
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia
Download artikel ini:
SCI - Artikel Hubungan Antara Lamanya Jam Kerja dengan Value Added yang Dikerjakan (983.1 KiB, 190 hits)