Bisnis, JAKARTA — Industri jasa titipan dikhawatirkan mulai merambah kepada praktik-praktik hand carry yang banyak merugikan pendapatan negara. Pasalnya, pelanggaran kepabeanan atas praktik ini terindikasi terus meningkat dari waktu ke waktu.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), hingga akhir September 2019, jumlah pelanggaran melalui praktik bisnis jasa titipan mencapai 422 kasus. Angka ini merupakan jumlah kasus yang hanya terjadi di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng.
Senior Consultant Supply Chain Indonesia, Widia Erlangga, mengkhawatirkan bahwa pratik jasa titipan atau jastip bergeser menjadi praktik hand carry.
Hand carry merupakan praktik pengiriman barang dengan menitipkan barang jenis lain secara bersama-sama dalam bagasi, yang dapat mencakup barang-barang industri seperti suku cadang, tetapi kerap tidak mencantumkan nilai barang sesuai dengan jumlahnya.
Artinya, praktik hand carry ini dinilai rawan menimbulkan kerugian negara karena nilai barang yang dilaporkan lebih rendah atau undervalue dibandingkan dengan nilai barang yang sesungguhnya.
“Ini perlu diperhatikan, bukan tidak mungkin jastip [jasa titipan] menjadi hand carry. Itu hampir sama dengan jastip barang dibawa, yang sering terjadi di industri pabrikan, suku cadang penting pabrikan,” jelasnya kepada Bisnis, Selasa (1/10).
Dia menjelaskan, pelaku hand carry membawa sendiri barang tersebut dari luar Indonesia ke dalam wilayah pabean Indonesia, yang terdeteksi bahwa harga yang tercantum pada barang acap kali berbeda dengan harga yang semestinya.
Walhasil, akibat praktik modus ini, kewajiban pungutan yang ditarik negara jumlahnya tidak sesuai atau lebih kecil dari semestinya.
Sumber dan berita selengkapnya:
Bisnis Indonesia, edisi cetak Rabu, 2 Oktober 2019.
Salam,
Divisi Informasi