Oleh: Anang Hidayat | Senior Consultant at Supply Chain Indonesia
Kondisi dwelling time di pelabuhan Indonesia masih jauh tertinggal dari negara-negara ASEAN, hal ini sangat menjadi perhatian pemerintah dan salah satu hal yang harus segera di perbaiki karena akan sangat berpengaruh terhadap biaya logistik di Indonesia, salah satu isu yang menjadi alasan penyebab lamanya proses dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok, adalah adanya importir nakal yang dengan sengaja menunda penyelesaian importasi karena tidak ada ruang untuk menampung tambahan persediaan yang datang (inbound supply), sehingga terpaksa mereka menyimpan kontainer dipelabuhan sampai mereka mendapatkan ruang kosong di gudang. Apakah tudingan tersebut valid?, bagaimana hal itu bisa terjadi dan bagaimana megatasi masalah tersebut? Importir yang dimakasudkan di atas umumnya dialamatkan kepada importir non produsen yang bergerak di bidang penjualan retail.
Importir non produsen tersebut bertindak sebagai distributor (agent) dari produsen/seller dari satu pemegang merek atau dalam praktek pembelian produk dengan layanan private labeling, para produsen dalam hal ini bertindak sebagi principal yang terikat dalam suatu perjanjian distributorship agreement. Salah satu klausul dalam perjanjian tersebut mensyaratkan purchase order diatur dalam model “requirement contract” atau “input contract“.
Dalam model purchase “input contract“ pihak distributor berkewajiban untuk membeli semua produk yang di produksi oleh pihak principal dan sebaliknya bila dilakukan dengan “requirement contract“ . Dalam penentuan model purchase order yang mana yang dipakai bergantung kepada kesepakatan antara kedua belah pihak. Secara praktek bisnis kesepakatan tersebut ditentukan dari sudut kepentingan kedua belah pihak. Dalam trademark contract distributorship agreement, umumnya pihak distributor (agent)/buyerlah yang menawarkan menjadi distributor brand/trade mark , begitu juga dalam pembelian produk dengan model private labeling. Dalam hal ini pihak trade mark owner/producer/principal/seller akan meminta contract purchase order dengan model “input contract“ dimana konsekuensinya pihak distributor/agent/buyer harus menerima semua produk yang di produksi oleh pihak principal/producer/seller yang diharapkan mampu memasarkan produknya/membeli produknya apapun yang di produksi/ dijual. Dalam model contract purchase order dengan model “input order”, pihak distributor/agent/buyer akan sering mengalami masalah dalam menentukan product category assortment yang bisa mengakibatkan over supply.
Pihak principal dalam kategori produknya boleh jadi tidak diketahui oleh pihak distributor, misal pihak principal mengirimkan satu produk penunjang dari tertentu diluar dari main brand/trade marknya, sebagai contoh, produk sepatu: pihak principal mengirimkan produk cairan pemeliharaan sepatu semacam semir cair, product ini sesuai ketentuan bea cukai harus memiliki ijin edar PKRT, pihak principal/owner tidak mengetahui tentang aturan terkait produk tersebut, disisi lain pihak distributor tidak memiliki ijin edar produk tersebut, maka bila order tersebut dikirim, sudah dapat dipastikan proses penyelesaian kepabeanannya akan bermasalah, dan sudah pasti menimbulkan long dwelling time, karena pihak importir harus mengurus ijin atau dilakukan re–export. Misal hal lain, dalam pembelian produk dengan model private labeling, pihak penjual akan mendorong produknya terkirim ke pihak seller, sementar seller tidak memiliki atau kurang memiliki data yang memadai mengenai siklus perputaran produk dari unit ketersediaannya (SKU) secara internal sehingga kurang atau bahkan tidak mengetahui produk mana yang harus dilakukan re-order atau replenishment, sehingga saat barang tiba tidak tersedia ruang yang cukup untuk dapat menampung inbound supply tersebut. Dalam keadaan seperti ini tidak ada opsi lain yang diambil kecuali dengan menunda proses pengeluaran barang di pelabuhan dibanding harus menyimpan persediaan tersebut sebagai over flow di tempat lain, hal ini secara operasional dan cost akan lebih menyulitkan dan lebih besar dibanding disimpan dalam kontainer sementara untuk menunggu ruang gudang yang tersedia.
Hal ini tentu saja akan mengakibatkan biaya logistik yang tinggi dan akan selalu menjadi masalah dalam efisiensi persediaan, cost logistics dan cost transportasi. Untuk mengatasi masalah yang disebutkan di atas pihak distributor/agent/buyer harus melakukan suatu pendekatan dengan pihak owner/producer/seller agar bisa saling memahami kebutuhan masing masing. Salah satu pendekatan dalam mengatasi masalah di atas adalah dengan menerapkan Kolaborasi Perencanaan peramalan dan pengisian kembali persediaan (CPFR). CPFR adalah suatu usaha yang menggabungkan upaya mitra usaha (trading partners) dalam perencanaan dan pemenuhan kebutuhan permintaan pelanggan dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi dalam keseluruhan rantai persediaan agar menghasilakan efisiensi dalam memenuhi permintaan client dan efisiensi persediaan, biaya logistik dan biaya transportasi. Cara ini mulai dikembangkan sekitar tahun 2001 Secara garis besar Kolaborasi Perencanaan peramalan dan pengisian kembali persediaan menuntut adanya kordinasi antar pihak Retailer, buyer (distributor) dan seller (producer/principal) yang dimulai dari tahap perencanaan, peramalan, pelaksanaan dan analisa terhadap pelaksanaanya Secara singkat Kolaborasi Perencanaan peramalan dan pengisian kembali persediaan (CPFR) digambarkan sebagai berikut :
- Tahap perencanaan dilakukan secara bersama-sama, dalam hal ini kedua belah pihak bisa melakukan perencanaan bisnis secara bersama sama untuk menentukan tujuan dan target. Infomasi dimulai di level retails store dimana data pergerakan persediaan langsung didapat dari titik penjualan (POS), data diolah untuk melihat persediaan mana yang siklus persediaannya tinggi, kemudian dikatagorisasi untuk menentukan urutan dan sebarannya , selanjutnya ditentukan persediaan mana yang (SKU) tinggi siklus perputarannya dan memiliki sebaran yang terbesar.
- Data yang telah diolah selanjutnya dijadikan acuan dalam melakukan peramalan penjualan (sales forcasting) dan peramalan pemesanan (order forcasting).
- Peramalan penjualan dan peramalan pemesanan selanjutnya diturunkan menjadi pemesanan dan pelaksanaa pemesanan.
- Tahap terakhir adalah proses analisa dari proses diatas untuk menetukan langkah-langkah yang diperlukan dalam hal terjadi perubahan, termasuk diantaranya adalah batasan batasan logistik (logistics restriction) yang akan mengakibatkan ganguan dalam proses supply chain.
Ke empat langkah dalam proses Kolaborasi Perencanaan peramalan dan pengisian kembali persediaan (CPFR), dilakukan secara terus menerus dengan interaksi yang intensive antar para mitra usaha sehingga mampu mengantisipasi berbagai kendala yang menghambat kelancaran kolaborasi ini yang akan menggangu proses rantai pasok secara keseluruhan Akan tetapi Kolaborasi Perencanaan peramalan dan pengisian kembali persediaan (CPFR), tidak bisa dilakukan dengan cara manual, melainkan harus dilakukan dalam satu sistem informasi secara terpadu yang melibatkan mitra uasaha yaitu antar retailer/distributor dengan satu supplier atau dengan beberapa supplier.
Para pihak yang terlibat pun harus ada keterbukaan, tidak saling menutupi karena hanya akan menghambat proses kolaborasi, tentu pada tingkat yang tidak saling merugikan antara para mitra.
Dengan menerapkan Kolaborasi Perencanaan peramalan dan pengisian kembali persediaan (CPFR), maka akan terjalin satu koordinasi dan saling kesepahaman yang baik antar mitra bisnis, tidak ada pihak merasa dirugikan/dibebankan karena sudah saling mengerti antara kebutuhan yang satu dengan yang lain sehingga hubungan bisnis akan lebih sustainable, dan yang utama akan tercipta efisiensi dalam keseluruhan rantai pasok yang pada gilirannya akan mengurangi stock idle/over supply, mengurangi biaya logistik dan biaya transportasi dan pada saat yang sama akan mampu memberikan respsonse terhadap perubahan-perubahan dalam permintaan yang timbul dari permintaan pasar, perubahan trend pasar yang disebakan oleh internal maupun external rantai pasokan dan juga mampu mengabaikan tudingan yang dialamatkan kepada para importir sebagai salah satu penyebab long dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok.
Download Artikel ini:
Kolaborasi Perencanaan Peramalan dan Pengisian Kembali Persediaan (530.2 KiB, 1,640 hits)