Peraturan Presiden No. 26 Tahun 2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional menyebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) bahwa “Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan panduan dalam pengembangan logistik bagi para pemangku kepentingan terkait serta koordinasi kebijakan dan pengembangan Sistem Logistik Nasional.”
Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa “Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, berfungsi sebagai acuan bagi menteri, pimpinan lembaga non kementerian, gubernur, dan bupati/walikota dalam rangka penyusunan kebijakan dan rencana kerja yang terkait pengembangan Sistem Logistik Nasional di bidang tugas masing-masing, yang dituangkan dalam dokumen rencana strategis masing-masing kementerian/lembaga pemerintah non kementerian dan pemerintah daerah sebagai bagian dari dokumen perencanaan pembangunan.”
Di luar soal kelebihan dan kekurangannya, kita tentu sangat mengharapkan Cetak Biru tersebut dapat diimplementasikan secara baik. Salah satu persoalannya adalah bagaimana “kekuatan” Cetak Biru tersebut untuk menjadi acuan seperti disebutkan pada Pasal 2 itu.
Selanjutnya, berkaitan dengan koordinasi implementasinya, Pasal 3 Perpres tersebut menyebutkan bahwa:
“(1) Pelaksanaan Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, dikoordinasikan oleh Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (KP3EI) yang dibentuk dengan Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025.”
“(2) Untuk membantu pelaksanaan tugas KP3EI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dibentuk Tim Kerja yang susunan keanggotaan dan tugasnya ditetapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua Harian KP3EI.”
Mengenai kelembagaan sebagai koordinator/integrator pada Bab 2 Perkembangan dan Permasalahan Logistik Nasional bagian akhir, pada huruf H. Kelembagaan poin 2. Permasalahan Kelembagaan disebutkan sebagai berikut:
“Kegiatan logistik sangat membutuhkan keterpaduan baik dari aspek infrastruktur maupun manajemen, sementara kegiatan logistik saat ini bersifat parsial dan pembinaannya tersebar di berbagai Kementerian. Kondisi yang demikian ini dapat berpotensi menimbulkan masalah yang berkaitan dengan aspek koordinasi, keselarasan, keterpaduan berbagai unsur yang terlibat dalam aktifitas logistik. Oleh karena itu, dibutuhkan tata kelola yang kuat untuk mendukung efektifitas pelaksanaan koordinasi, dalam rangka menyelaraskan dan mengintegrasikan seluruh kebijakan pengembangan sistem logistik nasional.”
“Salah satu opsi pelaksanaan (best practices) pengembangan logistik nasional di banyak negara seperti di Jerman, Jepang, Korea, Thailand, Hongkong, Australia, dan lain-lain dilakukan oleh suatu dewan logistik nasional (logistics council). Dewan logistik nasional ini merupakan lembaga non struktural, yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden/Perdana Menteri. Dewan ini berfungsi sebagai koordinator, integrator, dan regulator dalam mewujudkan sistem logistik nasional yang terintegrasi, efektif dan efisien”.
Sekali lagi, masalah implementasi perlu menjadi perhatian. Kita pahami bahwa perlu upaya keras untuk mengimplementasikan strategi, kebijakan, peraturan, dsb. di Indonesia, termasuk dalam koordinasi di antara lembaga/instansi terkait. Satu hal yang juga sangat penting adalah persoalan implementasi berkaitan pula dengan “waktu”.