Oleh: Ricky Virona Martono, CPIM., CLTD.
Trainer, Lecturer, & Consultant
PPM Manajemen
Jika Indonesia ingin bersaing di masa depan, maka harus meninggalkan mentalitas dalam mengandalkan faktor alam (given), seperti “Indonesia terletak di antara dua benua dan dua samudera”. Terbukti, sampai hari ini Indonesia belum mampu memanfaatkan kelebihannya ini secara maksimal. Nilai perdagangan yang melewati Indonesia pun masih kalah dibandingkan dengan Singapura, seakan-akan Indonesia hanya memperoleh “remah-remah” perdagangan dari status Singapura sebagai hub di Asia Tenggara.
Contoh dimana sebuah lokasi yang strategis dapat ‘diciptakan’ (created) adalah Arab Saudi, Qatar, dan India. Center of gravity dari Supply Chain Asia sedang bergerak menuju ketiganya. Arab Saudi dan India pun pada dasarnya dapat mengklaim negaranya ada di posisi strategis. Misalnya, Arab Saudi berada di jalur yang dilewati perdagangan Asia-Eropa dan berada di antara Benua Asia, Afrika, dan Eropa. India pun terletak di antara lokasi Asia Timur dan Timur Tengah. Setiap lokasi yang disebut tadi memiliki sumber daya alam melimpah. Namun Arab Saudi dan India memilih mengedepankan inovasi daripada sekedar memanfaatkan lokasi yang strategis.
Kingdom of Saudi Arabia
Vision 2030 merupakan program investasi yang mentransformasi sektor logistik menjadi penopang pertumbuhan ekonomi nasional. Investasi dilakukan pada sektor pelabuhan, jalur kereta, jalan raya, bandar udara, industri kimia, dan sebagainya. Investasi dilakukan melalui kerja sama internasional dan mengembangkan infrastruktur yang sudah ada. Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan pergerakan produk di masa sekarang dan di masa yang akan datang.
Kebijakan Arab Saudi ini adalah upaya diversifikasi industri selain minyak bumi, yang mana konsumsinya akan berkurang seiring dengan pergerakan dunia ke arah industri ramah lingkungan. Arab Saudi menginvestasikan lebih dari 500 Miliar Riyal (USD 13 Miliar) untuk mengembangkan infrastruktur dan transportasi untuk menjadikannya sebagai pusat logisik global. Lokasi Arab Saudi secara alamiah sudah strategis, yaitu diantara Asia-Eropa-Afrika dan dilintasi kapal melalui Laut Merah dan Teluk Persia. Pada tahun 2015 Laut Merah dilewati 12% dari total kontainer di seluruh dunia (Kementerian Transportasi Arab Saudi, 2015)[1].
Arab Saudi di sisi Laut Merah tersedia beberapa pelabuhan: King Abdullah Port, Yanbu Port, Jeddah Islamic Port (pintu masuk ziarah Umat Muslim ke Mekah dan Medinah),dan Duba Port. Arab Saudi pada sisi Teluk Persia terdapat Jubail Port dan Damman Port. Total perluasan akan meningkatkan kapasitas total sebesar 29% (2030 vs 2017). Target pengembangan pelabuhan-pelabuhan ini adalah meningkatkan daya saing Logistik, termasuk service quality dan infrastruktur pelabuhan. Di Jeddah dibangun Kawasan Berikat (Bonded), fasilitas bahan bakar dan terminal yang mampu memaksimalkan perputaran (turnaround) dari vessel.
Kapasitas Bandar Udara sebanyak 103 juta penumpang di tahun 2018 dinaikkan menjadi 330 juta di tahun 2030, untuk dapat bersaing dengan Bandar Udara Abu Dhabi dan Dubai di Uni Emirates Arab. Ditambah dengan peningkatan kapasitas jaringan kereta dari 18 juta ton menjadi 36 juta ton dan pengurangan waktu custome clearance dari sekitar 7 hari (tahun 2017) menjadi 2 jam (target tahun 2022), maka pergerakan barang yang melintasi Saudi Arabia akan lebih massif dan cepat. Investasi besar-besaran ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi di sekitarnya. Jazirah Arab sendiri diperkirakan akan menjadi center of gravity yang baru di tahun 2030.
Selain itu, lokasi Arab juga dekat dengan Afrika sebagai penyedia bahan mentah melimpah dunia dan pusat Kawasan Industri alternatif setelah Cina. Cukup dekat juga dengan India sebagai lokasi Research and Development industri teknologi informasi dan mobil listrik (contohnya: Tesla). Ini adalah potensi peluang kolaborasi di masa depan. Selain itu, Arab Saudi dapat menyerap tenaga kerja murah dari Afrika dan India yang cukup fasih berbahasa Inggris. Tercatat setengah tenaga kerja di Arab Saudi adalah pekerja migran (De Bel-Air, 2014)[1].
Keuntungan Arab ini dilengkapi dengan kehadiran Pelabuhan Doha dan Bandar Udara Hamad (keduanya di Qatar) yang sebelumnya sudah membuktikan bahwa lokasi dan faktor geografis itu diciptakan (created), bukan ‘disediakan alam’ (given) seperti konsep ‘terletak diantara dua benua dan dua samudera’. Dua lokasi yang dulunya berupa gurun disulap menjadi titik penghubung berupa pelabuhan, bandar udara, dan kawasan industri Petrokimia dan manufaktur metal.
Pertumbuhan airlines cargo traffic di Bandar Udara Hamad meningkat dari 995 ribu ton di tahun 2014 menjadi 2,6 juta ton pada tahun 2021[2]. Sementara itu, Pelabuhan Doha memiliki kapasitas 1,5 juta TEUs di tahun 2020 dan akan dikembangkan sampai memiliki kapasitas 6 juta TEUs pada tahun 2025. Pelabuhan Doha sendiri memiliki 4 terminal container, 5 terminal cargo umum, sebuah roll-on/roll-off berth untuk feri dan penumpang.[3]
India
Adalah contoh lain dimana inovasi menjadi modal untuk berpartisipasi di dalam jaringan Supply Chain skala global. Dengan inovasi dan keterampilan di bidang Teknologi Informasi, India dipandang sebagai lokasi strategis untuk bidang research and development yang mana memberikan value added tertinggi di dalam jaringan Global Value Chain.
Pada awal tahun 2021 Tesla memutuskan untuk memilih Bangalore (India) sebagai lokasi produksi dan pusat teknologi mobil listrik di luar Amerika karena ketersediaan ahli teknologi di India yang melimpah. Saingan Bangalore adalah Tel Aviv (Israel).
Bangalore sendiri menjadi pusat pengembangan teknologi banyak perusahaan besar, seperti: Mercedes-Benz, General Motors, Continental, Bosch, Delphi and Volvo. Sedangkan Tel Aviv sudah menjadi pusat pengembangan teknologi bagi Intel, IBM, Google, Facebook, Hewlett-Packard, Philips, Cisco Systems, Oracle Corporation, SAP, BMC Software, Microsoft, dan Motorola. Perbedaannya, India menawarkan akses kepada pasar yang sangat besar, yaitu sebagai negara dengan jumlah penjualan mobil keempat terbesar di dunia setelah China, Amerika, dan Jepang. Ditambah dengan pendapatan per kapita India sebesar USD 2.000 pada tahun 2019 -lebih rendah dibandingkan Indonesia yang sebesar USD 4.100-, biaya tenaga kerja di India pun jauh lebih murah dibandingkan Israel.
Mengapa bisa ada begitu banyak ahli teknologi di India? jawabannya adalah konsentrasi pembangunan pada pendidikan. Pada tahun 1956, Perdana Menteri Nehru mendirikan Indian Institutes of Technology (IIT) yang menyebar di berbagai kota di India dengan kualitas yang setara. Tujuannya untuk membuka peluang sebesar-besarnya kepada masyarakat India untuk belajar. Pada tahun 1960an sudah ada 6 IIT di India, dan pada tahun 2016 sudah ada 23 IIT di seluruh penjuru India.
Ditambah dengan semangat belajar tinggi dan kemampuan Bahasa Inggris di atas rata-rata orang Asia, IIT sudah menghasilkan banyak CEO perusahaan besar dan profesor di kampus besar Amerika. Misalnya: Sundar Pichai (CEO Google) dan Pradeep Khosla (professor Komputer di Carnegie Mellon) alumni IIT Kharagpur, Arvind Krishna (CEO IBM) alumni IIT Kanpur, Nitin Nohria (Dekan Harvard Business School periode 2010-2020) alumni IIT Bombay. Tentunya peran mereka dapat dimanfaatkan sebagai peluang membangun jaringan India di seluruh dunia untuk membangun inovasi di negerinya.
Dengan modal tersebut, India berpotensi menciptakan (create) lokasi geografis negaranya menjadi strategis karena berada di antara hub Asia Tenggara (Singapura) dan hub Timur Tengah, yaitu Qatar (Pelabuhan Doha dan Bandar Udara Hamad) dan Dubai (Pelabuhan Jebel Ali dan Banda Udara Dubai).
Dari sini kita belajar bahwa Indonesia harus mempersiapkan sumber daya manusianya sebagai innovator. Indonesia harus mendorong sumber daya manusianya memiliki semangat belajar tinggi, meningkatkan literasi, bahkan keserakahan dalam memperoleh Pengetahuan. Selain menjadi innovator, manusia Indonesia sendirilah yang harus mengelola dan menjalankan strategi Logistik dan pengembangan berbagai industri. Regulasi dan birokrasi terus diarahkan bagi kemudahan investasi. Indonesia perlu menciptakan sesuatu kelebihan yang created, karena tidak bisa selamanya bergantung pada faktor alam.
Untuk menumbuhkan inovasi dibutuhkan tingkat literasi dan peringkat literasi Indonesia sangat rendah, yaitu ada di peringkat 60 dari 61 negara (UNESCO, 2018). Indonesia masih jauh dalam menjadi negara innovator dan akan selalu sulit memanfaatkan lokasinya yang strategis. Masyarakat Indonesia masih akan menjadi “operator” di industri, bukan innovator.
Apakah Indonesia akan selalu berada pada posisi ‘penyedia raw material’ dalam jaringan Global Value Chain?
31 Maret 2023
Referensi:
[1] https://mot.gov.sa/en/AboutUs/Pages/Logisticsplatform.aspx 2015 World’s Containerized Seaborne Volumes
[2]De Bel-Air, F. Demography, Migration, and Labour Market in Saudi Arabia. 2014.
[3] https://aci.aero/2022/07/25/final-data-released-top-20-busiest-airports-confirmed/
[4] https://www.meed.com/building-a-logistics-hub-in-qatar/
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.
Download artikel ini:
SCI - Artikel Lokasi Strategis dalam Logistik Dapat Diciptakan, Bukan Anuegrah (953.9 KiB, 92 hits)