Oleh: Bortiandy Tobing, S.T., M.M.T. | Senior Consultant – Supply Chain Indonesia
Kegiatan mudik pada perayaan hari keagamaan, khususnya Lebaran di Indonesia sudah menjadi tradisi sejak lama. Tradisi mudik secara tidak langsung difasilitasi oleh pemerintah sejak tahun 2002, melalui SKB 2 Menteri tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama. Volume arus mudik terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun, hal ini tidak diimbangi dengan peningkatan infrastruktur, khususnya jalan raya.
Program dan fasilitas mudik gratis yang dilakukan oleh pemerintah dan pihak swasta ternyata tidak berdampak signifikan terhadap pengurangan penggunaan kendaraan pribadi, baik mobil maupun sepeda motor. Kebebasan dalam menentukan jam keberangkatan, titik istirahat, dan mobilitas selama di daerah tujuan merupakan pertimbangan utama sebagian besar pemudik untuk tetap menggunakan kendaraan pribadi. Hal ini tentu berbeda dengan perilaku pemudik di luar Jawa yang karena keterbatasan waktu dan jarak harus menggunakan moda transportasi udara atau laut.
Kegiatan mudik semestinya dikelola secara baik, mencakup perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan perbaikan (Plan, Do, Check, Action/PDCA) untuk memberikan kelancaran dan kenyamanan dalam arus migrasi masyarakat terkait perayaan hari raya keagamaan. Kinerja pengelolaan atau manajemen mudik dapat diukur melalui tujuh indikator, yaitu:
- Ketersediaan logistik (sembako, uang kontan, BBM, dll.).
- Kesiapan infrastruktur (jalan, bandara, pelabuhan, stasiun KA, terminal, telekomunikasi, dll.).
- Ketersediaan moda transportasi umum (kereta api, pesawat terbang, kapal laut, bis, dan taksi).
- Kesiapan aparat terkait, termasuk koordinasi lintas kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah.
- Crisis center (layanan keluhan masyarakat, dll.).
- Keamanan dan keselamatan.
- Stabilisasi harga (termasuk harga tiket transportasi).
Manajemen mudik oleh pemerintah telah berjalan semakin membaik. Hal ini dapat dilihat dari ketersediaan logistik dan infrastruktur untuk arus mudik, regulasi untuk angkutan barang, dan berbagai hal lainnya yang dipersiapkan oleh pihak-pihak terkait.
Berkaitan dengan kemacetan tersebut, pengaturan lalu lintas, khususnya mengenai kemacetan, telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) dan Keputusan Menteri Perhubungan (Permenhub) mengenai Rekayasa Lalu Lintas (PP 43/1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan) yang disempurnakan dengan UU 22/2009 dan PP 32/2011. Kemudian peraturan ini dilengkapi lagi dengan pedoman pelaksanaan melalui Permenhub 96/2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas.
Pembenahan Rekayasa Lalu Lintas
Berdasarkan PP 32/2011, Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas adalah serangkaian usaha dan kegiatan yang meliputi perencanaan, pengadaan, pemasangan, pengaturan, dan pemeliharaan fasilitas perlengkapan jalan dalam rangka mewujudkan, mendukung, dan memelihara keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas.
Dalam kenyataannya, setelah 23 tahun sejak terbitnya PP 43/1993, kemacetan selalu menjadi permasalahan yang rutin ditemui khususnya pada saat mudik dan berbagai pihak menjadikan hal ini sebagai bahan untuk menyalahkan pemerintah tanpa berupaya memberikan solusi. Manajemen dan rekayasa lalu lintas masih sebatas “mengurai kemacetan” bukan “mencegah kemacetan”. Hal ini terlihat dari pelaksanaan konsep “buka tutup jalan” selama ini, misalnya saat liburan di daerah Puncak Bogor, Jawa Barat, dan saat arus mudik di daerah Nagreg, Jawa Barat.
Akar penyebab kemacetan ini adalah penyempitan jalur kendaraan (bottle neck), terutama pertemuan dari beberapa jalur dan gerbang tol. Penyelesaian masalah bottle neck hanya dapat dilakukan dengan meningkatkan kecepatan layanan atau aliran pada jalur yang menyempit. Untuk itu, manajemen dan rekayasa lalu lintas harus memiliki teknik dan cara yang mampu mengantisipasi kemacetan secara dini (early warning) agar dapat diambil tindakan awal untuk mencegah terjadinya kemacetan akibat keterlambatan penanganan.
Pada Lampiran I Permenhub PM 96/2015 Bab II.D disebutkan bahwa tingkat pelayanan pada ruas jalan diklasifikasikan dalam enam kategori (Tingkat Layanan A hingga F) dengan penjelasan yang cukup jelas dan macet termasuk kategori Tingkat Layanan F.
Mengacu pada kategori tingkat layanan tersebut, maka langkah pembenahan yang dapat dilakukan dalam manajemen dan rekayasa lalu lintas adalah:
- Penentuan titik pantau kepadatan kendaraan
Penentuan titik pantau kepadatan kendaraan (volume kendaraan per satuan waktu) yang informasinya dikirimkan kepada petugas di jalur penyempitan, sehingga dapat dilakukan rekayasa/antisipasi yang tepat, sesuai dengan standar Tingkat Layanan. Titik pantau ini sebagai sumber informasi potensi Tingkat Layanan A hingga F.
- Penetapan batas kecepatan maksimum dan batas kecepatan minimum
Penetapan batas kecepatan maksimum untuk setiap kendaraan yang melaju di jalur kedatangan serta batas kecepatan minimum di jalur penyempitan. Batas kecepatan minimum di jalur penyempitan harus lebih tinggi daripada batas kecepatan maksimum di jalur kedatangan.
- Penetapan tingkat kepadatan ruas jalur penyempitan
Langkah ini merupakan tindak lanjut dari hasil pengukuran pada titik pantau. Untuk Potensi Tingkat Layanan F, misalnya, tingkat kepadatan jalur penyempitan adalah nol atau ruas jalur penyempitan dalam kondisi steril. Dalam hal ini, harus dipersiapkan skenario jalur alternatif untuk seluruh kendaraan lokal yang berada di luar jalur utama.
- Pembatasan usia kendaraan
Untuk mendukung penerapan batas kecepatan minimum, pemerintah harus melakukan kajian terhadap batas usia kendaraan yang layak dan mampu melaju di atas batas kecepatan minimum tanpa masalah (mogok).
Langkah yang serupa juga harus dilakukan oleh Badan Pengelola Jalan Tol (BPJT) dan operator jalan tol untuk mengatasi kemacetan yang terjadi pada jalan tol, khususnya dalam memutuskan pelaksanaan contra-flow serta pemasangan separator di jalur cepat, bagi kendaraan yang jalan terus (tidak singgah ke rest area) dan berbagai strategi lainnya.
Tidak dapat diabaikan, penyebab utama dari situasi macet yang parah di musim mudik selama ini adalah perilaku pemudik yang menggunakan kendaraan pribadi, agar memiliki kebebasan dalam menentukan jam keberangkatan serta waktu dan lokasi perhentian.
Perilaku pemudik inilah yang menimbulkan lonjakan volume kendaraan. Ketidaknormalan ini bersifat tidak pasti (uncertainty factor) dan hanya bisa diprediksi berdasarkan perhitungan/pengukuran aktual. Perilaku pemudik ini juga yang mengakibatkan pengembangan transportasi umum berbasis multimoda serta program mudik gratis tidak akan berdampak signifikan. Dibutuhkan waktu yang lama dan proses rekayasa sosial untuk mengubah perilaku pemudik ini.
Keempat langkah di atas tidak dapat dipisah-pisahkan dan harus dilakukan oleh seluruh pihak yang terlibat di pemerintahan, dari pemerintah pusat hingga daerah. Untuk menjamin efektivitas keempat langkah ini, pemerintah harus melakukan simulasi secara berkala dengan menggunakan berbagai skenario yang relevan. Dengan penerapan keempat langkah ini, maka permasalahan kemacetan panjang pada saat mudik akan dapat diminimalisasi.
Kemacetan luar biasa pada arus mudik Lebaran 2016 memang tidak dapat diabaikan, akan tetapi sesungguhnya tidak dapat dijadikan parameter buruknya kinerja pemerintah dalam manajemen mudik tahun 2016. Pembenahan manajemen dan rekayasa lalu lintas secara terencana dan terpadu mutlak dibutuhkan untuk perbaikan sistem transportasi Indonesia.
15 Juli 2016.
Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.
Download artikel ini:
SCI_-_Artikel_Pembenahan_Rekayasa_Lalu_Lintas_dalam_Manajemen_Mudik_Bortiandy.pdf (519.4 KiB, 624 hits)