Oleh: Dr. Drs. H. Achmad Ridwan Tentowi, S.H., M.H.
Pemerhati dan Praktisi Kepelabuhanan
Selain memperbaiki infrastruktur, Indonesia sebagai Negara Kepulauan yang pada saat ini menuju Negara Maritim perlu menata kelola instansi dan lembaga pendukung penggerak sektor kemaritiman. Hal ini menjadi krusial agar visi dan misi menjadikan RI sebagai poros maritim dunia bisa terealisasikan.
Salah satunya dari persoalan tata kelola kelembagaan tersebut yakni menyangkut peran dan fungsi kantor Otoritas Pelabuhan (OP) yang sudah saatnya dilakukan penguatan. Instansi OP tersebut mesti berdiri sebagai lembaga independen atau setingkat badan tersendiri yang bertanggung jawab langsung kepada Kementerian teknis terkait dalam hal ini Menteri perhubungan maupun kepada Presiden.
Dengan menjadikannya Badan Otoritas Pelabuhan diharapkan bisa sebagai lembaga yang independen dalam mengawal dan mengawasi seluruh regulasi yang berkaitan dengan aktivitas kepelabuhanan dan angkutan laut di Indonesia.
Disisi lain, belum adanya undang-undang yang khusus mengatur tentang Kepelabuhanan juga menjadi persoalan tersendiri yang memicu inefisiensi pelabuhan sehingga biaya logistik terus membengkak.
Meskipun, Indonesia berpotensi menjadi Negara yang diperhitungkan pada sektor kemaritiman dengan dukungan telah memiliki sekitar 2.000-an pelabuhan yang sudah beroperasi di berbagai wilayah dan daerah RI dengan berbagai klasifikasi pelabuhannya.
Namun sayangnya, ketidaksinkronan atau belum harmonisnya peraturan dengan peraturan lainnya di pelabuhan juga menyebabkan penegakkan hukumnya menjadi sektoral ataupun parsial, sehingga menyebabkan ketidakpastian.
Padahal, akselerasi perjanjian fasilitas pedagangan yang berdasarkan keadilan idealnya sesuai dengan UUD 1945 pasal 33 dan Undang-Undang No. 17/2008 tentang Pelayaran.
Nilai keadilan dan kepastian hukumnya, tercermin dalam penyederhanaan, transparansi, standardisasi, harmonisasi prosedur dan dokumen perdagangan internasional yang harus didukung dengan kelancaran arus barang dan efisiensi kepelabuhanan di bawah koordinasi OP.
Singkatnya, koordinasi untuk menjalin keharmonisan disektor kepelabuhanan itu bisa optimal apabila struktur lembaga OP itu berbentuk Badan yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI atau minimal kepada Menteri teknis terkait.
Nomenklatur KSOP
Di sisi lain legalitas hadirnya lembaga Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan atau yang sering disebut KSOP menjadi pertanyaan tersendiri. Pasalnya, istilah KSOP tidak ditemukan dalam nomenklatur pada Undang-Undang No. 17/2008 tentang Pelayaran. Tidak hanya itu, aturan turunan dari UU tersebut juga tidak memasukkan nomenklatur KSOP.
Oleh karena itu, keberadaan KSOP ini harus dibenahi dan diluruskan sehingga kerja KSOP memiliki payung hukum yang jelas. Bahkan, dalam seminar yang dilaksanakan oleh AKKMI dan Asosiasi Profesor Doktor Hukum Indonesia (APDHI) belum lama ini di Jakarta, terungkap agar sistem tata kelola Syahbandar juga diperbaiki lantaran dinilai berperan sangat penting dalam mendukung keamanan dan keselamatan disektor kemaritiman, guna mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Lembaga KSOP sejauh ini sudah melaksanakan tugasnya, termasuk memungut Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Jika kesimpangsiuran nomenklatur ini dibiarkan berlarut-larut, pemerintah sama halnya membiarkan terjadinya perbuatan melanggar hukum karena lembaga tersebut tidak memiliki payung hukum.
Selain persoalan nomenklatur, pemerintah perlu menjelaskan pula kesimpangsiuran mengenai tanggung jawab keselamatan pelayaran sebab dalam UU Pelayaran, pelabuhan dipimpin oleh Syahbandar bukan KSOP.
Lembaga Syahbandar pelabuhan atau yang dikenal di luar Indonesia sebagai harbour master adalah lembaga yang dipimpin oleh seorang pejabat tertentu dan memiliki hak kewenangan tertinggi menjalankan pengawasan serta dibentengi ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran pelabuhan.
Idealnya, istilah Otoritas Pelabuhan Utama, Syahbandar Utama, dan KSOP yang ada saat ini perlu ditinjau ulang dan diganti dengan nama lembaga Syahbandar maupun Otoritas Pelabuhan (OP) saja sesuai dengan amanat UU No. 17/2008 tentang Pelayaran.
Referensi:
Tentowi, Achmad Ridwan. Membenahi Tata Kelola dan Kelembagaan Otoritas Pelabuhan. Tabloid Maritim, No. 990 Tahun XXI. hlm. 12
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.
Download artikel ini:
SCI - Artikel Membenahi Tata Kelola dan Kelembagaan Otoritas Pelabuhan (694.3 KiB, 574 hits)