Oleh: Setijadi | Chairman at Supply Chain Indonesia
- Elvyn G. Masassya diangkat menjadi Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia II (Persero)/IPC berdasarkan Surat Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara No. SK-82/MBU/04/2016 tanggal 22 April 2016. Susunan Direksi lainnya adalah Saptono R. Irianto sebagai Direktur Komersial dan Pengembangan Usaha dan Pelaksana Tugas Direktur Teknik, Dana Amin sebagai Direktur Operasi, Orias P. Moedak sebagai Direktur Keuangan, dan Dede R. Martin sebagai Direktur Pembinaan Anak Perusahaan.
Kalangan industri, terutama para pengguna jasa pelabuhanan, menaruh harapan besar atas langkah-langkah Direktur Utama dan jajaran Direksi yang baru. Perubahan positif dan berbagai langkah strategis dan operasional IPC di bawah pimpinan baru tersebut sangat penting bagi industri secara nasional karena sekitar 65% volume ekspor impor Indonesia melalui Pelabuhan Tanjung Priok.
- Direksi baru IPC harus mengembangkan Pelabuhan Tanjung Priok menjadi pelabuhan kelas dunia (world class port) dan pelabuhan hub (hub port). Pelabuhan tersebut harus bisa dikembangkan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap Pelabuhan Singapura.
Pada tahun 2015, Pelabuhan Singapura menangani lebih dari 30,6 juta TEUs kontainer, 30 juta ton kargo konvensional, 200 ribu ton minyak bumi, dan 15 juta ton kargo curah nonmigas. Bahkan, Pelabuhan tersebut dirancang menjadi pelabuhan kontainer terbesar di dunia dengan kapasitas 65 juta TEUs per tahun.
- IPC harus fokus sebagai operator pelabuhan sesuai dengan UU No. 17/2008 tentang Pelayaran. Peningkatan kapasitas dan produktivitas harus terus dilakukan dengan mengembangkan dan meningkatkan kinerja kepelabuhanan, termasuk dalam penyediaan sarana dan prasarana serta peralatan mekanik pelabuhan yang handal. Selain itu, peningkatan juga perlu dilakukan dalam melaksanakan seluruh kegiatan bisnis kepelabuhan berkaitan dengan layanan kapal, layanan barang, dan layanan penumpang.
Direksi baru IPC perlu memberikan perhatian dalam peningkatan manajemen, operasional, dan standardisasi kepelabuhanan, termasuk mendorong profesionalisme tenaga kerja bongkar muat.
- Peningkatan kinerja tersebut membutuhkan kerja sama, sinergi, dan koordinasi yang baik dengan semua instansi di pelabuhan, termasuk koordinasi yang erat dengan Otoritas Pelabuhan.
Selain itu, hubungan dengan para pengguna yang selama ini bersifat transaksional harus berubah menjadi transformasional dengan mengedepankan transparansi dan akuntabilitas publik, termasuk dalam penetapan tarif layanan kepelabuhanan.
- Dengan keterbatasan lahan dan kendala akses akibat kepadatan lalu lintas dari/menuju Pelabuhan Tanjung Priok, IPC harus mengembangkan pelabuhan-pelabuhan feeder di barat dan timur Jakarta, termasuk optimalisasi penggunaan Cikarang Dry Port (CDP) dan Terminal Peti Kemas (TPK) Gede Bage.
Selain dengan mengoptimalkan kerja sama dengan perusahaan-perusahaan trucking, rencana penggunaan kereta pelabuhan harus diteruskan melalui kerja sama dengan PT Kereta Api Indonesia (Persero). Berkaitan dengan kepadatan lintasan kereta, peningkatan volume barang kereta pelabuhan harus dilakukan dengan meningkatkan kapasitas (panjang rangkaian) dan frekuensi kereta, termasuk operasionalisasi pada malam hari.
- IPC berpotensi berperan penting dalam implementasi Program Tol Laut. Diperlukan inisiatif Direksi baru IPC dalam membangun sinergi dengan Pelindo I, Pelindo III, Pelindo IV, dan Badan Usaha Pelabuhan (BUP) swasta untuk mengembangkan standardisasi infrastruktur dan prosedur kepelabuhanan, serta integrasi sistem informasi antar pelabuhan.
- Pengembangan strategis dan operasional IPC harus memperhatikan UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan Permenneg BUMN No. PER 01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara, serta melibatkan para pemangku kepentingan secara sinergis.
Pengembangan IPC tetap harus membuka partisipasi swasta dalam sektor kepelabuhanan sesuai dengan UU Pelayaran untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat dan menghindarkan praktik monopoli jasa kepelabuhanan yang diperlukan untuk meningkatkan efisiensi logistik nasional.
- Kementerian BUMN perlu mengubah paradigma atas ukuran kinerja perusahaan-perusahaan BUMN, termasuk IPC. Semestinya, kinerja tidak hanya diukur dari profit perusahaan BUMN tersebut, namun juga benefit yang diberikan kepada para pengguna dan dampaknya terhadap efisiensi logistik nasional.