Oleh: Setijadi | Chairman at Supply Chain Indonesia
Pemerintahan baru yang dipimpin Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla akan menghadapi beberapa tantangan dalam sektor logistik. Meskipun sebagai sektor pendukung, logistik sangat berperan dalam mengembangkan konektivitas wilayah dan memperlancar arus barang. Kedua hal ini diperlukan untuk peningkatan daya saing produk dan komoditas Indonesia, serta berkontribusi dalam peningkatan kesejahteraan rakyat.
Tantangan dalam sektor logistik Indonesia terutama karena beberapa permasalahan utama sebagai berikut:
- Infrastruktur. Permasalahan infrastruktur mencakup ketersediaan (kapasitas) dan penyebarannya. Secara umum, kondisi infrastruktur untuk setiap moda transportasi masih belum memadai.
Kondisi infrastruktur di Indonesia tergambar dari The Global Competitiveness Index 2013-2014 yang dikeluarkan oleh World Economic Forum. Pada laporan tersebut, misalnya, infrastruktur pelabuhan Indonesia pada peringkat ke-89 dari 148 negara. Sebagai perbandingan, Malaysia peringkat ke-24 dan Thailand ke-56.
- Regulasi. Sektor logistik bersifat multisektoral, sehingga pengaturannya terdapat pada beberapa sektor yang dikelola oleh masing-masing kementerian terkait.
Terdapat beberapa peraturan perundangan yang mengatur sektor logistik Indonesia, antara lain empat Undang-Undang (UU) transportasi, yaitu: UU No. 23/2007 tentang Perkeretaapian, UU No. 17/2008 tentang Pelayaran, UU No. 1/2009 tentang Penerbangan, dan UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Selain itu, terdapat UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.
Kondisi ini memunculkan ego sektoral yang menciptakan inefisiensi birokrasi.
- Tata Kelola Pemerintahan, terutama berkaitan dengan integrasi, prioritas, dan koordinasi. Logistik yang bersifat multisektoral memerlukan integrasi antar sektor. Integrasi ini harus dilakukan pada tahap perencanaan dengan menurunkan program setiap sektor berdasarkan visi dan misi nasional.
Perbedaan prioritas seringkali menjadi kendala pencapaian tujuan secara nasional. Perbedaan prioritas tidak saja terjadi antar kementerian/instansi, namun bisa juga terjadi di perusahaan BUMN. Prioritas terhadap profit dari perusahaan BUMN pengelola infrastruktur/fasilitas logistik, misalnya, dapat mengakibatkan inefisensi biaya logistik secara nasional.
Pengelolaan dan pengaturan sektor logistik oleh beberapa kementerian/lembaga membutuhkan koordinasi yang intensif. Namun, selama ini terdapat kendala koordinasi, antara lain karena ego sektoral.
Visi dan misi, serta strategi Pemerintahan Jokowi-JK, memberikan harapan baru dalam perbaikan dan pengembangan sektor logistik Indonesia. Fokus terhadap sektor maritim diharapkan akan memberikan arah yang lebih pasti dalam perbaikan dan pengembangan sektor logistik tersebut. Hal ini juga didukung dengan komitmen untuk menghilangkan ego-sektoral, antara lain dengan pernyataan bahwa hanya ada visi, misi, dan program utama Presiden; tidak ada visi dan misi menteri.
Supply Chain Indonesia (SCI) merekomendasikan tiga langkah strategis perbaikan dan pengembangan logistik Indonesia sebagai berikut:
- (1) Pembuatan Masterplan Pengembangan Sistem Logistik Indonesia Berbasis Maritim. Masterplan dikembangkan dengan mengacu kepada visi dan misi Presiden, berikut beberapa konsep utamanya, seperti Konsep Tol Laut dan Poros Maritim.
Masterplan terutama berisi perencanaan pembangunan infrastruktur logistik secara terintegrasi. Dengan posisi berada langsung di bawah Presiden, Bappenas harus semakin berperan mengintegrasikan program-program pembangunan infrastruktur lintas sektoral, termasuk perencanaan pendanaan. Integrasi tidak hanya pada program kementerian-kementerian terkait, namun sampai ke program perusahaan-perusahaan BUMN, karena mempunyai potensi untuk berperan dalam pengembangan dan pengoperasian infrastruktur/fasilitas logistik.
Keberadaan Masterplan akan bermanfaat pula untuk memberikan kepastian bagi para investor untuk terlibat dalam pembangunan infrastruktur, baik BUMN maupun swasta.
Pembuatan Masterplan dapat dilakukan dengan merevisi Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional (Perpres No. 26 Tahun 2012). Revisi dilakukan berdasarkan evaluasi atas pencapaian program dan rencana aksi dalam Sislognas, serta untuk menyelaraskan dengan visi dan misi Pemerintah baru. Masterplan ini bisa disusun dengan mengembangkan dan mengintegrasikan beberapa cetak biru dan masterplan beberapa kementerian terkait.
- Pembentukan Dewan/Badan Logistik Nasional. Lembaga permanen ini terutama diperlukan untuk mengkoordinasikan, mengintegrasikan, dan mengefektifkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembangunan sektor logistik yang dilakukan oleh kementerian dan lembaga terkait.
Dalam pembentukan lembaga ini, perlu ditetapkan pula platform dan pola koordinasi, termasuk dengan kementerian dan instansi terkait.
- Pembentukan UU Logistik. Selain untuk mengintegrasikan beberapa UU dan peraturan lain yang terkait, UU Logistik ini juga diperlukan untuk menghilangkan ego-sektoral yang muncul karena masing-masing kementerian mempunyai UU yang terkait dengan kementeriannya.